• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #87: Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu di Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #87: Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu di Cicalengka

Pendidikan dan industri di Cicalengka justru berjalan sendiri-sendiri. Yang satu terlalu diam dalam teori, yang lain terlalu bising oleh produksi.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka

Mobil mogok yang didorong oleh sejumlah anak-anak di Cikancung, Rabu, 6 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

2 Juni 2025


BandungBergerak.id – Di sebuah kota kecil yang menggantung harapan pada pabrik dan percetakan ijazah, Cicalengka berdiri sebagai wajah yang terus dicuci oleh narasi kemajuan. Setiap pagi, deru kendaraan mengantarkan manusia ke dua tujuan utama: sekolah dan pabrik. Tapi keduanya seperti rel kereta yang sejajar, berjalan tanpa pernah bertemu. Di ujung satu, para siswa membuka halaman demi halaman buku pelajaran, berharap ilmu akan menuntun ke masa depan. Di ujung lain, mesin-mesin pabrik berdentang, melaju tanpa peduli siapa yang sedang berusaha mengejar ketertinggalan di balik tembok pendidikan.

Cicalengka, kota yang seolah membanggakan dua dunia: dunia pengetahuan dan dunia produksi, ternyata menyimpan jurang di antara keduanya. Anak-anak didorong untuk sekolah, menamatkan pendidikan, bahkan merantau demi menyerap ilmu sebanyak mungkin. Tapi ketika mereka kembali –dengan kepala penuh gagasan dan semangat membangun– yang mereka dapati adalah pintu-pintu industri yang terkunci, dan sistem yang tak membuka ruang bagi ilmu untuk berperan.

Seperti dua tangan yang seharusnya saling menggenggam, pendidikan dan industri di Cicalengka justru berjalan sendiri-sendiri. Tak ada komunikasi, tak ada jembatan, tak ada ruang pertemuan. Buku-buku pelajaran berbicara tentang inovasi dan teknologi, sementara dunia industri di sini masih sibuk dengan praktik usang: kerja-kerja manual yang tak butuh analisis, hanya butuh otot dan relasi.

Dan inilah luka baru yang tumbuh: bahwa di kota yang katanya menuju era digital, para sarjana justru menganggur, dan para lulusan SMK/SMA bekerja di luar bidangnya. Karena mesin tak membaca buku, dan buku tak pernah menuliskan bahasa mesin yang digunakan di pabrik-pabrik itu. Inilah tragedi diam-diam di kota kecil kami: buku dan mesin tak pernah saling bicara, dan generasi muda menjadi korban di antara keduanya.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #84: Sengketa Tanah Desa Tenjolaya Menggusur SDIT Bina Muda
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #85: Tanah Kami, Tenaga Mereka, Nestapa di Tengah Pabrik-pabrik Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #86: Mei yang Basah oleh Darah, Sebuah Keresahan dari Cicalengka

Sekolah yang Menjual Mimpi, Pabrik yang Menolak Realita

“Sekolah yang rajin biar bisa kerja di tempat yang enak,” begitu kata guru SD saya dulu, dua dekade silam. Tapi kini, di lorong-lorong sempit Desa Cikuya, saya menyaksikan ironi itu menjelma jadi debu di telapak kaki. Anak-anak muda yang dulu berseragam putih biru dengan semangat belajar yang nyala, kini berkeringat di proyek bangunan sebagai kuli harian, atau berdiri berjam-jam menjaga portal parkir di pusat perbelanjaan yang tak pernah mereka miliki. Mereka yang pernah lulus sarjana hanya bisa menggenggam map lamaran yang basah oleh hujan dan penolakan. Sementara lulusan SMK teknik mesin, yang dulu diajari merakit mimpi dengan obeng dan teori, tak pernah diberi kesempatan tentang bagaimana mendekati HRD, apalagi menyelami labirin administrasi industri.

Di sudut lain, pabrik-pabrik menjulang angkuh, menebarkan bunyi mesin dan janji lowongan. Tapi siapa yang masuk bukan lagi soal kompetensi, melainkan siapa yang rela merogoh uang untuk sogokan, membayar “jalur dalam” agar bisa berdiri di antara deru produksi. Pendidikan dijadikan syarat, tapi bukan jaminan. Nilai tinggi tak lebih berarti dari amplop tebal yang menyelinap di bawah meja. Maka sekolah hanya menjual mimpi, sedangkan pabrik menolak realitas bahwa anak-anak kami ingin bekerja, bukan menyuap; ingin hidup layak, bukan sekadar menjadi angka di sistem outsourcing yang digilir seenaknya.

Ada yang keliru di sini, tapi entah siapa yang mau disalahkan.

Sekolah-sekolah kejuruan –yang jumlahnya makin menjamur– dikampanyekan pemerintah sebagai pintu masuk ke dunia kerja. Tapi mereka tak pernah duduk satu meja dengan para pelaku industri. Kurikulum disusun tanpa melihat mesin apa yang dipakai di pabrik-pabrik lokal. Siswa belajar membuat rangka sepeda motor saat pabrik-pabrik di sini memproduksi pakaian. Mereka diajari coding sederhana, tapi tak tahu bagaimana cara melamar magang karena tak ada relasi antara sekolah dan perusahaan.

Pemerintah daerah sibuk memotong pita peresmian gedung baru, memberi beasiswa, mendongakkan dada atas data statistik keberhasilan siswa lulus sekolah. Tapi tak ada yang mau turun ke bawah dan bertanya: sudah sejauh mana sekolah dan pabrik di kota ini saling menyapa? Sudahkah ilmu yang diajarkan bisa dipakai di tempat kerja nyata?

Karena jawaban kami, para warga biasa, adalah tidak.

Dan di antara kekosongan itu, generasi muda menjadi saksi dari pengkhianatan diam-diam. Mereka diajarkan untuk bermimpi tinggi, tapi dibenturkan pada tembok rendah upah minimum. Mereka diwisuda dengan toga dan lagu kebanggaan, lalu sebulan setelahnya ikut antre melamar kerja sebagai buruh konfeksi yang sistem kontraknya tiga bulan sekali. Beberapa menyerah, pergi ke kota, jadi pelayan toko. Beberapa berangkat merantau, beberapa tetap di rumah, membatu, menua tanpa kesempatan.

Sementara para pemilik pabrik tetap hidup dalam rutinitas tak tergoyahkan. Mereka tak perlu tahu tentang cita-cita anak muda yang kandas. Tak perlu tahu tentang guru-guru yang putus asa karena murid-muridnya tak kunjung terserap. Tak perlu peduli pada orang tua yang menjual sawah demi biaya kuliah anaknya, hanya untuk mendapati anak itu kembali ke kampung dengan kekecewaan menggumpal di dada.

Di Cicalengka, buku-buku dan mesin-mesin masih tak bicara satu sama lain. Yang satu terlalu diam dalam teori, yang lain terlalu bising oleh produksi. Dan di tengahnya, generasi kami berdiri, gelisah, lelah, dan bingung: kami harus melangkah ke mana?

Mimpi yang Harus Dijahit Kembali

Cicalengka hari ini ibarat mesin tua yang terus dipaksa berputar, meski beberapa giginya sudah patah. Sekolah-sekolah dan pabrik-pabrik seharusnya menjadi dua roda penggerak utama, tapi mereka berjalan di rel yang berbeda. Yang satu bicara soal mimpi dan nilai ujian, yang lain bicara soal target dan efisiensi. Sementara itu, anak-anak kami –generasi yang diharapkan jadi penopang masa depan– terjebak di antara keduanya, bagai serpih logam kecil yang tak tahu hendak di satukan ke mana.

Apakah ini takdir yang tak bisa diubah?

Tidak. Tapi kita harus mulai bicara.

Pendidikan di Cicalengka tak bisa lagi berjalan dengan logika menara gading, menjual ilusi tanpa arah. Dunia industri pun tak bisa terus bersikap apatis, seolah pendidikan bukan urusan mereka. Harus ada ruang temu, tempat guru dan HRD saling memahami, tempat siswa bisa melihat langsung medan yang akan mereka hadapi. Magang bukan sekadar formalitas, tapi jembatan. Pelatihan bukan sekadar proyek pemerintah, tapi kebutuhan riil yang menjawab tuntutan zaman.

Kita butuh lebih dari sekadar kebijakan seremonial. Kita butuh peta jalan. Kita butuh komitmen dari dinas pendidikan, asosiasi industri, hingga para orang tua. Jangan biarkan lagi anak-anak menulis cita-cita di buku harian hanya untuk melihatnya terhapus oleh kenyataan yang pahit.

Jika tidak, Cicalengka akan terus jadi kota setengah jadi. Kota yang punya ribuan pelajar, tapi tidak punya cukup ruang kerja bermartabat. Kota yang punya banyak mesin produksi, tapi sepi dari transfer pengetahuan. Kota yang meminjam slogan pembangunan, tapi abai pada keadilan antar generasi.

Kami tidak ingin anak-anak kami terus hidup di tengah paradoks ini. Kami ingin sekolah bukan hanya tempat menanam harapan, tapi juga ladang untuk memanen masa depan. Kami ingin pabrik bukan hanya tempat memerah keringat, tapi juga ruang untuk tumbuh dan memperbaiki hidup. Kami ingin buku dan mesin, dua dunia yang tak pernah saling menyapa itu, akhirnya bisa duduk satu meja—dan menjahit ulang mimpi yang selama ini koyak di tengah kebisingan produksi kesunyian pendidikan.

Sebab jika tidak, maka Cicalengka akan terus jadi kota yang pandai membangun pabrik, tapi gagal membangun manusia. Dan dari kegagalan itu, nestapa akan terus menjelma dari generasi ke generasi.

 

*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//