CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #88: Di Bawah Langit Kampung Simpen, di Atas Tanah Leluhur
Kampung Simpen, dengan segala sederhana dan sunyinya adalah potret kecil tentang bagaimana tanah kelahiran bukan sekadar soal batas.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
23 Juni 2025
BandungBergerak.id – Ada hal-hal yang tak bisa dibeli: suara ibu memanggil di sore hari, di antara cahaya jingga yang merambat di dinding-dinding rumah; aroma hujan pertama yang membasahi jalan kampung, menyatu dengan bau tanah yang seolah menyimpan ribuan kenangan masa kecil; dan deru angin malam yang pelan-pelan membawa suara azan dari musala di ujung gang, memantul di antara tembok-tembok tua yang setia berdiri sejak dulu.
Tanah kelahiran bukan sekadar sebidang lahan. Ia adalah ruang batin, ruang ingatan, tempat di mana manusia pertama kali mengenal arti kata “pulang.” Di sanalah hati diam-diam menambatkan rindu, meski kaki telah jauh melangkah. Di sanalah segala yang sederhana menjadi istimewa, dan waktu berjalan lebih lambat, seolah memberi kesempatan bagi kenangan untuk menetap lebih lama.
Kampung Simpen di Cicalengka adalah contoh paling nyata. Sebuah kampung timur Bandung, tempat waktu berjalan pelan, seolah enggan beranjak dari cerita-cerita lama. Setiap malam tertentu, suara salawat melayang dari pengeras musala, merambat di antara pucuk-pucuk atap rumah dan temaram lampu jalan, menjadi lantun yang akrab di telinga, menyejukkan dada yang kerap disergap rindu.
Di tanah sederhana ini, manusia diajarkan arti rumah, makna saudara, dan keberanian menjaga apa yang diwariskan dari tangan-tangan lelah para leluhur. Setiap jengkalnya menyimpan kisah, setiap sudutnya merekam jejak. Angin yang berembus di senja hari, pepohonan yang bergoyang perlahan, hingga langkah anak-anak kecil yang berlarian di lapangan –semuanya berbicara tentang cinta yang tak pernah usang, tentang tanah yang seharusnya dipeluk, bukan ditinggalkan.
Maka, kita mesti bertanya, mengapa tanah kelahiran harus dipertahankan? Di Kampung Simpen, orang-orang masih ingat saat kabar soal tanah itu tersebar. Tentang batas-batas yang dipersoalkan, tentang nama-nama yang tiba-tiba muncul di atas kertas, tentang kampung yang pelan-pelan mulai dipertaruhkan.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #85: Tanah Kami, Tenaga Mereka, Nestapa di Tengah Pabrik-pabrik Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #86: Mei yang Basah oleh Darah, Sebuah Keresahan dari Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #87: Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu di Cicalengka
Sebab Tanah Adalah Ingatan, Rumah Adalah Nyawa
Tanah kelahiran mesti dipertahankan, bukan semata karena warisan, bukan pula sekadar soal batas-batas administratif. Ia menyimpan lebih dari sekadar angka dan ukuran dalam dokumen. Di setiap butir tanahnya, ada jejak langkah orang-orang yang lebih dulu datang. Ada cerita tentang bapak-bapak yang menyalakan lampu di musala, tentang anak-anak yang berlarian di lapangan, dan tentang ibu-ibu yang menyiapkan sarapan di pagi hari saat kabut masih menggantung di jalan kampung.
Di antara embun pagi dan lantunan ayat-ayat suci dari musala, tanah ini menyimpan doa-doa yang tak pernah putus. Setiap langkah kaki yang menyentuh tanah Simpen seakan membawa sisa-sisa keberkahan dari para pendahulu. Sebab di sini, manusia diajarkan bukan hanya tentang hidup, tetapi juga tentang berserah, tentang memohonkan keselamatan pada langit, dan tentang menjaga budaya kampung yang sederhana, namun sarat makna.
Kampung Simpen bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah ruang bersama yang menampung segala riuh dan sunyi. Ada sekolah-sekolah yang tumbuh di sana: SDIT Bina Muda, SMP Bina Muda, hingga SMA Bina Muda. Lembaga-lembaga pendidikan itu bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang di mana anak-anak mengenal dunia, menyusun mimpi, dan belajar tentang siapa mereka di tanah sendiri. Di sela-sela pelajaran, anak-anak diajarkan untuk saling menyapa, untuk tidak lupa menundukkan kepala saat bertemu orang yang lebih tua, dan untuk selalu mengingat bahwa hidup di sini bukan sekadar hidup bersama, tapi hidup dengan saling menjaga.
Di sana, pagi hari diisi deru para pelajar, suara bel sekolah yang akrab di telinga warga, dan halaman sekolah yang ramai oleh celoteh anak-anak. Jalan-jalan itu menjadi saksi bisu generasi demi generasi yang berjalan menuju kelas, sambil membawa bekal dan cita-cita masing-masing. Sebab di Simpen, sekolah bukan sekadar tempat mencari nilai, tapi tempat anak-anak diajarkan mencintai kampungnya sendiri, mengenal doa-doa orang tua mereka, dan memahami bahwa hidup tak hanya tentang pencapaian, tapi juga tentang keberkahan.
Orang-orang di Simpen tahu, tanah yang hilang berarti lebih dari sekadar kehilangan lahan. Ia berarti hilangnya halaman bermain, hilangnya suara azan dari masjid, dan terputusnya mata rantai kenangan yang selama ini menyambung hidup mereka. Di tanah itu pula, tradisi lama masih bertahan: saling mengetuk pintu bila ada kabar duka, menanak nasi bersama saat ada hajatan, dan duduk melingkar di pelataran musala di malam tertentu untuk mengirim doa kepada para leluhur. Maka ketika kabar penggugatan itu datang, bukan hanya soal batas yang mereka jaga, tapi juga kenangan, budaya, tradisi, dan doa-doa lama yang telah lama mereka rawat di bawah langit yang sama.
Kita hidup di atas tanah yang tidak hanya menampung tubuh, tapi juga menyimpan nama. Di atas tanah itulah orang-orang Simpen membangun rumah, menanam doa, dan menyusun mimpi. Setiap sudutnya menyimpan langkah kaki orang-orang yang pernah ada, dan setiap hembusan anginnya membawa nama-nama yang tetap tinggal dalam ingatan. Setiap sapaan “Assalamu’alaikum” di mulut anak-anak kecil, setiap suara maghrib dari mushola, adalah suara-suara yang menyambung masa lalu dan masa kini. Maka wajar bila kehilangan tanah berarti kehilangan sebagian dari diri sendiri.
Di Simpen, kenangan tumbuh bersama waktu. Mereka melekat di tembok rumah, di suara salawat yang terus dilantunkan, di bel sekolah yang setiap pagi berbunyi, dan di halaman lapang tempat anak-anak berkejaran. Semua itu menyusun ruang batin orang-orang kampung, menjadi sesuatu yang tak bisa dipindahkan atau dibeli. Di sana, budaya tak ditulis di atas kertas, melainkan diwariskan lewat lisan, lewat sapaan, lewat doa, dan lewat langkah kaki yang tak pernah benar-benar meninggalkan tanahnya.
Maka, mempertahankan tanah kelahiran bukan semata soal fisik, tapi soal menjaga apa yang telah ditanam di dalam hati. Sebab di atas tanah itu, manusia pertama kali belajar tentang pulang, tentang rindu, tentang keberanian mencintai tanah sendiri, dan tentang makna doa yang diam-diam menggantung di langit kampung, menjaga siapa saja yang pernah lahir, hidup, dan bermimpi di atasnya.
Di Tanah yang Menyimpan Nama, Kita Pulang
Pada akhirnya, setiap manusia akan kembali mencari jalan pulang. Bukan selalu soal rumah yang berdinding bata atau halaman luas yang dibatasi pagar, melainkan tentang tempat di mana suara-suara lama masih bergaung, tentang tanah yang diam-diam menyimpan nama-nama yang pernah hidup dan mencintai di atasnya. Di tanah seperti itulah manusia belajar menambatkan rindu, membasuh luka, dan memahami bahwa di dunia ini, tidak semua hal bisa diganti dengan angka atau lembar sertifikat.
Kampung Simpen, dengan segala sederhana dan sunyinya, adalah potret kecil tentang bagaimana tanah kelahiran bukan sekadar soal batas. Ia adalah ruang yang menjaga ingatan, ruang di mana budaya dipeluk erat, dan ruang di mana doa-doa masih berpendar di langit malam. Setiap suara salawat yang terdengar, setiap derap langkah anak-anak menuju sekolah, dan setiap sapaan hangat di sudut gang, adalah cara kampung ini mempertahankan dirinya dari lupa.
Dan barangkali, itulah makna tanah yang sesungguhnya. Ia bukan sekadar tempat tubuh dibaringkan, tetapi tempat di mana nama tetap tinggal meski raga telah lama pergi. Di sanalah manusia belajar mencintai hal-hal kecil: suara masjid di waktu Magrib, aroma hujan di jalan kampung, hingga deru anak-anak di pagi hari. Sebab selama itu semua masih ada, kampung tak kan pernah benar-benar hilang.
Di bawah langit Kampung Simpen, di atas tanah yang diam-diam menyimpan nama, manusia belajar bahwa pulang bukan sekadar soal alamat, melainkan soal rasa yang tak pernah tamat. Sebab di sanalah rindu menetap, doa-doa bersahut di malam sepi, dan kenangan tumbuh tanpa pernah diminta pergi. Di tanah itu, kita tidak hanya kembali membawa tubuh, tapi juga hati yang diam-diam mencari tempat untuk kembali menyebut nama kampung sendiri.
*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.