• Liputan Khusus
  • Represi Bukan Titik Henti: Bagaimana Komunitas-komunitas di Bandung Teguh Menolak RKUHAP

Represi Bukan Titik Henti: Bagaimana Komunitas-komunitas di Bandung Teguh Menolak RKUHAP

Jejak represi menjadi pil pahit bagi para aktivis muda dan pegiat komunitas di Bandung untuk tetap bersuara menolak regulasi yang menindas. Termasuk RKUHAP.

Pegiat Aksi Kamisan Bandung memperingati September Hitam di depan Gedung Sate, Kamis, 1 September 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul10 September 2025


BandungBergerak - Hamza (bukan nama sebenarnya) sedang beristirahat latihan teater ketika salah seorang temannya datang menghampiri dan menyebut ada dua orang yang sedang mencarinya. Keduanya mengaku sebagai mahasiswa kampus Telkom. Hamza terkejut. Seingatnya, ia tak punya teman dari Telkom. Ia lalu bertanya lebih detail bagaimana ciri-ciri dua orang yang mencarinya itu.

“Mereka berdua pakai baju putih, kaos, kepalanya botak cepak, badannya tinggi, tegap,” kata Hamza menirukan ucapan temannya itu ketika ditemui di kawasan Buah Batu, Selasa, 19 Agustus 2025 lalu. “Itu polisi kayaknya kalau begitu, bukan teman aku.”

Menyadari situasinya dalam bahaya, dibantu teman-temannya yang lain, Hamza dievakuasi ke tempat aman ke luar kampus. Sementara di dalam kampus, kabar kedatangan polisi menyebar cepat. Para mahasiswa merasa geram, lalu melakukan penyisiran.

Kabar Hamza dicari “temannya” itu terjadi di sore hari, sekitar pukul setengah lima di penghujung September 2018. Penyisiran yang dilakukan ketika malam mulai larut menemukan ada sekitar enam hingga tujuh orang polisi yang masuk ke kampus, mengaku sebagai mahasiswa dari kampus lain bertujuan mencari Hamza. Beberapa di antara mereka membawa pistol. Sementara di depan kampus, terparkir satu truk polisi yang diperkirakan berisi puluhan orang anggota polisi.

“Aku bersyukur momen itu aku ada di lingkungan yang banyak orang sigap membantu. Ya bayangin kalau aku misalnya enggak ada lingkungan seperti itu, ya mungkin aku akan berujung entah apa gitu. Lihat datang 40 (orang polisi), ya kalau dibayangin itu mereka mau ngapain? Mau nyiksa aku berarti, diculik, pasti dibawa,” ungkap Hamza.

Pada September 2018 itu Bandung menjadi tuan rumah Global Land Forum (GLF), forum internasional tentang tata kelola lahan. Hamza merupakan salah satu peserta massa aksi yang melakukan protes atas penyelenggaran GLF. Ia menampilkan semacam teatrikal, kombinasi antara komedi tunggal dengan pembawa acara (MC). Penampilan yang ia akui memang agak “tengil”.

Ketika Hamza menampilkan “hiburan” sambil menyampaikan aspirasi, banyak orang yang merekam. Video itu kemudian diduga tersebar juga di kalangan kepolisian. Salah seorang polisi yang menjaga barikade massa aksi, mengenal Hamza. Ia lantas menghubunginya selepas aksi, menyatakan keberatan atas apa yang disampaikan dengan tendensi mengancam.

Selepas aksi di siang hari itu, Hamza ke kampus untuk berlatih teater yang akan dipentaskan satu bulan lagi. Pementasan itu cukup penting, sebab Hamza sudah latihan selama dua tahun. Lalu, terjadilah upaya penangkapan dan penculikan terhadapnya. Dampaknya berat. Hamza gagal mementaskan teater itu karena ia harus mengamankan diri. Selama lebih dari tiga bulan, ia dicari-cari aparat kepolisian. Rumah orang tuanya dipantau selama dua bulan.

“Tapi walaupun seperti itu, upaya yang mereka (polisi) lakukan tidak benar, sudah menyalahi wewenang. Misalnya ngebayangin skenario Wiji Thukul hilang, apakah itu yang mau kita normalisasikan?” ucapnya.

Mahasiswi membawa poster protes saat aksi unjuk rasa di taman kampus ISBI, Bandung, 17 Februari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Mahasiswi membawa poster protes saat aksi unjuk rasa di taman kampus ISBI, Bandung, 17 Februari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Menyadari Ancaman, Menolak Bungkam

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah pijakan hukum yang mengatur batas-batas kekuasaan negara terhadap warga, termasuk soal penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan akses bantuan hukum. Jaringan masyarakat sipil sepakat bahwa undang-undang ini memang perlu direvisi karena sudah usang sejak pertama kali diundangkan pada 1981 dan dalam penerapannya banyak ditemukan praktik kekerasan, pemerasan, dan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum. Sayangnya, alih-alih mampu mencegah dan menindak penyimpangan aparat, RKUHAP yang disusun oleh DPR dan Pemerintah sejak awal tahun 2025 justru dinilai akan memperluas kewenangannya.

Publik dibuat khawatir. Perluasan kewenangan aparat akan menjauhkan substansi undang-undang dari upaya melindungi hak asasi manusia (HAM). Alasan penangkapan yang subjektif tanpa perintah otoritas pengadilan, misalnya, dimungkinkan terjadi.

“Meskipun kalau kita bedakan per profesi kerentanannya bisa beda-beda, tapi sebagai warga sipil, kita bisa ditangkap kapan pun dan dengan cara yang horor gitu,” ucap Hamza yang tergabung dalam komunitas teater Aruslaras. “Jadi bukannya direvisi untuk mengganti yang usang jadi lebih baik, malah bahkan lebih parah.”

Sebagai seniman pertunjukan, Hamza meyakini dirinya bakal terdampak RKUHAP yang disahkan karena ia bisa ditangkap secara serampangan. Dalam berbagai demonstrasi, para seniman teater seringkali dilibatkan dan mereka kerap kali dicap sebagai “biang keladi” karena sosoknya yang tampak jelas dan mendapatkan sorotan publik ketika pentas. Terlebih lagi jika wajah dan identitasnya terpampang jelas. Aparat menjadi lebih mudah melakukan identifikasi dan pengejaran. Hamza pernah mengalami insiden serupa ini pada 2018 lalu, sementara salah satu temannya baru sebulan lalu tertimpa masalah yang sama.

“Jadi satu teman ini harus pindah kota karena dicari, di-doxing, dan di-chat dengan ancaman segala macam,” ucapnya.

Ancaman terhadap kebebasan aktivitas seni di Bandung sudah acap terjadi bahkan sebelum bergulirnya RKUHAP. Di ISBI, pementasan teater berjudul “Wawancara dengan Mulyono” yang sedianya digelar di dalam kampus Februari 2025 lalu dibatalkan karena gedung pentasnya digembok oleh pengelola kampus. Pentas monolog Tan Malaka di IFI Bandung dibatalkan atas desakan sekelompok ormas pada 2016. Pada tahun yang sama, seniman pantomim Wanggi Hoed dipaksa menghentikan pertunjukan, ditangkap, dan diinterogasi oleh polisi.

Menurut Hamza, situasi penuh ancaman akan membuat seniman tidak tenang dalam berproses dalam penciptaan karya. Energi terkuras untuk memikirkan mitigasi keamanan diri. “Ini belum ngomongin soal kesejahteraan seniman yang, wah, masih jauh,” ucapnya.

Selain komunitas teater, rancangan KUHAP juga direspons oleh komunitas fotografi Raws Syndicate. Cacuy, 22 tahun, salah satu pegiat di komunitas yang bermarkas di Pasar Antik Cikapundung ini berpendapat, pasal-pasal bermasalah di dalam rancangan KUHAP dinilai karet dan berpotensi subjektif dalam penerapannya. Dengan pasal-pasal seperti inilah aparat akan memiliki legitimasi dalam melakukan tindak represif terhadap warga sipil. Salah satu kekhawatiran yang paling dirasakan Cacuy adalah mudahnya kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap handphone masyarakat tanpa alasan yang jelas.

“Itu bisa sangat riskan menurut aku untuk orang yang bergerak seperti aku gitu yang ngedokumentasiin aksi-aksi dan hal-hal penting lain di masyarakat,” ungkap perempuan lulusan Jurusan Film dan Televisi Universitas Padjadjaran (Unpad) ini ketika ditemui di Lio Genteng, Sabtu, 23 Agustus 2025.

Sebagai warga biasa, Cacuy juga merasa resah dengan menguatnya kemungkinan penyergapan atau kedatangan polisi ke rumah. Kejadian ini sudah pernah dialami rekannya beberapa pekan lalu. Aparat kepolisian mendatangi rumahnya semata dipicu oleh pengibaran bendera One Piece.

“Wow, segila itu! Maksudnya untuk datang juga kan menurut aku itu perlu kejelasan untuk apa dia datang. Terus kayak misalkan kalau menggeledah gitu kan tertentu banget, perlu surat yang jelas, perlu dokumen yang jelas untuk ngelakuin itu,” ungkap Cacuy.

Cacuy, juga Hamza, mendorong agar DPR dan Pemerintah mendengarkan suara masyarakat dengan mengakomodasi draft KUHAP tandingan yang disusun Koalisi Masyarakat Sipil. Jika tidak, keduanya sama-sama akan terus menyuarakan penolakan rancangan KUHAP dengan cara masing-masing. Yang satu bertekun dalam kerja fotografi, yang lain dalam seni pertunjukan.

Bersiap dengan segala kemungkinan terburuk, Cacuy mendorong para pegiat fotografi secara fasih menerapkan praktik pengamanan diri selama beraktivitas, terutama di lokasi dan situasi yang rentan dengan kekerasan dan intimidasi. Termasuk di dalamnya, penguasaan teknik-teknik pengamanan karya.

Sementara Hamza menekankan pentingnya mengarustamakan isu RKUHAP dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Salah satu ide pementasan Teater Aruslaras yang terbayang adalah melakukan Sidang Rakyat seperti yang pernah digelar di Dago Elos. Praktik teater semacam itu diyakini mampu menumbuhkan harapan dan kepercayaan publik bahwa persoalan ini bisa dimenangkan.

“Yang kita coba bangun tuh kesadaran yang justru tetap relevan ketika KUHAP-nya batal atau tidak. Penolakan KUHAP itu penting, tapi yang perlu kita simpan buat jangka panjang itu apa sih yang sebenarnya kita khawatirkan, kita cemaskan, kita tidak inginkan. Yang ini kan hubungannya sama harapan bersama soal hari ke depan,” jelasnya.

Sejumlah mahasiswa peserta Aksi Kamisan Jatinangor menyampaikan protes di hari penutupan retret kepala daerah se-Indonesia di Sumedang, Selasa, 26 Juni 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Sejumlah mahasiswa peserta Aksi Kamisan Jatinangor menyampaikan protes di hari penutupan retret kepala daerah se-Indonesia di Sumedang, Selasa, 26 Juni 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Menyebarkan Keberanian, Meningkatkan Kapasitas

Penyusunan RKUHAP yang bermasalah, mulai dari proses penyusunan hingga substansinya, tidak lagi mengejutkan bagi Ojan, 25 tahun, pegiat Aksi Kamisan Bandung. Setidaknya sejak lima tahunan belakangan, pemerintah dan DPR kerap kali menyusun kebijakan tanpa pelibatan masyarakat yang bermakna. Substansinya pun bukan untuk kepentingan rakyat.

“Ini jadi pola berulang. Ketika pemerintah pengin bikin satu regulasi yang langsung berdampak ke masyarakat, mereka selalu merumuskan terburu-buru, minim partisipasi publik, terus juga sembunyi-sembunyi perumusannya. Sama kayak waktu (perumusan) UU TNI, Omnibus Law, KPK, KUHP, sama tuh polanya,” ungkapnya kepada BandungBergerak ketika ditemui di Dago Elos, Kamis, 14 Januari 2025.

Mengkritik susbtansi revisi KUHAP, Ojan menyebut draft yang disusun oleh DPR dan Pemerintah akan membuat publik semakin sulit mengemukakan pendapat, melakukan pembelaan diri, dan mendapatkan perlindungan hukum. Sementara itu, aparat penegak hukum yang diperluas kewenangannya bisa melakukan penangkapan secara sewenang-wenang. Waktu penahanan pun diperpanjang hingga sebulan. Padahal menurut hukum internasional, waktu maksimal hanya 2x24 jam.

Namun meski mengamini bahwa rancangan ini sarat dengan ancaman, Ojan percaya bahwa di tengah cengkeraman ketakutan, keberanian akan menguat. Aksi Kamisan yang dikenal khas berpakaian hitam-hitam, membawa payung hitam, dan berorasi di depan kantor pemerintahan setiap Kamis sore, akan terus digulirkan. Termasuk jika harus memakai cara-cara dan metode-metode baru untuk menyuarakan keberanian dan tetap kritis.

“Entah apa pun caranya nanti. Tapi ketika ketakutan menyebar, Kamisan akan melawannya dengan menyebarkan keberanian,” kata Ojan.

Senada dengan Ojan, pegiat Aksi Kamisan Jatinangor, Ridho Danu Prasetyo, 22 tahun, juga menyesalkan dan menolak Rancangan KUHAP versi Pemerintah dan DPR. Calon regulasi baru ini melahirkan kekhawatiran yang serupa seperti UU TNI, yaitu perluasan kewenangan aparat keamanan negara. Bagi Aksi Kamisan Jatinangor yang bersuara di isu-isu kolektif dengan berkegiatan di ruang publik sehingga kerap bersinggungan dengan aparat, RKUHAP melahirkan kekhawatiran.

“Adanya ‘ancaman’ itu sebenarnya di satu sisi bisa memperkuat solidaritas. Tapi kalau secara praktik di lapangan untuk teman-teman yang bergerak di jalanan, di ranah-ranah kolektif, itu bisa dilihat juga sebagai pelemahan karena pada akhirnya muncul kekhawatiran yang tinggi,” kata Danu, demikian ia akrab disapa, Sabtu, 16 Agustus 2025.

Danu menyebut, sama seperti komunitas lainnya, pihaknya mendorong DPR dan Pemerintah untuk mengakomodasi suara masyarakat sipil di dalam draft terbaru. Jika tidak diakomodasi, Aksi Kamisan Jatinangor akan terus menyuarakan penolakan. Salah satu langkah yang bisa dipilih, karena komunitas mereka berangkat dari kampus, adalah pengajuan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mekanisme formal jalur hukum ini akan melengkapi jalur kampanye publik yang sudah kerap dilakukan.

“Dari awal pun kami memang menyusun strateginya itu enggak cuma sekadar jangka pendek untuk menolak RKUHAP ini, tapi gimana kita membangun resistensi gerakan supaya tetap berkelanjutan,” tuturnya. “Ketika nanti diketok itu, kita bisa tetap stand menolak.”

Dan setiap perlawanan membutuhkan strategi. Termasuk peningkatan kapasitas menjaga keamanan diri, baik di ranah luring maupun di dunia digital. Belakangan para pegiat Aksi Kamisan Jatinangor gencar mengampanyekan penggunaan alat pengamanan diri (self-defense tools) di kalangan internal. “Karena penyadapan segala macam juga kan pada akhirnya dilegalkan dengan alasan mendesak yang (sebenarnya) itu subjektif,” ucap Danu.

Baca Juga: Cerita Demonstran Bandung tentang Kekerasan Aparat: Kepala Saya Digunduli, Saya Dijauhi dan Dilabeli
Membedah Pasal-pasal Bermasalah RKUHAP yang Dibahas secara Ugal-ugalan

Menggugat Produk Rezim, Merebut Hak Warga Negara

Koordinator Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung Ainul Mardhiyyah, 22 tahun, berpendapat bahwa Rancangan KUHAP muncul sebagai produk sistem. Karena Indonesia selama ini menjalankan sistem separuh demokratis separuh feodal, lahirlah produk hukum yang mempertahankan sistem tersebut untuk melanggengkan kekuasaan.

“Artinya, sangat sulit mengharapkan produk hukum yang dihasilkan oleh rezim hari ini betul-betul sistem yang demokratis. Kalau rezimnya sendiri fasis, ya gimana dia mau membentuk hukum yang demokratis?” ungkap mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini, Sabtu, 16 Agustus 2025.

FMN, kata May, demikian dia biasa disapa, bersikap menolak draft RKUHAP yang disusun oleh DPR dan Pemerintah. Jika nantinya draft tandingan yang dibuat koalisi masyarakat sipil tidak diakomodasi, organisasinya akan terus melakukan penolakan. Lebih dari itu, ini akan menjadi momentum propaganda untuk menggerakkan perlawanan massa.

“Kita tidak hanya menjadikan RKUHAP sebagai bahan propaganda untuk massa aksi turun ke jalan (lalu) setelah itu selesai. Enggak sampai situ (saja), tapi bagaimana ini tuh tetap dikawal, dijadikan propaganda yang lebih mendalam. Enggak hanya soal RKUHAP, tapi yang melatarbelakanginya, yaitu untuk kepentingan rezim hari ini,” ungkapnya.

May mencontohkan kriminalisasi terhadap warga Sukahaji, beberapa orang warga yang ditangkap di Kebon Sayur, Jakarta, serta yang terbaru: kekerasan aparat di Pati dan demonstrasi 25 Agustus 2025 kemarin. Bentuk-bentuk kekerasan itu akan dilegitimiasi melalui RKUHAP agar alat keamanan negara bisa dengan mudah melakukan kekerasan dan melakukan penangkapan sewenang-wenang.

“Itu tandanya RKUHAP ini adalah bentuk legitimasi kekerasan yang terus digencarkan oleh alat negara. Kita bisa ambil garis terangnya, RKUHAP melegitimasi alat negara untuk kepentingan pemilik modal dan negara,” jelasnya.

Kesadaran inilah yang akan terus dibangun dan dirawat oleh FMN untuk masyarakat. Meski pesimistis berharap kepada pemerintah dan DPR, dia mendesak agar RKUHAP dibahas ulang, melibatkan partisipasi publik, dan transparan dalam penyusunannya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono menegaskan bahwa LBH-YLBHI seluruh Indonesia akan selalu bersama rakyat, terlebih menghadapi potensi meningkatnya tindak represif oleh aparat ketika dokumen RKUHAP versi DPR dan Pemerintah jadi disahkan. Mulai dari kasus-kasus kriminalisasi hingga kasus-kasus yang berkaitan dengan fair trail serta penyelewengan kewenangan.

Heri sepakat, ada kebutuhan mendesak untuk membangun sebuah jaring pengaman masyarakat sipil yang lebih luas. Gerakan-gerakan rakyat harus terkoneksi dengan jaringan lembaga bantuan hukum. Di Jawa Barat, selain LBH Bandung, ada PBHI Jawa Barat.

“Ancang-ancangnya, selain fokus terhadap dampingan-dampingan khususnya di isu-isu sipil politik, juga membekali masyarakat sipil dengan pendidikan hukum kritis, kajian-kajian terkait dengan hak-hak tersangka atau hak-hak warga sipil,” ucapnya, Senin, 25 Agustus 2025. “Tapi yang terpenting adalah konsolidasi-konsolidasi antarkolektif dan dari solidaritas. Ya pintunya adalah penyadaran hak terhadap sipil politik.”

Heri menegaskan, KUHAP bukanlah isu bagi satu kalangan saja. Isu ini harus dibahas dan ditanggapi secara lintaskalangan, lintasbidang. Karena semua bisa terdampak akibat pasal karet subjektivitas penyidik, setiap orang harus mengerti bahwa ia berhak untuk bertanya alasan penangkapan dan ada atau tidaknya surat tugas penangkapan. Warga punya hak untuk membela diri.

“Yang paling penting sih ya baca kembali hak-hak kita sebagai warga negara, apalagi berhadapan dengan hukum,” ujarnya. “(Kita) Perlu tahu dan sadar hak kita apa.”

Menanggapi gelombang kritik dan penolakan, Pemerintah dan DPR sudah berulang kali menyampaikan pernyataan. Dikutip dari Tempo, pada Kamis, 10 Juli 2025 lalu Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengklaim bahwa rancangan ini telah mengakomodasi kepentingan masyarakat. Berbagai pemangku kepentingan, termasuk koalisi masyarakat sipil, sudah berulang kali diajak diskusi yang kemudian hasilnya dijadikan pertimbangan dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHAP. Hal senada disampaikan Ketua Komisi Hukum DPR RI Habiburokhman.

Seniman pantomim Wanggi Hoed membagikan pesan Jangan Diam bersama komunitas Aksi Kamisan Bandung di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Seniman pantomim Wanggi Hoed membagikan pesan Jangan Diam bersama komunitas Aksi Kamisan Bandung di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Pelajaran dari Penangkapan

Seniman pantomim Bandung, Wanggi Hoed, adalah salah satu orang yang bisa bercerita banyak dari jejak represi. Ia diperlakukan secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian ketika berpentas memperingati Hari Tubuh 2016. Aksinya yang menyuarakan kebebasan berekspresi dihentikan. Ia ditangkap tanpa surat tugas dan dihujani banyak pertanyaan ketika diinterogasi di dalam mobil.

Kepada BandungBergerak, Wanggi menyebut pengalaman itu sebagai “ujian kemanusiaan”. Alih-alih melemahkan, penangkapan itu memperkuat tekad dan solidaritas. Represi tidak pernah menjadi sebuah titik henti.

“Ketika saya ditangkap, itu justru membuat saya akhirnya selalu bertanya-tanya dan terus menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu yang membuat kuat,” kata Wanggi, Jumat, 22 Agustus 2025. “Kenapa mereka menangkap saya? Dasarnya apa? Kesewenang-wenangan tadi? Itulah (yang) membuat kita terasah dan akan kuat karena sudah belajar.”

Dijelaskan Wanggi, aparat sering kali melakukan tindakan penangkapan massa aksi demonstrasi dengan dalih “mengganggu ketertiban”. Padahal, ketertiban umum tidak akan terjadi jika kepolisian tidak melakukan edukasi dan sosialisasi. Masyarakat sipil seperti dikelabui. Untuk melakukan kegiatan massal, mereka harus mengurus surat perizinan atau pemberitahuan tapi ujung-ujungnya aksi dilarang, “ditertibkan”, atau bahkan dikriminalisasi karena alasan administratif.

Menanggapi RKUHAP, Wanggi, mengajak publik untuk tidak melulu khawatir tapi juga harus waspada dengan ancaman yang akan dialami. Rancangan ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi, kebebasan bereskpresi, dan ruang sipil. Semua lapisan masyarakat akan terdampak.

Kewaspadaan semakin dibutuhkan dalam setiap kerja aktivasi warga, terutama di ruang-ruang fisik yang terbukti kian rentan menghadapi represi. Seluruh pihak harus bersepakat untuk saling memberikan ruang aman. Pendekatan yang diprioritaskan adalah dialog demi menjaga ruang bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat.

“Kita harus menjaga orang-orang yang berada di ruang itu, saling jaga,” tutur seniman yang juga menjadi salah satu inisiator Aksi Kamisan Bandung ini. “Kita harus punya tim advokasi yang pada akhirnya punya siasat terhadap waktu dan tempat.”

Wanggi melihat pola kriminalisasi dan kesewenang-wenangan aparat bukanlah barang baru karena sudah dijalankan jauh sebelum riuh pemabahasan RKUHAP. Meski begitu, ia meyakini bahwa dengan menjaga solidaritas, saling melindungi, dan konsisten mengaktivasi ruang fisik, niscaya ruang demokrasi, kebebasan sipil, dan kebebasan berekspresi masih punya harapan untuk diperjuangkan, dan dimenangkan.

 

***

*Liputan ini merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak dengan Amnesty International Indonesia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//