• Kampus
  • Deteksi Dini Menjadi Kunci Penyembuhan Kanker Paru

Deteksi Dini Menjadi Kunci Penyembuhan Kanker Paru

Kanker paru-paru merupakan klaster penyakit kanker dengan tingkat kematian paling tinggi.

Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSKIA, Bandung, Rabu (16/6/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 November 2021


BandungBergerak.idKanker paru-paru menjadi penyebab kematian terbanyak dalam klaster penyakit kanker. Menurut laman Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu, (10/11/2021), kanker paru-paru telah membunuh 1,8 juta jiwa selama tahun 2020. Di urutan kedua ada kanker usus besar, dan ketiga kanker hati yang membunuh 830 ribu jiwa.

Meski mematikan, kanker paru-paru sebetulnya bisa disembuhkan, atau lebih tepatnya dapat dikendalikan dan dikontrol. Artinya, sembuh dalam hal ini bukanlah sembuh total, tetapi bermakna mencegah kanker tersebut dapat mengakibatkan kematian.

Syaratnya, kanker tersebut mesti ditemukan sedini mungkin, kata dokter spesialis paru Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, Siswanto, dalam Talkshow Painah & Paini: “Deteksi Dini Kanker Paru” yang dipublikasikan melalui kanal Youtube Rumah Sakit Akademik UGM pada Selasa, (9/11/2021).

“Prinsipnya itu kalau kita bisa menemukan stadiumnya lebih dini, maka peluang sembuhnya lebih besar,” tutur Siswanto, seperti dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (12/11/2021).

Siswanto kemudian membuat skema perbandingan bahwa deteksi dini menjadi kunci penyembuhan kanker paru. Jika kanker paru-paru dapat ditemukan dalam kondisi stadium 1, maka tingkat atau peluang kesembuhannya 85 persen; kalau kanker paru-paru stadiumnya 4, maka tingkat kesembuhannya (hanya) 15 persen.

Data peluang kesembuhan tersebut dihitung berdasarkan survei yang lebih kurang mempunyai skema sebagai berikut: kalau ada 100 orang yang terkena kanker paru-paru stadium 4 dalam waktu satu tahun, pasien yang berhasil bertahan hidup hanya 15 orang.

Deteksi dini sendiri berarti menemukan kanker paru-paru sebelum menunjukkan gejala atau keluhan. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengenali orang-orang yang mempunyai risiko tinggi terkena kanker paru-paru.

Orang pertama adalah laki-laki perokok yang berusia 40 tahun ke atas. Kedua, orang-orang yang terpapar asap atau polutan industri. Siswanto mengatakan orang-orang yang terkena asap atau polutan tersebut sebaiknya melakukan screening atau deteksi kanker paru-paru setiap tahunnya. 

Kemudian, golongan ibu-ibu juga berisiko tinggi terkena kanker paru-paru. Siswanto menjelaskan, ibu-ibu pada umumnya menjadi perokok pasif. Ibu-ibu juga rentan terpapar polutan rumah tangga layaknya asap dari pembakaran kayu bakar. 

Golongan terakhir adalah orang-orang yang memliki anggota keluarga dekat menderita penyakit paru-paru.

“Kalau ada keluarga yang terkena kanker paru-paru, itu risiko ke anak-anaknya juga meningkat”, jelas Siswanto.

Baca Juga: Mengenali Gejala Gagal Jantung dan Cara Menghindarinya
Pakar Unair Ungkap Osteoporosis Berpotensi Menyerang Anak Muda
Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak
Menanti Terobosan untuk Segudang Masalah Kesehatan Mental di Indonesia

Deteksi Dini Kanker Paru dengan Balon

Analisa berbeda disampaikan pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang merilis bahwa kanker paru merupakan penyakit keganasan yang sulit disembuhkan. Angka bertahan hidup lima tahun penderita kanker paru hanya sekitar 15 persen. Persentase ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan penderita kanker kolon (61 persen), kanker payudara (86 persen) dan kanker prostat (96 persen).

Mengutip laman resmi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, penyebab sulitnya kesembuhan pasien kanker paru adalah karena tidak adanya saraf di organ paru sehingga penderita tidak akan merasakan sakit. Akibatnya, banyak pasien yang datang terlambat dan sudah mencapai stadium lanjut.

Jika kanker sudah mencapai tahap stadium lanjut, maka pilihan pengobatan menjadi terbatas dan tidak maksimal. Selain pembedahan, terapi lainnya hanya bersifat paliatif seperti kemoterapi, radioterapi, kombinasi keduanya dan terapi target dengan masa bertahan hidup hanya 1-2 tahun.

Hingga saat ini belum ada metode untuk mendeteksi kanker paru yang noninvasif, sederhana, murah dan efektif. Menghadapi masalah ini, staf pengajar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RSUP Persahabatan, Achmad Hudoyo, melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk menemukan metode baru mendeteksi kanker paru yang tidak hanya mudah dan murah, namun juga dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di berbagai daerah di Indonesia.

Achmad Hudoyo menggunakan embusan napas pasien terduga kanker paru yang ditampung dalam sebuah balon karet. Embusan napas tersebut kemudian didinginkan dalam lemari es atau direndam di dalam air es agar gas atau uap air terkondensasi.

Tahap berikutnya, uap air yang sudah terkondensasi disemprotkan ke media kertas saring khusus untuk menyimpan DNA yang didapat dari embusan napas tersebut. Media kertas saring inilah yang kemudian dikirim ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut sebagai dasar penegakan diagnosis kanker paru.

Pada DNA yang terperangkap di kertas saring tersebut ditemukan 5 jenis senyawa spesifik yang hanya dijumpai pada napas embusan pasien kanker paru saja dan tidak ditemukan pada orang sehat. Senyawa tersebut yaitu Adenomatous Polyposis Coly (APC), P16, Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor 24 (CDKN2A), E-Cadherin (CDH1) dan Ras Association Domain Family 1-isoform A (RASSF1A).

Dengan demikian metode ini dapat dimanfaatkan untuk skrining kanker paru dikombinasikan dengan metode lain yang sudah direkomendasi secara internasional, yaitu pemeriksaan LDCT (Low Dose Ct-Scan). 

Keunggulan penelitian ini terdapat pada alat yang digunakan yaitu balon karet. Selain mudah didapat, balon karet juga terhitung murah. Selain itu, dengan menggunakan media kertas saring yang berisi DNA pasien terduga kanker, para tenaga kesehatan dapat dengan mudah mengirimkan sampel DNA tersebut dari berbagai daerah terpencil di Indonesia menggunakan jasa pos/ekspedisi, sehingga pasien terduga kanker paru di daerah pun dapat segera terdeteksi sejak dini.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//