• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (9): Masalah Tonil dan Dukungan Mahasiswa di Belanda Menjadi Bahasan Utama PNI

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (9): Masalah Tonil dan Dukungan Mahasiswa di Belanda Menjadi Bahasan Utama PNI

Sukarno berdiri di hadapan ribuan orang. Mula-mula merasa kecewa dengan pelarangan pertunjukan tonil.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Bioskop Empress tahun 1920. Sebelumnya bernama Apollo. (Sumber: Leiden University Libraries Digital Collections)  

13 November 2021


BandungBergerak.idPada tanggal 24 Maret 1929 Partai Nasional Indonesia afdeeling Bandung menggelar openbare vergadering di Bioskop Empress. Peserta yang hadir berjumlah 2.500 orang yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. Adapun 500 orang lainnya terkendala tak dapat masuk ke dalam ruangan, karena terlalu berdesak-desakan. Selain dijaga ketat oleh aparat polisi, para pejabat dan perwakilan dari beberapa surat kabar ikut mengamati jalannya pertemuan.

Jam 09.30, acara dibuka oleh Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai ketua dengan menyampaikan nasehat pembuka. Di samping itu ia menerangkan jika di antara peserta yang belum genap berumur 18 tahun harus segera meninggalkan ruangan yang didasarkan pada aturan pemerintah (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Kemudian Iskaq menjelaskan maksud dari digelarnya pertemuan ini. Menurutnya, kegiatan ini sebagai bagian dukungan terhadap mahasiswa di Belanda yang sebelumnya pernah masuk dalam sel tahanan. Hal ini mengacu pada keputusan kongres di Surabaya yang menetapkan hari peringatan untuk mahasiswa Indonesia di Eropa. Selain alasan tersebut, Iskaq juga menyebut bahwa acara ini bersamaan dengan akan diadakannya pentas tonil di gedung Societeit Ons Genoegen (kini Gedung YPK atau PPK, simpang Braga dan Naripan). Rencananya pertunjukan itu akan dilangsungkan sore hari. Tetapi akhirnya urung digelar karena adanya larangan dari pemerintah (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Dalam pidatonya, Iskaq mengkritik larangan pemerintah atas pertunjukan tonil yang tidak jadi digelar itu. Larangan ini tentu membuat heran karena sudah memakan banyak kerugian di samping biaya yang harus dikeluarkan. Menilik pada aturan yang telah ditetapkan, Iskaq menceritakan bahwa sebelum tahun 1854 pemerintah tidak memberikan anggaran terkait pertemuan yang diadakan oleh masyarakat Hindia Belanda. Namun dari tahun 1854, diadakanlah grond wet (hukum negara) yang berimbas pada aturan larangan mengadakan vergadering berbau politik (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Iskaq menambahkan, selama 61 tahun bangsa Pribumi telah terikat dengan aturan itu. Akan tetapi pada tahun 1915, mulailah muncul kelonggaran dari pihak pemerintah. Dalam besluit staten general (keputusan umum negara) tahun 1919 no. 27 disebutkan bahwa rakyat Pribumi diberikan kelonggaran untuk membentuk pertemuan massa secara terbuka atau di luar ruangan. Meski demikian pemerintah mempunyai kewenangan dalam melarang tempat-tempat yang telah ditentukan (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Bagi Iskaq, pelarangan tonil yang sedang dialaminya itu sebetulnya bisa ditolak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Hal ini mengacu pada keputusan umum tahun 1919 no. 27, yang isinya bersifat terbuka. Dengan demikian, menurut Iskaq, larangan tersebut bukanlah aturan yang mengikat dan masih dapat diupayakan seperti yang tertuang pada besluit staten general tahun 1919 no. 27.  Selama bangsa Pribumi punya hak, maka, larangan untuk menggelar tonil  bisa dipatahkan (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Seusai Iskaq berpidato, giliran Gatot untuk menanggapi persoalan yang ada. Gatot menjelaskan bahwa larangan terkait pertunjukan tonil tersebut merupakan rintangan sekaligus jalan propaganda yang sangat baik bagi seluruh anggota PNI. Dengan mendasarkan pada kondisi ini, Gatot mengklaim ratusan orang telah berbondong-bondong agar dapat menjadi anggota PNI. Demikian pula ia menyayangkan jika kala itu masih terdapat orang yang tidak peduli dengan kepentingan Indonesia.

Gatot mengajak kepada  kaum nasionalis Indonesia untuk menjalin hubungan dengan bangsa Asia yang lain. Dalam hal ini mesti memegang prinsip Inter Asiatisme, yang juga disokong oleh kaum perempuan terhadap keperluan politik kebangsaan dan kepentingan Tanah Air Indonesia. Menurutnya, bila dibandingkan dengan bangsa Asia yang lain, kaum perempuan di Indonesia terlihat sangat ketinggalan terutama dalam persoalan politik. Berdasarkan hal itu Gatot menilai, bahwa perempuan dan laki-laki seharusnya hidup secara setara, seperti dua sayap burung yang sama-sama kuat agar dapat terbang ke atas langit menuju kemerdekaan (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (7): Dua Pertemuan Terbuka PNI Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (6): Pertemuan Terbuka PNI Afdeeling Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (5): Kursus PNI di Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (5): Polemik Banteng Priangan dengan De Preangerbode
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (4): Pergerakan PNI dalam Pengawasan Pemerintah Kolonial

Setelah pidato Gatot yang sangat memukau itu usai, tibalah Sukarno berdiri di hadapan ribuan orang. Mula-mula ia merasa kecewa dengan pelarangan tonil tersebut. Setelah itu Sukarno mengucapkan rasa syukurnya karena begitu senang melihat ribuan orang memadati gedung pertemuan. Ia pun menyeru kepada para hadirin supaya jangan berkecil hati akibat pentas tonil yang tidak jadi digelar itu. Lalu Sukarno menjelaskan ihwal tujuan dan usaha Partai Nasional Indonesia untuk menjunjung harkat derajat kaum Pribumi yang sedang berada dalam kesengsaraan (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Melihat bangsa Pribumi yang jauh dari kesempurnaan, Sukarno mempunyai harapan dalam aspek sosial, politik dan ekonomi untuk bisa kembali ke zaman lampau. Cara yang dapat ditempuh, menurutnya, harus bersatu dengan kebersamaan supaya mencapai kemerdekaan. Ia menambahkan bahwa kesengsaraan yang sedang dirasakan bukan saja diketahui oleh bangsa Pribumi sendiri, namun juga oleh kaum imprealisme. Karena mereka merasa malu oleh negara tetangga, akhirnya kaum imprealis membuat propaganda di mana-mana, dengan menceritakan hal-hal positif di Hindia Belanda (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Dalam pidatonya itu Sukarno menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan jalannya imprealisme. Nama-nama seperti Prof. Trub, Notosoeroto yang kemudian berganti nama menjadi Joedjana, dan Enhoven, merupakan beberapa tokoh yang telah mempropagandakan kebohongan di negara-negara lain. Dengan melihat kondisi seperti ini Sukarno menyarankan untuk membuat propaganda tandingan. Hal ini dilakukan agar seluruh dunia tahu keadaan yang sebenarnya di Indonesia. Malah Sukarno setuju dengan pendapat Middendorp yang menyebutkan agar kesengsaraan masyarakat Pribumi Hindia Belanda ditunjukkan kepada pengadilan dunia (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Perlunya mengadakan propaganda tandingan memang penting untuk memperlihatkan keadaan rakyat Hindia Belanda. Sukarno mencontoh sosok Multatuli yang menggambarkan kesengsaraan masyarakat Pribumi melalui novelnya, Max Havelaar. Bahkan, ia berharap karya seperti itu bisa disebarkan ke seluruh penjuru dunia supaya jadi bahan pertimbangan dan memperhatikan nasib bangsa Indonesia. Selain itu Perhimpunan Indonesia sebagai perwakilan pergerakan mahasiswa di Eropa, juga gencar melakukan propaganda. Aksi propaganda tandingan Mohammad Hatta di Geneve, bagi Sukarno, perlu didukung lebih jauh. Sekurang-kurangnya dengan mengadakan biro di berbagai wilayah (Sipatahoenan 30 Maret 1929).

Setelah Sukarno berpidato, Inoe Perbatasari maju ke depan. Kali ini ia menerangkan tentang persoalan yang sebelumnya sudah dibahas. Selanjutnya ketua menawarkan kepada para hadirin untuk berpendapat. Dengan masing-masing waktu yang diberikan selama lima menit. Dachlan dari Pekalongan mendapat giliran pertama. Dilanjutkan oleh Joedapradja dari Garut. Sampai pendapat terakhir muncul dari Gatot Soetadipradja mengenai agen P.P.P.K.I. di Bandung (Sipatahoenan 3 April 1929).

Dengan munculnya berbagai pendapat, maka, Gatot Mangkoepradja menimbang agar pertemuan tersebut diadakan mosi. Mosi pun dibacakan disertai sorak sorai kegembiraan dari para hadirin.

“Motie 1: openbare vergaderingPNI tjabang Bandoeng pada hari Ahad tanggal 24 Maret 1929, di gedong Empress bioscoop Bandoeng, dihadiri oleh koerang lebih 2500 orang laki-laki dan perempoean. Mendengar keterangan-keterangan tentang sanget perloenja propaganda nasionaal Indonesia di negeri asing. Mendengar bahwa di kalangan Perhimpoenan-perhimpoenan Indonesia di Eropa ada jang memandang lebih baik Perhimpoenan Indonesia dipindahkan ke Indonesia, sebagai jang tertoelis dalam Indonesia Merdika no.7-8. Mengingat faedahnja Perhimpoenan Indonesia bagi propaganda di negeri asing itoe. Mengingat faedahnja banjak poetera-poeteri Indonesia bersekolah di negeri asing. Menimbang perloe teroes adanja Perhimpoenan Indonesia itoe di Europa atau setidak tidaknja mengadakan bureau bureau propaganda di negeri asing adanja. Motie 2: Openbare vergadering enz..enz..(sebagai di atas). Mendengar keterangan keterangan atas bahaja jang mengantjam koekoehnja persatoean P.P.P.K.I. menimbang bahwa P.P.P.K.I. itoe soeatoe badan perboeatan jang perloe sekali bagi gerak rajat Indonesia menoedjoe ke kemerdikaan. Mengadjak seloeroeh rajat Indonesia mendjoendjoeng tinggi akan P.P.P.K.I. itoe. Dan senantiasa akan memperkokohannja” (Sipatahoenan 3 April 1929).

Setelah mosi selesai dibacakan, akhirnya, acara ditutup pada pukul 12.30 dengan penuh kegembiraan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//