• Nusantara
  • Catatan Kritis Ditolaknya Gugatan Penggabungan Ganti Rugi pada Kasus Juliari Batubara

Catatan Kritis Ditolaknya Gugatan Penggabungan Ganti Rugi pada Kasus Juliari Batubara

Putusan majelis hakim yang menolak gugatan para korban korupsi pengadaan paket bansos Covid-19 itu jauh dari prinsip keadilan.

Warga mencairkan uang bantuan sosial di kawasan Antapani, Bandung, Kamis (22/7/2021). (Foto: Prima Mulia)

Penulis Delpedro Marhaen29 Desember 2021


BandungBergerak.idSistem hukum yang ramah bagi koruptor merupakan sisi lain dari gambaran banyaknya kasus korupsi dan buruknya performa penegak hukum di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) menginisiasi kegiatan eksaminasi publik terhadap putusan penggabungan perkara gugatan ganti rugi korban korupsi bansos Covid-19 dalam perkara mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Salah satu eksaminator, Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan (Unpar), Agustinus Pohan memberikan catatan kritis terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menolak gugatan tersebut.

Agustinus menilai putusan majelis hakim yang menolak gugatan para korban korupsi pengadaan paket bansos Covid-19 itu jauh dari prinsip keadilan dan keseimbangan yang diamanatkan dalam KUHAP. Pasal 98 KUHAP, kata Agustinus, mengatur penggabungan perkara gugatan ganti rugi dan pidana dalam waktu yang bersamaan yang didasari pada upaya percepatan agar pelaku dapat segera memberikan ganti rugi dan pemulihan hak korban. Artinya, putusan majelis hakim yang menolak penggabungan gugatan ganti rugi tersebut berdampak pada tidak adanya pemulihan dan perlindungan terhadap hak korban korupsi.

“[Dalam putusan tersebut] sepertinya perlindungan hanya diberikan kepada terdakwa dengan segala hak-haknya, hak untuk membela diri, dan hak-hak lainnya. Tapi bagaimana dengan haknya korban,” ujar Agustinus Pohan dalam kanal Youtube ICW, Selasa (28/12/2021).

Agustinus juga kecewa terhadap adanya putusan tersebut. Sejak dulu, lanjut Agustinus, ketentuan penggabungan perkara yang diatur pasal 98 KUHP punya banyak kelemahan, salah satunya mengenai batasan materi gugatan yang hanya terbatas pada kerugian materil atau kerugian yang nyata diderita korban. Dalam kasus korupsi bansos Covid-19, misalnya, yang terjadi bukan hanya kerugian materil saja, melainkan kerugian immateriil: kerugian atas manfaat dan kehilangan keuntungan yang akan diterima korban di kemudian hari.

“Kita sebetulnya berharap praktik bisa memperbaiki keadaan-keadaan ini. Kelemahan yang ada dalam KUHAP itu diperbaiki oleh praktik. Tapi apa yang kita alami jangankan memperbaiki kelemahan, bahkan yang sudah nyata-nyata harus bisa sekalipun ternyata tidak dikabulkan,” ungkap Agustinus.

Menurut Agustinus kelemahan selanjutnya mengenai problematika dalam hukum acara. Mengenai keterkaitan antara putusan pidana dan perdata, misalnya, jika dilakukan upaya hukum lebih lanjut terhadap salah satu putusan, baik banding atau kasasi maka putusan yang satunya juga harus mengikuti hal yang sama. Dengan demikian, kata Agustinus, jika ada upaya hukum lanjutan yang dilakukan akan memakan waktu hingga 2 tahun dan itu bertolak belakang dengan tujuan percepatan ganti rugi.

“Maka seharusnya bisa dilakukan putusan yang bisa dilaksakan terlebih dahulu. Tetapi dalam penggabungan perkara ganti rugi sulit dilakukan hal itu. Ini satu kelemahan di satu pihak ingin mempercepat, di lain pihak aturannya belum mencerminkan itu. Kita berharap praktik bisa memperbaiki keadaan-keadaan itu,” kata Agustinus.

Agustinus mengatakan pemulihan hak korban korupsi pengadaan paket bansos Covid-19 menjadi sangat penting dalam situasi sekarang. Menurutnya yang menjadi korban dari kasus korupsi tersebut bukan hanya individu masyarakat, melainkan negara dan lingkungan hidup. Dengan demikian, kata Agustinus, dibutuhkan penyegeraan pemulihan hak korban terkait pengembalian kerugian uang negara, pemulihan lingkungan dan kerugian di masyarakat.

“Bisa diusulkan [oleh lembaga terkait] bekerja sama untuk menyusun draft tentang prosedur penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana,” pungkas Agustinus.

Baca Juga: TERJERAT RENTENIR (1): Mimih dalam Ancaman Bunga Tinggi dan Teror Pinjol
TERJERAT RENTENIR (2): Utang Tetangga Membawa Petaka

Gugatan Ditolak

Pengadilan Tipikor Jakarta menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian korban korupsi bansos dalam perkara mantan Mensos, Juliari Batubara pada Juli lalu. Hakim menilai perkara ganti rugi tersebut tidak relevan jika digabungkan dengan perkara korupsi bansos Covid-19 yang menjerat Juliari. Penolakan ini menjadi jalan terjal bagi pemulihan korban korupsi bansos yang telah dirugikan dari kejahatan tersebut.

"Menetapkan, menolak permohonan para pemohon melalui kuasanya untuk menggabungkan pemeriksaan secara perdata gugatan ganti kerugian dengan perkara Tipikor atas nama terdakwa Juliari Peter Batubara. Menyatakan biaya perkara nihil," demikian penggalan putusan yang dibacakan hakim pada Juli silam.

Tim Koalisi Advokasi Korban Korupsi Bansos berharap Mahkamah Agung mengoreksi kesalahan penerapan hukum oleh majelis Pengadilan Tipikor Jakarta dan memerintahkan peradilan di bawahnya untuk dapat membuka kembali pemeriksaan penggabungan gugatan ganti kerugian. Hal ini sangat penting untuk mempertahankan konsistensi penerapan Pasal 98 KUHAP dan juga melindungi kepentingan pencari keadilan, khususnya kepentingan korban-korban korupsi yang hingga kini masih dipinggirkan dalam sistem penegakan hukum korupsi.

Sebelumnya, dalam persidangan kasus korupsi Bansos Covid-19 Juliari Batubara, sejumlah warga mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti rugi korban korupsi bansos Covid-19. Namun hakim menolak menggabungkan gugatan ini. Menteri Sosial Juliari Batubara sendiir divonis pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 500 juta, 23 Agustus 2021. Hakim menyatakan Juliari terbukti secara sah dan meyakinkan terhadap Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 atau Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//