• Cerita
  • Asa Anak-anak di Permakaman Pandu

Asa Anak-anak di Permakaman Pandu

Mereka ada yang bercita-cita menjadi pilot dan tentara. Mencari sedekah di permakaman Pandu.

Permakaman Pandu, Bandung, biasa menjadi tempat mencari sedekah bagi anak-anak sekitar. Mereka membantu apa saja kepada para pengunjung makam, Rabu (1/12/2022). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman18 Januari 2022


BandungBergerak.id – “A lagi cari makam siapa? Mungkin bisa saya bantu carikan makam yang Aa cari,” tanya tiga orang anak kepada BandungBergerak.id, Rabu (1/12/2022) sore.

Tiga anak yang sedang berkeliaran di permakaman Pandu tersebut adalah Febrianto (15), Iwan (10), dan Ramdan (6). Mereka tinggal di satu kampung yang sama, yaitu Citepus. Ramdan dan Iwan adalah adik kaka, sedangkan Febrianto atau panggilan akrabnya Ebi adalah tetangga mereka.

Setiap harinya, sehabis sekolah mereka langsung pergi ke makam Pandu untuk membantu orang yang berkunjung ke sana atau ikut menembok makam. Biasanya Ramdan dan Iwan yang datang duluan ke makam, sementara Ebi biasanya menyusul karena baru pulang dari sekolah pukul tiga sore. Baru menjelang magrib, mereka pulang ke rumah masing-masing.

Di saat anak seusianya bermain riang dengan teman sebayanya, mereka mau tidak mau menghabiskan hari dengan berkeliaran di permakam Pandu untuk membantu apa yang mereka bisa bantu dan berharap ada upah dari hasil jerih payah mereka. Baru setelah mereka mendapat bekal yang cukup, mereka dapat bermain dengan teman yang lainnya.

Ebi mengaku sudah menjalani kegiatan seperti ini selama sembilan tahun. Sementara Iwan baru menjalaninya selama empat tahun. Adapun adiknya Iwan, Ramdan suka mengikuti kakaknya sejak umur empat tahun.

“Saya mah A, sudah cari uang di makam dari segede Ramdan. Iwan juga sama, tapi kalau adiknya suka ikut-ikut kayak gini sejak umur empat tahun,” tutur Ebi.

Di usia anak-anak, sebenarnya mencari upah tanpa pengawasan orang dewasa atau orang terdekat rentan akan perilaku kejahatan. Ebi yang memulai kegiatan ini mengaku tidak secara intensif melakukannya ketika waktu kecil, sebab sadar akan dirinya yang masih belum bisa membela diri dan banyaknya kabar berseliwuran terkait penculikan anak kecil.

Namun seiring waktu berjalan, Ebi semakin dikenal warga sekitar, bahkan teman-temannya mengetahui keseharian Ebi di permakaman. Ia tidak malu. Tidak sedikit temannya juga yang ikut menemani Ebi berkeliling di permakaman.

Penghasilan yang mereka dapatkan dari membantu orang di permakaman tidak pernah menentu. Kadang mendapat hasil yang banyak. Kadang pula tidak mendapat serupiah pun dari pengunjung, padahal ia telah membantu pengunjung mencari, membersihkan, atau membawa barang bawaan si pengunjung.

Penghasilan terbesar yang pernah mereka dapatkan kurang lebih bisa mencapai Rp 400 ribu. Biasanya itu didapatkan ketika menginjak hari-hari besar, seperti di permakaman Sirnaraga mereka mendapat hasil yang besar ketika terjadi momen hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara di permakaman Pandu, mereka mendapat hasil yang besar ketika natal, tahun baru, dan imlek.

Ketika mendapat hasil yang besar, Ebi, Iwan, dan Ramdan tidak pernah memakan seluruh upahnya sendirian. Biasanya sebagian besar upah diberi ke orang tua mereka untuk menabung atau bahkan untuk dipakai keperluan orang tua mereka. Baru sisanya, mereka gunakan untuk bekal bermain.

“Orang tua tahu kalau kita bantu bantu di makam, dan dibolehin sama orang tua. Terus kalau dapet banyak juga biasanya suka dikasih ke orang tua, terus kadang dari hasil yang banyak itu suka dibeliin baju baru, celana baru, kadang juga sama Iwan suka dipakai buat main PS,” tutur Ebi.

Namun terkadang ketika mereka mendapat hasil yang besar, ada pihak yang iri terhadap apa yang mereka dapatkan, yaitu para orang dewasa. Pernah ada kejadian di permakaman Sirnaraga, pada saat itu orang dewasa menemani mereka ketika membantu para pengunjung. Ketika mereka mendapatkan upah, orang dewasa tersebut tidak membaginya secara adil. Hal itu sering terjadi di permakaman Sirnaraga.

“Kami sering di Pandu karena sering dilicikin sama anak gede di Sirnaraga. Soalnya abis dikasih upah, biasanya anak gede ngambil banyak jatah kami. Dulu pernah kejadian kami dikasih Rp 150 ribu, masing-masing dari kami cuman dapat Rp 5 ribu atau Rp10 ribu. Sisanya buat anak gede,” ucap Ebi.

Oleh karenanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di permakaman Pandu. Di sana mereka mendapat perlakuan baik dari banyak orang. Bahkan kalau ketahuan tidak adil membagi rata di antara mereka bertiga, orang dewasa akan memarahinya.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
Majelis Sastra Bandung 13 Tahun dalam Pusaran Informasi
BANDUNG HARI INI: Teater Sunda Kiwari dan Totalitasnya Melestarikan Bahasa Sunda

Cita-cita

Sebagai seorang anak, tentunya mereka memiliki cita-cita yang tinggi dan berusaha untuk mengejar cita-cita tersebut. Bukti dari usaha mereka saat ini adalah mereka tidak ingin putus dari sekolah. Setiap harinya mereka pergi ke sekolah. Jika ada tugas, mereka kerjakan pula.

“Saya ingin jadi tentara, A,” ucap Iwan sambil mengacungkan tangannya.

Mendengar apa yang dikatakan Kakaknya, Ramdan juga ingin mengikuti apa yang dicitakan oleh Iwan. Meskipun Iwan menyelisihinya untuk jadi polisi, Ramdan tetap ingin menjadi apa yang  diinginkan kakaknya.

Sementara Ebi ingin menjadi seorang pilot. Bisa pergi kemana-mana, melihat berbagai pemandangan yang bukan makam rasanya menyenangkan bagi Ebi. Namun mau tidak mau, mereka harus berjuang lebih ekstra terlebih dahulu, yaitu dengan mencapai pendidikan yang lebih tinggi dan berkeliling di makam untuk menyambung cita-cita mereka.

Selain itu, terkadang mereka tidak puas dengan sekolah yang mereka jalani, terutama ketika mendapati guru yang tidak serius dalam mendidik. Hal ini dikeluhkan Iwan ketika melihat ada salah seorang gurunya yang datang hanya memberikan tugas, kemudian sibuk dengan gawainya.

A, hayu pulang. Lapar,” ucap Ramdan. Hari menjelang sore, sementara mereka belum mengantongi serupiah pun. Di saat itu pula perut Ramdan sudah berbunyi dan mereka pun pamit untuk pulang.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//