JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (1): Permakaman sebagai Media Literasi
Kuburan-kuburan di Bandung, seperti kuburan lain di Indonesia, identik dengan hawa angker. Jika didekati dengan pendekatan literasi, hawa itu berubah menjadi lain.
Penulis Reza Khoerul Iman21 Januari 2022
BandungBergerak.id – Di berbagai era, permakaman selalu identik sebagai tempat peristirahatan terakhir manusia setelah masa kehidupan. Karena fakta ini permakaman kerap mendapat stigma angker bagi banyak orang.
Namun jika melihat fakta di lapangan, pada beberapa waktu dan tempat tertentu, nilai angker dari sebuah permakaman menjadi pudar. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai kegiatan yang berlangsung selama di permakaman, seperti aktivitas perdagangan, pertukangan, tempat area bermain anak, dan tidak sedikit yang menjadikan permakaman sebagai destinasi wisata.
Berbagai aktivitas warga yang terjadi di permakaman, diketahui telah terjadi semenjak tahun 50-an. Cerita terkait hal ini dapat disimak dalam buku Us Tiarsa yang bertajuk “Basa Bandung Halimunan: Bandung Taun 1950-1960-an”.
Dalam bahasa Sunda, Us Tiarsa menuturkan kondisi kerkhof (makam dalam bahasa Indonesia) di Jalan Pajajaran merupakan tempat ia bermain sehari-hari. Permakaman Belanda yang sekarang berubah menjadi GOR Pajajaran memang sudah menjadi destanasi wisata warga sekitar pada masanya.
Orang dari Cicendo, Rumah buta (Wyata Guna, sekarang), Merdeka Lio, Nangkasuni, Torpedo (Pasar Kembang Wastukencana, sekarang), Kebon Kawung, dan lain sebagainya menjadikan tempat yang dikenal dengan nama Kerkhof Kebon Jahe itu sebagai pilihan untuk berwisata.
Sebagai warga Kebon Kawung, Us Tiarsa bercerita bahwa permakaman tersebut ramai dijadikan tempat bermain anak hingga orang tua. Di sana anak-anak bermain riang memainkan permainan petak umpet, ucing udag, dan lain sebagainya. Adapun para orang tua menjadikan makam tersebut sebagai tempat untuk menongkrong.
Kini permakaman dan keseruan di permakaman tersebut tinggal cerita. Menurut penelusuran BandungBergerak.id, ada seorang bapak penjual gorengan di GOR Pajajaran yang pernah merasakan euforia bermain di Kerkhof Kebon Jahe. Orang mengenalnya dengan nama Sambas. Sambas mengaku masih mengingat jelas masa-masa ketika ia bermain petak umpet bersama rekannya di sini. Bahkan ia juga menyaksikan bagaimana makam di Jalan Pajajaran tersebut digusur dan dijadikan area olahraga.
“Atuh ini mah tempat main Bapak waktu masih kecil. Bapak masih inget suka ngumpet di makam-makam yang ada di sini waktu main petak umpet,” tutur Sambas, kepada BandungBergerak.id, Rabu, (01/05/2022).
Kisah-kisah tersebut menjadi bukti bahwa permakaman tidak selamanya memiliki stigma angker bagi setiap orang, kecuali jika hari menuju gelap, mereka yang punya keperluan dan cukup punya nyali saja yang berdiam diri di makam.
Selain menjadi tempat aktivitas warga, beberapa orang atau kelompok biasa menjadikan makam sebagai media literasi, salah satunya di bidang sejarah. Namun menjadikan permakaman sebagai media literasi belum terlalu populer. Di Kota Bandung, Komunitas Aleut hingga sekarang menjadi komunitas sejarah yang rutin menjadikan permakamanan sebagai media literasi. Bahkan beberapa makam penting yang berceceran di tengah padatnya Kota Bandung, ditemukan dan dipublikasikan pertama kali oleh Komunitas Aleut.
Awal Mula
Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” menyebutkan permakaman menjadi satu perlengkapan sebuah kota yang penting. Tanpa permakaman, sebuah kota tidak akan bisa ditata dengan baik. Orang akan menguburkan orang mati secara sembarang. Hal ini pernah dialami oleh Bandung ketika statusnya belum berubah menjadi Gemeente atau Kotapraja. Pada waktu itu, orang dapat secara bebas menguburkan orang mati di mana saja. Kuburan di depan halaman rumah atau di lahan perkebunan sudah biasa ditemukan pada masanya.
Baru kemudian setelah Gubernur Jendral G.B. van Heutz memutuskan Bandung untuk dijadikan Gemeente, pada 1 April 1906 melalui perundang-undangan 21 Februari 1906, hingga terbentuknya undang-undang 1 Maret 1906, Kota Bandung secara sah mejadi daerah otonomi yang dapat mengurus, mengatur, dan mengelola beberapa tugas wewenang, layaknya rumah sendiri.
Salah satu dari sekian tugas wewenang Gemeente adalah membuat dan memelihara perkuburan umum Islam maupun Kristen di dalam wilayah Gemeente Bandung. Adapun kuburan Cina, dibangun dan dipelihara di luar kota (Gemeente).
Statusnya sebagai Gemeente tidak lantas membuat Kota Bandung memiliki permakaman secara terpusat. Baru pada tahun 1917 Kota Bandung mengeluarkan Bouwverrordening van Bandung (Undang-Undang Pembangunan Kota Bandung). Hal ini didorong oleh maraknya tingkat kematian yang disebabkan oleh wabah kolera pada tahun 1910. Kuburan berceceran di mana-mana, lingkungan rumah atau lahan perkebunan warga sudah biasa menjadi tempat orang menguburkan jenazah. Bahkan pada waktu itu Kota Bandung mendapatkan julukan yang mengerikan, yaitu kinderkerkhof (kuburan anak-anak).
Semenjak dikeluarkannya Bouwverrordening van Bandung tahun 1917, permakaman di Kota Bandung mulai ditertibkan dan proses pemakaman harus ditempatkan dalam satu kompleks permakaman yang telah ditentukan. Pada waktu itu permakaman untuk umat Islam ditempatkan di Astana Anyar, untuk orang Cina di Cikadut, dan untuk orang Belanda di Kerkhof di Jalan Banceuy sekarang.
Baca Juga: Asa Anak-anak di Permakaman Pandu
Anak-anak Kampung Karees Mengenang Korban Perang di TPU Pandu
Sejumlah Makam di TPU Cikadut Amblas
Permakaman sebagai Media Literasi
Dari fenomena dan fakta yang usai dipaparkan, muncul pertanyaan, mengapa permakaman menjadi suatu pembahasan yang perlu dikaji lebih luas?
Permakaman hingga saat ini masih dinilai sekadar tempat untuk orang mati. Permakaman hanya didatangi ketika ada orang mati atau pada hari-hari tertentu saja. Jarang permakaman dijadikan sebagai media literasi.
Padahal kalau ditinjau lebih dalam, jika permakaman dikolaborasikan dengan data sejarah, maka permakaman dapat memberikan informasi terkait sejarah, sebagai ciri pembangunan dan perkembangan sebuah kota, bahkan hingga sejarah arsitekturnya. Bagaimana bisa?
Misalnya TPU Pandu, Kota Bandung, yang didirikan pada tahun 1932. Permakaman Belanda ini merupakan gudangnya informasi sejarah. Di sana kita bisa mengetahui orang-orang yang hidup pada zamannya, mengetahui kondisi pada zamamnya, bagaimana kisahnya, apa saja peran dan sumbangsihnya, hingga menjadi saksi digusurnya Kerkhof Kebon Jahe. Jauh lebih dalam, di luar benar atau kelirunya narasi sejarah, permakaman menjadi suatu bukti akan kebenaran sejarah, bahwa orang yang disebutkan tersebut nyata adanya.
Itu baru di TPU Pandu, belum lagi dengan TPU-TPU lainnya yang tersebar di empat penjuru mata angin di Bandung. Berdasarkan data Permakaman Kota Bandung tahun 2017, Kota Bandung memiliki empat UPT yang mengurusi permakaman atau TPU. Total empat UPT ini mengurus 13 TPU dengan ribuan hingga puluhan ribu makam aktif dan ribuan hingga puluhan ribu nonaktif. Jumlah tersebut belum termasuk makam cadangan, makam tumpang, dan lain-lain. Nama-nama TPU-nya terdiri dari Permakaman Sirnaraga, Cibarunay, Pandu, Rancacili, Gumuruh, Ciburuy, Maleer, Cikutra, Nagrog, Cikadut, Legok Ciseureuh, Astana Anyar, Babakan Ciparay.
Maka dapat terlihat jika permakaman dijadikan sebagai media literasi akan membuat permakaman tersebut berbunyi. Akhirnya permakaman di Indonesia, khususnya Kota Bandung, tidak akan lagi menjadi saksi bisu sejarah.