• Berita
  • Diskusi tentang Sungai di Kampung Cibarani, ketika Sampah Menjadi Bencana Budaya

Diskusi tentang Sungai di Kampung Cibarani, ketika Sampah Menjadi Bencana Budaya

Sungai-sungai seperti Citarum sudah lama tercemar oleh sampah rumah tangga dan industri. Perlu perubahan budaya dalam melihat sungai agar tidak dipinggirkan.

Nobar dan Diskusi Film Ekspedisi 3 Sungai: Sampah Bencana Budaya, digelar komunitas Kampoeng Tjibarani dan Komunitas Cikapundung, di Teras Cikapundung, Bandung, Selasa (2022/01/25). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman27 Januari 2022


BandungBergerak.id – Sampah, terutama sampah plastik, kini semakin tak terkendali. Di desa maupun di kota sama-sama menghadapi masalah sampah plastik ini. Tak heran jika masalah sampah ini disebut sebagai bencana budaya. Sebab masalah ibarat warisan turun-menurun dan sulit dipecahkan.

Salah-satu faktor yang menyebabkan negeri ini dilanda permasalahan sampah adalah kurangnya edukasi yang merata terkait pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, bencana budaya terjadi karena orang tidak punya kesadaran terhadap pelestarian lingkungan. Baru setelah merasakan akibatnya, orang mengeluh di sana sini.

Permasalahan tersebut melatarbelakangi acara yang digelar oleh komunitas Kampoeng Tjibarani (Kampung Cibarani) dan Komunitas Cikapundung, yaitu Nobar dan Diskusi Film Ekspedisi 3 Sungai: Sampah Bencana Budaya, Selasa (2022/01/25).

Ketua pelaksana acara, Aqli Syahbani (42), menuturkan secara garis besar acara ini bertujuan mengikat tali silaturahmi dan pemberian edukasi terkait sungai kepada masyarakat umum dan komunitas-komunitas yang ada di Kota Bandung.

Pada acara diskusi, ada empat pembicara yang dilibatkan, yaitu Prigi Arisandi (peneliti Ecoton), Hawe Setiawan (budayawan), Rahim ABS (praktisi), dan Irwan Zabonk (sineas).

Hawe Setiawan atau akrab disapa Kang Hawe menilai, bahwa sungai hari ini diperlakukan sebagai tempat pinggiran. “Meskipun penempatannya di pinggiran, bukan berarti kita harus memperlakukan sungai seperti itu (dipinggirkan),” kata Hawe Setiawan, dalam diskusi.

Namun akibat kesalahan pandangan terhadap sungai tersebut membuatnya menjadi tempat pembuangan segala macam benda yang disebut sampah. Akibatnya, sungai menjadi tercemar.

Kang Hawe menyarankan agar narasi tentang sungai dan pelestariannya lebih diperbanyak, begitu juga publikasi tentang pentingnya pemeliharaan sungai yang harus lebih digencarkan lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Prigi Arisandi memperkenalkan sebuah alat yang disebut umplung (kaleng). Fungsinya sebagai penyaring sampah microplastik. Alat ini sebagai penyaring yang diikat oleh tali ban dan sudah dipraktikkan sebagai alat penyaring sampah di sungai-sungai.

Menurut Parigi, dalam setahun Indonesia menyumbangkan 3,5 juta ton sampah plastik ke laut. Indonesia itu tiap tahunnya memproduksi 8 juta ton sampah plastik. Selain itu, popok juga menyumbangkan sebanyak 21 persen sampah ke lautan.

Sementara itu, pemerintah hanya mampu mengolah 3 juta ton sampah melalui bank sampah dan hasil proses memilah. Sisanya, sebayak 5 juta ton sampah dibuang ke alam, sisa lainnya ada yang dibakar dan ditimbun ke tanah.

Maka, adanya acara yang digelar Kampung Cibarani diharapkan dapat menyadarkan setiap pengunjung yang hadir terkait permasalahan sampah. Setidaknya, acara ini menggugah kesadaran personal dan akhirnya menularkan kesadaran itu ke lingkungan di sekitarnya.

Baca Juga: Data Status Mutu Air Anak Sungai Citarum di Kota Bandung 2020, Sungai Ciwastra Terburuk
Penataan Sungai Cidurian Sebaiknya Fokus pada Konservasi Lingkungan, Bukan Wisata
Masyarakat Wajib Simpan Air, PR Pemkot Bandung Benahi 40 Sungai

Nobar 3 Ekspedisi Sungai

Selain diskusi, acara di Kampung diwarnai dengan pemutaran film dokumenter Ekspedisi 3 Sungai di Teras Cikapundung, Jalan Babakan Siliwangi, Kota Bandung. Film ini hasil jerih payah Ecton Foundation dan Wacthdoc. Sebagaimana judulnya, film ini memperlihatkan kondisi tiga sungai yang ada di Pulau Jawa, yaitu Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, dan Sungai Citarum.

Pengambilan footage untuk kebutuhan film dokumenter ini dilakukan sejak 2021. Kemudian baru pada bulan Desember 2021, film ini mulai dimuat di YouTube Watchdoc. Rencananya, film ini akan tayang sebanyak tiga season, tiap season-nya akan tayang sebanyak enam episode.

Aqli Syahbani mengaku, komunitas Kampoeng Tjibarani sering menonton film-film hasil garapan Watchdoc. Tatkala Watchdoc menggarap film  Ekspedisi 3 Sungai, terkhusus di sana ada pembahasan sungai Citarum, Aqli merasa hal ini perlu dipublikasikan sebagai bahan edukasi kepada masyarakat, sehingga digelarlah nonton bareng.

“Kegiatan ini awalnya diinisiasi memang oleh Kampoeng Tjibarani, waktu itu kami memang sering nontong film-film Watchdoc terkait lingkungan, kami juga banyak belajar tentang lingkungan dari mereka,” tutur Aqli, kepada BandungBergerak.id.

Menurutnya, tujuan utama nobar selain edukasi juga sebagai percontohan agar penonton terhindar dari kejadian yang buruk akibat rusaknya lingkungan sungai. Melalui acara nobar ini, diharapkan para pengunjung sadar akan pentingnya menjaga lingkungan sungai.

Sungai merupakan salah satu kebutuhan manusia, sementara itu hingga saat ini banyak sungai Indonesia, khususnya di Bandung, Jawa Barat, yang tercemar oleh rumah tangga hingga pabrik alias industri.

“Nah, barangkali kita menambah insight wawasan lagi, terkait kondisi sungai hari ini, ingat kembali berkaca ke tempat-tempat lain, bahwasannya lingkungan itu sudah sangat rusak. Maka dari itu kami Kampung Cibarani termotivasi untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang ada di film itu,” ucap Aqli.

Aqli juga berharap acara ini dapat memberikan bekal kepada setiap pengunjung ketika kembali ke rumahnya masing-masing, yaitu ilmu dan komitmen personal terkait pelestarian lingkungan. Aqli ingin setiap pengunjung memiliki kesadaran akan kebersihan lingkungan. Sehingga hal tersebut dapat menjadi watak yang dipaparkan kepada orang lain dan akhirnya menjadi budaya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//