• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (13): Masih Tidak Berpolitik?

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (13): Masih Tidak Berpolitik?

Achmad Bassach dan istrinya, Siti Atikah, diundang dalam pertemuan PPPKI di Bandung. Pada pertemuan ini hadir pula Sukarno.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Achmad Bassach dan Siti Atikah hadir dalam pertemuan yang dihelat PPPKI cabang Bandung pada 7 Oktober 1928. Sumber: De Koerier, 8 Oktober 1928.

28 Januari 2022


BandungBergerak.idDalam tulisan-tulisan sebelumnya, sejauh yang saya baca, tidak ada satu pun yang menerangkan aktivitas politik Achmad Bassach selama aktif menjadi penulis roman Sunda, antara 1925 hingga meninggal pada 1929. Meski dapat dibilang ia berada di antara api dan api, tetapi mengingat Bandung antara 1925-1929 termasuk pusat aktivitas pergerakan di tanah air, saya pikir, tidak mungkin Achmad Bassach abai sama sekali terhadap perkembangan yang terjadi. Saya duga pasti ada jejak-jejak yang dapat membuktikan keterlibatannya.

Itulah salah satu yang menyebabkan saya kian intensif mencari berbagai pustaka terkait aktivitas politik Achmad Bassach selama masa tiarapnya di Bandung. Penyelidikan pustaka itu memang membuahkan hasil, meskipun tidak banyak. Namun, dari yang sedikit itu, membuat saya kian yakin, Achmad Bassach tetap saja termasuk aktivis pergerakan yang teguh.

Dua pustaka yang dapat menerangkan aktivitas politik Achmad Bassach adalah berita tentang kehadiran Achmad Bassach dan Siti Atikah pada pertemuan umum PPPKI di gedung bioskop di Kampung Kompa pada 7 Oktober 1928 dan berita mengenai rencana Achmad Bassach yang akan menjadi pemimpin redaksi surat kabar bulanan (maanblad) Kijker, yaitu berkala yang diterbitkan oleh serikat buruh pribumi di jawatan pertambangan, sejak 1 Mei 1929.

Berita pertama dimuat dalam De Koerier edisi 8 Oktober 1928. Di dalamnya disebutkan PPPKI cabang Bandung menyelenggarakan rapat umum pada 7 Oktober 1928 di gedung bioskop yang ada di Kampung Kompa (“bioscoopgebouw van kampong Kompa”). Konon, di samping dihadiri semua perhimpunan politik pribumi di Bandung (“alle voormannen van de Inlandsche politieke vereenigingen”), pertemuan tersebut juga dihadiri bekas ketua Partij Komunist India (“afdeelingsvoorzitter van de Partij Komunist India”) cabang Bandung Achmad Bassach dan beberapa orang perempuan.

Pertemuan itu dipimpin Soeraatmadja, barangkali Bakrie Soeraatmadja, aktivis Paguyuban Pasundan dan redaktur Sipatahoenan. Para pembicara yang menyampaikan pendapatnya adalah Gatot Soetadipradja, Mr. Iskaq, Marjadi, Ir. Sukarno, Sjarif (kerani di pengadilan negara di Bandung) beserta delapan pembicara lainnya yang agak kurang dikenal. Inti perbincangannya adalah ihwal prinsip dan tujuan PPPKI dan mendiskusikan penolakan terhadap de artikelen 161 bis, 153 bis dan 153 ter. Selain dihadiri para pribumi, acara itu juga dihadiri Dr. Genese, asisten residen Bandung, dan Van der Plas dari het Bureau voor Inlandsche zaken (biro urusan pribumi). Pertemuan yang dimulai pada pukul 09.30 itu berakhir pada pukul 14.30.

Achmad Bassach dan Siti Atikah dalam Pertemuan PPPKI

Menurut R. B. Cribb dan ‎Audrey Kahin (Historical Dictionary of Indonesia, 2004: 339), Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) adalah konferensi kelompok-kelompok nasionalis, terutama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Budi Utomo, dan Paguyuban Pasundan, yang dibentuk di Bandung pada Desember 1927 untuk memberikan suara relatif bersatu bagi pergerakan kaum nasionalis. Keputusan-keputusan PPPKI diambil melalui musyawarah, dengan maksud untuk mencegah pembebanan pandangan kaum mayoritas ke kaum minoritas. Pada April 1929, PPPKI menganggap Perhimpunan Indonesia (PI) sebagai perwakilannya di Belanda. Istilah permufakatakan kemudian diubah menjadi persatuan pada 1930 dan kata kebangsaan menjadi kemerdekaan pada 1933.

Sementara dari sisi sejarahnya, pembentukan PPPKI berkaitan dengan Kongres Pemuda Indonesia I yang diadakan antara 30 April hingga 2 Mei 1926 di Jakarta. Kongres itu antara lain mencapai kesepakatan untuk “mengakui dan menerima cita-cita persatuan Indonesia”. Mula-mula, para pemuda kebingungan untuk mewujudkannya, tetapi dengan pengasingan Dr. Tjipto Mangunkusumo ke Banda Neira tanpa alasan yang jelas pada 16 Desember 1927, mendorong organisasi-organisasi bangsa Indonesia untuk bersatu melalui pembentukan PPPKI di Bandung pada 17 Desember 1927. Partai-partai yang tergabung adalah PNI, Algemeene Studie Club, Partai Syarikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sarikat Sumatra, Kaum Betawi, Indonesische Studie Club, Sarekat Madura, Tirtayasa, dan Perserikatan Celebes (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat, Mardjani Martamin, dkk., 1977: 132-133).

Dari pengalaman Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, sebagai salah seorang yang terlibat di dalamnya, eksistensi PPPKI dianggapnya berkaitan dengan kehadiran PNI. Menurutnya, “Perkembangan/permasalahan politik, setelah PNI didirikan, maka nampak dengan adanya gagasan PNI timbul hasrat untuk membentuk suatu badan persatuan federatif antara organisasi-organisasi pergerakan nasional oleh tokoh-tokoh PNI Ir. Sukarno, Mr. Iskaq, Dr. Samsi dan lain-lainnya. Maka dengan demikian lahirlah di Bandung pada tanggal 17 Desember 1927 sebuah organiasi federatif, yaitu PPPKI” (Autobiografi Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo selaku perintis kemerdekaan, 1986: 8).

Dengan demikian, bila dikaitkan dengan konteks kelahiran PPPKI dan perkembangannya, diundangnya Achmad Bassach beserta Siti Atikah dapat dibaca sebagai sebentuk penghormatan kalangan partai di Bandung atas pengalaman dan pemikiran suami-istri itu dalam lapangan politik, khususnya yang terjadi di Bandung. Peristiwa hadirnya Achmad Bassach dan Siti Atikah dalam pertemuan PPPKI itu juga dapat dimaknai meski tidak terang-terangan melibatkan diri dalam organiasasi politik apa pun, keduanya masih tetap mengikuti perkembangan pergerakan nasional.

Sementara berita tentang rencana menjadi pemimpin redaksi dimuat dalam Sipatahoenan edisi 24 April 1929. Dalam tulisan berjudul “Maandblad Kijker” itu disebutkan demikian, “Mimiti ti tanggal 1 Mei 1929, di Bandoeng baris dikaloearkeun Maanblad Kijker basa Malajoe. Babakoena eta soerat kabar boelanan teh, baris nembongkeun nasib kaoem boeroeh priboemi di Mijnwezen” (Sejak tanggal 1 Mei 1929, di Bandung akan diterbitkan Maandblad Kijker dalam bahasa Melayu. Surat kabar bulan tersebut terutama hendak menunjukkan nasib buruh pribumi di jawatan pertambangan).

Selain itu, maksud penerbitan bulanan tersebut adalah akan memperhatikan gerak langkah pergerakan kaum buruh di bidang lainnya (“Djaba ti eta oge rek oelak ilik kana lengkah lengkahna kaoem boeroeh dina golongan sedjen”). Informasi yang sangat menarik tentu saja ada pada keterangan bahwa “Ieu soerat kabar baris dipingpin koe Djoeragan Achmad Bassach” (surat kabar ini akan dipimpin oleh Tuan Achmad Bassach).

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (9): Siti Atikah, Istri yang Turut Bergerak
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (10): Di Antara Api dan Api, Menulis Eulis Atjih
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (11): Mendirikan Romans Bureau Joehana

Rencana penerbitan bulanan Kijker pada 1 Mei 1929. Berkala itu terbitan serikat buruh jawatan pertambangan di Bandung dan rencananya akan dikemudikan oleh Achmad Bassach. (Sumber: Sipatahoenan, 24 April 1929)
Rencana penerbitan bulanan Kijker pada 1 Mei 1929. Berkala itu terbitan serikat buruh jawatan pertambangan di Bandung dan rencananya akan dikemudikan oleh Achmad Bassach. (Sumber: Sipatahoenan, 24 April 1929)

Sikap Serikat Buruh

Keterlibatan Achmad Bassach sebagai pemimpin redaksi suatu berkala milik perhimpunan buruh pada 1929 dapat dibaca dari perkembangan organisasi buruh setelah gagalnya pemogokan kaum buruh pada 1926. Mengenai hal ini, saya dapat mengandalkan pembacaan dari karya John Ingleson (Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s, 2014). Dalam prakatanya, Ingleson (2014: ix) mengatakan bahwa buku tersebut mencakup tahap kedua dari sejarah pergerakan kaum buruh Indonesia, antara pemberontakan PKI yang kurang dipahami pada akhir 1926 dan awal 1927 hingga pendudukan Jepang pada Maret 1942.

Pada masa tersebut, menurut Ingleson, gerakan buruh di Indonesia mempunyai sejarahnya sendiri sekaligus memainkan peran penting dalam pengembangan gagasan tentang Indonesia dan evolusi gerakan politik nasional. Di dalam karyanya, ia menegaskan ihwal kesalinghubungan antara pekerja urban, serikat buruh, dan partai-partai politik nasionalis, yang bukan hanya pada level kepemimpinan melainkan juga mencakup level anggota biasa.

Dalam kaitannya dengan PPPKI di atas, PPPKI pun bergerak untuk membentuk satu federasi serikat buruh nasional di bawah pengayomannya. PPPKI pada September 1928 pindah ke Surabaya setelah Sutomo terpilih menjadi ketuanya dan aktivis PNI cabang Surabaya Anwari terpilih menjadi sekretaris merangkap bendaharanya. Sutomo dan Anwari menangkap peluang tersebut untuk membentuk federasi serikat buruh di bawah kendali mereka. Gagasan inilah yang dibawa oleh Sutomo dalam kongres PPPKI kedua yang berlangsung pada Desember 1929 (Ingleson, 2014: 135).

Namun, maksud mereka terhalang Suroso dan Surjopranoto yang mendirikan Persatuan Vakbond Pegawei Negeri (PVPN) pada April 1930, sehingga Indonesische Studie Club yang ada di bawah Sutomo, dengan dukungan PNI cabang Surabya dan partai lainnya, mendirikan Persatuan Sarekat Sekerja Indonesia (PSSI) pada Mei 1930. Dengan demikian, PSSI menganggap dirinya seperti PVN berada di jalur serikat-serikat buruh swasta sekaligus mengharapkan dapat berfusi dengan PVN agar tercipta federasi serikat buruh dalam skala nasional (Ingleson, 2014: 136).

Lalu, bagaimana dengan keadaan serikat buruh di Bandung? Menurut Ingleson, di Bandung berdiri Perhimpunan Beambte Klas II Spoor dan Tram di Hindia Belanda (PBST) pada pertengahan 1927 dan dimotori oleh Spoorbond. Pada Agustus 1927, PBST menerbitkan berkala edisi pertama Kereta Api, yang dalam tajuk rencananya menegaskan bahwa serikat baru tersebut sangat berbeda dari VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel), serikat buruh kereta api. Lagi pula, semua pengurus pusat PBST terdiri atas buruh menengah yang bekerja pada jawatan kereta api milik pemerintah di Bandung (Ingleson, 2014: 76).

Pada September 1928, di Bandung berdiri sebuah Middelbaar Personeel bij den Post-, Telegraaf-, en Telefoondienst in Nederlandsche-Indië (Midpost). Suroso, seorang aktivis buruh dan anggota Volksraad adalah orang yang berada di balik pendirian serikat buruh PTT tersebut, bahkan niatnya setiap kota memiliki Midpost. Pada Oktober 1929, ketiga Midpost yang terpisah-pisah, yaitu yang ada di Batavia, Bandung, dan Surabaya disatukan dan diketuai oleh Suroso (Ingleson, 2014: 91).

Dalam konteks ketika terjadinya demam pembentukan serikat-serikat buruh pribumi inilah Achmad Bassach dipercayai orang yang akan mengemudikan berkala yang agaknya milik Inlandsche Personeel Mijnbouw-onderzoek Bond (IPMOB), atau Persatoean Pegawai Mijnbouw (PPMB) atau Perhimpunan Pegawai Bumiputera Mijnbouw.

Dalam Mustika edisi 16 Mei 131, disebutkan PVPN terdiri atas 13 serikat buruh dengan jumlah seluruh anggotanya sebanyak 28.756 orang. Salah satu serikat yang masuk ke dalam PVPN adalah IPMOB dengan jumlah anggota 100 orang. Sedangkan dalam “Verslag tahoenan Vakcentrale Persatoean vakbonden pegawai Negeri (PVPN) 1934” dalam Sipatahoenan edisi 3 Mei 1935, PPMB dikatakan mempunyai anggota sebanyak 76 orang (“Persatoean Pegawai Mijnbouw [PPMB] dengan 76 leden”) sekaligus menjadi satu di antara 12 serikat buruh yang bernaung di bawah PVPN.

Meski tidak dapat menjumpai data dan fisik majalah Kijker terbitan serikat buruh Jawatan Pertambangan di Bandung, saya tetap menganggap berita Achmad Bassach akan diangkat untuk mengemudikannya sangat menarik. Sebab hal itu membuktikan dia tetap terus berpautan dengan gerakan buruh yang digelutinya semasa bekerja sebagai buruh di jawatan kereta api (1917-1925) sekaligus menunjukkan sikap serikat buruh yang ada di Bandung yang tetap menaruh hormat kepada Achmad Bassach, baik sebagai seorang aktivis pergerakan buruh maupun sebagai redaktur berkala yang dikelola oleh serikat buruh. Bahkan ini direncanakan beberapa minggu sebelum Achmad Bassach meninggal dunia.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//