Varian Omicron Lebih Mengancam Anak-anak, Pembatasan PTM Perlu segera Dilakukan
Varian Omicron yang sangat menular berpotensi menjadi ancaman serius pada anak-anak. Sehingga sudah saatnya PTM dibatasi.
Penulis Emi La Palau4 Februari 2022
BandungBergerak.id - Peningkatan kasus pasien positif terpapar Covid-19 di Kota Bandung meningkat cukup tajam. Gejala meningkatnya jumlah kasus berlangsung secara umum di Jawa Barat. Rumah-rumah sakit telah diminta siaga 1 seiring meningkatnya keterisian rumah sakit (Bed Occupancy Rate atau BOR).
Di Bandung berdasarkan pusat data Covid-19 per Kamis (3/2/2022), jumlah kasus sudah tembus 1.000 kasus, tepatnya 1.067 kasus positif aktif. Padahal sehari sebelumnya positif aktif di angka 700-an orang. Peningkatan juga dilaporkan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung sejak sepekan lalu.
Hari ini, Jumat (4/2/2022), rumah sakit terbesar se-Jawa Barat tersebut mencatat 36 pasien, di antaranya 14 orang positif Covid-19, sisanya suspek, dan 5 pasien probable. RSHS sedang memastikan pengetesan sampel untuk memastikan varian Omicron di antara para pasien tersebut.
Menyebarnya varian Omicron tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Meski secara klinis, varian ini disebut lebih ringan daripada varian sebelumnya, misalnya varian Delta yang memicu gelombang kematian pada tahun lalu, namun Omicron memiliki daya tular lebih tinggi.
Karenanya, tanpa pencegahan dengan protokol kesehatan yang ketat, penularan varian Omicron bisa menimbulkan meningkatnya ruang-ruang rawat inap rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya, seperti diperingkatkan dokter spesiali anak RSHS, Anggaraini Alam.
Dokter yang akrab disapa Anggi itu meminta agar masyarakat untuk tetap waspada dengan varian Omicron, walaupun gejala infeksi karena varian ini ringan dan tingkat kematiannya rendah.
“Walaupun dikatatakan secara umum untuk angka kematian dan angka yang dirawat di rumah sakit lebih rendah, kalau jumlah (yang terpapar) sangat tinggi, masyarakat yang membutuhkah rawat inap sangat mungkin jadi meningkat,” ungkap Anggaraini Alam, kepada Bandungbergerak.id, melalui sambungan telepon, Kamis (3/2/2022).
Menurutnya, salah satu kelompok rentan di tengah gelombang Omicron adalah anak-anak mulai usia 0 atau bayi hingga 6 tahun karena mereka belum bisa divaksin Covid-19. Tetapi anak di luar kelompok umur tersebut juga sama rentannya, kendati anak usia 6-11 tahun sudah mulai divaksin.
Kelompok anak yang rentan terutama yang memiliki kelaianan atau penyakit yang disebut komorbid, seperti jantung koroner, gangugan saraf, kangker atau kelainan darah, kelainan ginjal, atau penyakit otoimun, asma, obesitas, dan komorbid lainnya. Menurut Anggi, penyakit mereka berpotensi menjadi berat jika terpapar Covid-19.
“Mereka berpotensi untuk menjadi berat. Nah, bedanya apa dengan dewasa, dewasa lansia, saat ini sudah lebih terlindungi dengan vaksin. Jadi anak yang di bawah usia 6 tahun itu kan belum dapat dilindungi (divaksin),” terangnya.
Untuk anak-anak usia sekolah, Anggi juga mengingatkan bahwa vaksinasi Covid-19 belum menyeluruh menjangkau mereka. Sehingga potensi penularan tetap ada. Hal itu akan semakin rentan mengingat anak-anak terbilang kurang memahami disiplin protokol kesehatan, terutama di saat mereka menongkrong bersama teman-temannya, makan bersama, dan aktivitas di luar sekolah lainnya.
Baca Juga: Membandingkan Bahaya Varian Omicron dengan Delta
Kota Bandung Menyiapkan Skenario Menghadapi Omicron
Bandung Mewaspadai Varian Omicron, dari Pembatasan Mobilitas hingga Vaksin Booster
Mulai Pembatasan PTM
Mengenai meningkatnya kasus Covid-19 Kota Bandung, Anggaraini Alam merekomendasikan agar pemerintah atau dinas terkait mulai melakukan pembatasan sekolah tatap muka. Menurutnya anak-anak berpotensi mengalami komplikasi berat yang dinamakan Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) yang merupakan satu komplikasi yang sifatnya sama dengan long Covid pada pasien dewasa.
Anggi yang tergabung ke dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menuturkan, IDAI dan organisasi profesi lain sudah menyurati pihak pemerintah pusat, Kemendibud, Kementrian Agama, Kemendagri, dan Kemenkes pada 13 Januari lalu tentang pemberian keleluasaan kepada orang tua untuk memilih pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau pembelajaran tatap muka (PTM).
Namun dengan kondisi pagebluk di Bandung saat ini, ia menegaskan sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan dengan melakukan pembatasan terhadap PTM.
“Benar sekali (harusya mulai ada pembatasan PTM), jadi sangat dinamis, karena kita tidak ingin anak-anak terinfeksi, misalnya ketika terinfeksi kita sudah tahu tidak hanya saat itu dia sakit, tetapi dia punya potensi ada komplikasi di kemudian hari,” terangnya.
Omicron lebih Menyerang Anak-anak?
Anggi juga menjelaskan ada perbedaan mendasar pada kasus Omicron dan Delta. Saat ini, dalam pengamatan dokter anak, pasien anak yang terpapar Covid-19 terbilang sangat meningkat dibanding pada saat wabah varian Delta.
“Kalau kita mendapat informasi dari teman-teman, berdasarkan laporan yang merawat, tampaknya memang demikian (ada peningkatan kasus anak), kelihatannya sudah mulai merangkak naik. Bertambah yang pasien-pasien anak yang dirawat,” katanya.
Dengan kata lain, persentase jumlah anak yang terinfeksi Omicron dan dirawat lebih tinggi dibandingkan dengan saat serangan varian Delta. Ini terjadi karena Omicron sangat menular. Bahkan sifat Omicron lebih mudah masuk ke saluran napas anak.
“Ternyata komposisinya sekarang anak lebih meningkat (pada penyebaran varian Omicron), dibandingkan dengan Delta,” katanya.
Faktor lain yang menyebabkan kasus anak meningkat karena saat ini mereka lebih banyak beraktivitas di luar rumah, seperti PTM. Ia menyebut, secara nasional, dari kasus kumulatif Covid-19, sekitar 13,1 persen adalah anak yang berusia 0 hingga 18 tahun. Dari setiap kasus Covid-19 pada anak, menurutnya 90 persen adalah Omicron.
“Jadi mungkin sekarang mindsetnya sudah yang kita hadapi ini adalah Omicron. Justru kalau yang masuk rumah sakit dan berat, kita harus betul-betul tahu apakah ini Omicron apakah Delta, tentu kita khawatir kalau ternyata Omicron dan berat tentu kita lebih khawatir itu,” ungkapnya.
Semua Bersiap
Dengan meningkatanya kasus Covid-19 yang disebut gelombang ketiga ini, kini Puskesmas hingga rumah sakit mulai berjaga. Masyarakat yang berobat juga mulai meningkat. Kepala Puskesmas Babatan, Misnawati mengungkapkan bahwa memang saat ini mulai ada pasien dengna gejala Covid-19 di puskesmasnya.
Misnawati menjelaskan, pasien yang memiliki gejala Covid-19 akan dilakukan pengetesan dengan rapid antigen terlebih dahulu. Selain itu, tracing, testing dan treatment masih terus dilakukan. Di saat yang sama, proses vaksinasi dosis satu dan dua setiap Rabu dan Kamis mulai pukul 10-12 WIB terus dilakukan. Sementara untuk vaksinasi booster kepada orang dewasa dijadwalkan pada Selasa pukul 10-12 WIB.
Respons Orang Tua terhdap Omicron
Penyebaran Omicron menimbulkan kekhawatiran pada orang tua. Ari Aryani (41), salah satunya, yang memiliki seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia mengaku sedikit khawatir dengan kondisi penyebaran Covid-19 di Kota Bandung yang mulai meningkat tajam.
Meski begitu, ia melihat sekolah tempat anaknya bersekolah tampak aman-aman saja dan belum ada yang terpapar Covid-19.
“Kekhawatiran ada pastinya, tapi karena di sekolah masih terlihat aman, dan tidak ada yang terkena Covid jadi anak-anak masih semangat sekolah PTM. Dan prokesnya pun makin ketat, anak yang demam ada batuk atau flu dilarang sekolah,” ungkap Ari Aryani, kepada Bandungbergerak.id, melalui pesan singkat.
Orang tua lainnya, Aulia Asmarani, sudah melarang anak-anaknya untuk tidak lagi bersekolah PTM. Anaknya, Malik, sedang duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar di seputaran Girimekar, Ujung Berung. Terlebih di kawasan rumahnya sudah ada yang terpapar Covid-19 yang berasal dari sekolah.
“Saya malah melarang anak saya ke sekolah. Karena tetangga depan rumah saya persis, anak-anaknya positif, orang tuanya postif, ternyata pas di-track itu dari anaknya dulu dan anaknya dari sekolah,” ungkapnya.
Menurutnya, saat ini sekolah anaknya juga sedang melakukan tracing. Namun ia memutuskan memilih PJJ tanpa harus menunggu kebijakan sekolah. Keputusan ini ia ambil karena penerapan prokes di sekolah anaknya sudah longgar.
“Kesadarannya (menggunakan prokes) jauh, makanya saya juga sudah melarang Malik yang masih SD untuk sekolah,” ujarnya, seraya meminta Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan, termasuk Satgas Covid-19, akar lebih ketat mengawasi pelaksanaan prokes di sekolah.