Mahasiswa Unpas Menolak Kenaikan Biaya Kuliah di Masa Pandemi
Selain menolak kenaikan biaya kuliah, ratusan mahasiswa Unpas yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unpas Menggugat juga menuntut pemotongan uang kuliah.
Penulis Delpedro Marhaen5 Maret 2022
BandungBergerak.id - Ratusan mahasiswa Universitas Pasundan (Unpas) yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unpas Menggugat menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Rektorat Unpas, Tamansari, Kota Bandung, Jumat (4/3/2022). Mereka menolak kenaikan biaya kuliah atau Dana Penyelenggaraan Pendidikan (DPP) yang berlaku di masa yang masih suram karena pandemi Covid-19.
Aksi mahasiswa Unpas tersebut menambah panjang deretan kasus penolakan mahasiswa Bandung terhadap kebijakan kampus yang tidak populis di tengah situasi pandemi. Kebijakan tak memihak ini menimbulkan ancaman berupa wabah putus kuliah. Sebelumnya, aksi serupa dilakukan mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, Universitas Islam Bandung (Unisba), dan Universitas Indonesia Membangun (Universitas Inaba).
Dalam aksinya, Aliansi Mahasiswa Unpas Menggugat menilai kenaikan DPP sangat tidak etis dan memberatkan mereka, terlebih kondisi perekonomian keluarga mereka belum pulih karena dihantam pagebluk Covid-19. Sepanjang tahun ajaran 2019-2020 hingga 2022-2023 kenaikan DPP pada masing-masing fakultas berkisar sekitar 6-12 persen per tahunnya. Atas dasar itu, Aliansi juga menuntut adanya pemotongan DPP sebesar 25 persen, mereka merasa tidak pernah mendapatkan keringan biaya kuliah selama pandemi ini.
“Di depan gedung [rektorat] yang menjulang megah ini, dibangun dengan uang-uang kita, ada uang kita di sana, tapi hak-hak kita tidak diperhatikan. Pandemi Covid-19 sudah berjalan selama dua tahun, sementara kebiadaban terus terjadi di kampus kita,” kata salah satu orator di depan gedung Rektorat Unpas.
Koordinator aksi dari Fakultas Hukum, yang juga Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unpas, Aldi Hadiyan mengatakan aksi unjuk rasa ini berangkat dari keluhan mahasiswa yang diterima lembaga mahasiswa mengenai keberatan dengan biaya DPP. Ia menjelaskan bahwa mekanisme advokasi penundaan pembayaran DPP yang disediakan fakultas tidak menyelesaikan masalah, melainkan hanya menunda. Aliansi kemudian menyerahkan kajian dan data tersebut dalam bentuk naskah akademik kepada pihak rektorat agar ditindaklanjuti.
“Keresehaan-keresahan di antara mahasiswa sudah terakumulasi hingga akhirnya menjadi aksi unjuk rasa pada hari ini. Mahasiswa merasa tidak mampu untuk membayar DPP dan dianggap tidak sebanding lurus biaya DPP yang mahal dengan fasilitas yang digunakan,” kata Aldi saat ditemui BandungBergerak.id usai unjuk rasa di lokasi.
Merujuk pada data Aliansi, lebih dari 300 mahasiswa Unpas terancam putus kuliah karena tidak mampu membayar DPP. Data sementara ini diperoleh dari jumlah mahasiswa yang diadvokasi oleh lembaga kemahasiswaan, sehingga tidak menutup kemungkinan jumlahnya dapat lebih banyak. Aliansi juga mengatakan bahwa sudah ada mahasiswa yang putus kuliah karena biaya namun tidak tercatat pasti jumlahnya.
Sementara Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik, Sakti Ferdinand menilai kenaikan DPP bagi mahasiswa baru setiap tahunnya tidak pantas dilakukan di masa pandemi. Menurutnya, dalam kondisi orang sedang dalam keadaan kesulitan ekonomi akibat wabah, kemudian ditambah sulit oleh kampus dengan tidak memberikan pemotongan DPP dan malah menaikan biaya kuliah setiap tahunnya.
“Kampus serta birokrasi-birokrasi pengambil keputusan tidak memiliki empati kepada mahasiswa maupun keluarga dari mahasiswa. Peningkatan biaya DPP yang terjadi di Unpas merupakan sebuah ironi,” ujar Sakti.
Selain itu, Sakti juga menyoroti persoalan transparansi. Salah satunya biaya kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) sebesar Rp 400 ribu yang dinilai tidak masuk akal. Pihaknya mempertanyakan alokasi penggunaan dari dana tersebut. Seharusnya, kegiatan PKKMB yang dilaksanakan secara daring, dapat memangkas biaya pelaksanaan sehingga tidak perlu membebankan mahasiswa.
“Mengenai dana PPKMB yang sudah dijelaskan, di dalam penjelasan tersebut tidak dijelaskan secara merinci mengenai alokasinya. Yang ada hanya penjelasan penggunaannya saja, tetapi tidak dijelaskan kenapa menggunakannya harus sekian,” ujarnya.
Persoalan lain yang juga disoroti terkait transparansi beberapa kegiatan kemahasiswaan yang diselenggarakan selama pandemi. Pihaknya menyebutkan banyak kegiatan kemahasiswaan yang diselenggarakan namun minim dampak dan nirmanfaat bagi mahasiswa. Kegiatan tersebut dinilai hanya menghambur-hamburkan uang dan tidak transparan dalam pengelolaanya.
Aksi unjuk rasa diawali dengan long march massa mahasiswa dari Taman Radio menuju kampus Unpas di Tamansari. Sekira pukul 15.05 WIB, massa tiba di depan kampus Unpas Tamansari. Massa langsung disambut pihak kampus untuk masuk ke dalam area kampus.
Aksi unjuk rasa ini diawali aksi teatrikal yang dilakukan oleh tiga orang mahasiswa yang mengenakan pakaian compang-camping. Mereka mulai berjalan merangkak dari depan gerbang kampus, hingga gedung rektorat. Di depan gedung rektorat, di antara massa aksi yang menyemut dan teriknya matahari, ketiganya berbaring di aspal dan menggelar aksi jemur diri.
“Pak, saya mau kuliah pak,” rintih mahasiswa yang melakukan teatrikal.
Setelah sekitar dua jam berunjuk rasa Aliansi kemudian diagendakan beraudiensi dengan pihak rektorat. Rektor Unpas Eddy Jusuf, dan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Deden Ramdan kemudian menemui massa. Audiensi berlangsung selama dua puluh menit di depan massa aksi.
Baca Juga: Di-DO setelah Menuntut Pemotongan Uang Kuliah, Mahasiswa Inaba Menggugat Rektornya ke PTUN
Kampus Melanggar Konstitusi jika Mengeluarkan Mahasiswa yang tak Mampu Membayar UKT
Wabah Putus Kuliah Massal di Tengah Pandemi, Pengamat Menyarankan Pembangkangan
Silang Pendapat soal Kenaikan
Ditemui massa aksi, Rektor Unpas, Eddy Jusuf berkelit terkait adanya kenaikan DPP di masa pandemi. Ia menampik adanya kenaikan DPP untuk mahasiswa yang sudah menjalankan studi. Pihaknya akan menjamin besaran DPP yang dibayarkan mahasiswa mulai dari awal masuk hingga lulus tidak akan mengalami kenaikan.
Eddy lantas mempertanyakan kenaikan yang dimaksud mahasiswa. Ia mengatakan ada kesalahpahaman mengenai konsep kenaikan DPP. Menurutnya jika yang dimaksud kenaikan adalah besaran DPP yang berbeda setiap tahunnya untuk mahasiswa yang akan mendaftar, maka hal itu tidak bisa dikatakan sebagai kenaikan, melainkan memang tarif baru DPP yang ditetapkan untuk mahasiswa baru.
“Jadi kalau diperhatikan ini ada miskonsepsi. Jadi kalau semisal untuk mahasiswa angkatan 2020 itu DPP-nya Rp 5 juta, kemudian mahasiswa angkatan 2021 itu DPP-nya Rp 7 juta itu bukan naik, tetapi itu memang tarif untuk angkatan baru. Karena itu unit per-cost-nya memang sekian. Jadi sekali lagi tidak ada kenaikan,” terang Eddy.
Mengenai tuntutan pemotongan DPP sebesar 25 persen, Eddy mengatakan akan segera melakukan rapat koordinasi dengan para dekan dari masing-masing fakultas. Setelah melakukan rapat dengan dekan, pihaknya akan menyampaikan permintaan ini ke tingkat pengurus Yayasan Pasundan. Kemudian hasilnya akan disampaikan kembali kepada mahasiswa dalam audiensi pada Rabu mendatang.
“Saya harus berbicara dahulu dengan para dekan dari masing-masing fakultas untuk pemotongan DPP 25 persen ini karena dana ini masuknya ke pengelolaan masing-masing fakultas. Maka perlu ada persetujuan dari dekan-dekan fakultas terlebih dahulu,” ujar Eddy.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unpas, Deden Ramdan turut angkat suara terkait transparansi pelaksanaan kegiatan PKKMB. Ia mengklaim sudah menyerahkan laporan pertanggungjawaban kegiatan PKKMB ke bagian Satuan Pengawas Internal dan Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas. Kemudian sudah dilakukan audit dan pemeriksaan, hasilnya tidak ada masalah.
“Ini kan bagian dari transparansi, ya. Jika ingin mengetahui rincian dan sebagainya, nanti bisa disampaikan. Saya pikir ini ada komunikasi yang tersumbat,” ujar Deden.