• Nusantara
  • Penolakan terhadap Wacana Penundaan Pemilu 2024 semakin Menguat

Penolakan terhadap Wacana Penundaan Pemilu 2024 semakin Menguat

Penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan Presiden dinilai sebagai akal-akalan untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan.

Warga mengakses berita tentang penundaan Pemilu 2024 di Bandung, Senin (28/2/2022). Sejumlah tokoh politik dan organisasi masyarakat sipil menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Usul penundaan ini sebelumnya digagas oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAB Zulkifli Hasan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen19 Maret 2022


BandungBergerak.idPolemik wacana penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode masih terus bergulir. Sejak digulirkan oleh sejumlah elite partai, wacana ini terus menuai penolakan. Koalisi Rakyat Lawan Oligarki menganggap wacana tersebut merupakan pengkhianat terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Selain itu, Koalisi menyatakan penundaan pemilu merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang mengatur mengenai asas periodik pemilu yang harus dilaksanakan reguler dalam waktu tertentu, yakni 5 tahun sekali.

“Menolak secara tegas upaya penundaan pemilu, maupun perpanjangan masa jabatan Presiden melalui amandemen konstitusi atau pun cara-cara politik tidak sehat lainnya. Upaya tersebut nyata-nyata adalah bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945,” kata Muhammad Isnur perwakilan Koalisi Rakyat Lawan Oligarki dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dalam konferensi pers, Sabtu (19/03/2022).

Koalisi Rakyat Lawan Oligarki terdiri dari 68 organisasi masyarakat sipil dan tokoh-tokoh berlatar belakang akademis, aktivis, buruh, mahasiswa, dan jurnalis. Koalisi beranggotakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), hingga Badan Eksekutif Mahasiswa  sejumlah kampus.

Perwakilan Koalisi, juga Direktur YLBHI, Muhammad Isnur mengkhawatirkan wacana ini berpotensi terealisasikan jika melihat watak pemerintahan yang tidak pernah peduli aspirasi rakyat. Hal ini berkaca dari tindakan pemerintah dan DPR dengan kerap membuat produk perundangan-undangan dengan cara ugal-ugalan, minim informasi, antikritik, serta abai dengan partisipasi rakyat.

Dia menyebutnya dengan istilah legidiot, beberapa contoh produk legislasi yang menjadi bagian dari legidiot adalah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi UU Minerba, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja, hingga UU Ibu Kota Negara (IKN).

Atas dasar itu, Isnur menyatakan upaya penundaan Pemilu harus diwaspadai. Apalagi, kata dia, sudah terdapat tindakan nyata dari para elite politik untuk merealisasikan penundaan itu. Ia mencontohkan sikap dari anggota kabinet Presiden Jokowi yang secara terbuka mendeklarasikan penundaan Pemilu 2024 atau menambah masa jabatan presiden.

“Jelas ini bukan sekadar testing the water, untuk menguji reaksi publik,” kata dia.

Senada dengan Isnur. Perwakilan lainnya dari Perludem, Kahfi Adlan mengatakan wacana penundaan pemilu ini sangat tidak masuk akal. Pasalnya, tidak ada perubahan pada perundang-undangan terkait pemilu sehingga pemerintah harus tetap menyelenggarakan pemilu 2024 sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.

Menurutnya, alih-alih memandang pemilu sebagai agenda periodik lima tahunan yang anggarannya sudah ditentukan, pemerintah justru menganggap pemilu sebagai satu ancaman terhadap ekonomi. Pandangan ini, kata dia, sangat bertolak belakang dengan pembangunan demokrasi dan gejala bahaya bagi demokrasi Indonesia.

“Dalih pemulihan ekonomi untuk menunda pemilu 2024 menjadi sangat tidak relevan,” kata Kahfi.

Ia mengatakan wacana ini bukan hanya akan menunda pemilu, melainkan juga membatalkan terselenggaranya pemilu. Dengan demikian, kata dia, yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan merampas hak konstitusional masyarakat untuk dipilih dan memilih dalam pemilu.

Selain penundaan Pemilu, Koalisi juga mewanti-wanti upaya perpanjangan masa jabatan yang hendak dipaksakan lewat penambahan masa jabatan menjadi 3 periode melalui pintu amandemen konstitusi.

Koalisi menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan perlawanan sepenuhnya menolak penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi. Koalisi ini mengusulkan agar dilakukan aksi unjuk rasa di berbagai titik pusat pemerintahan di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Sisa Kejayaan Bioskop-bioskop Bandung
Pemberedelan Majalah Lintas, Mendikbud Seharusnya Menegur Rektor IAIN Ambon
Lapak Komunitas Pasar Gratis Bandung Dibubarkan Satpol PP

Kepentingan Elite

Ditinjau dari segi hukum, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai penundaan Pemilu 2024 merupakan wujud kepentingan para elite politik untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaan. Ia menyebut ada rangkaian sistematik dan terstruktur untuk meloloskan agenda ini. Dugaan adanya orkestrasi tersebut kemudian terkonfirmasi dengan kemunculan sejumlah aktor-aktor elite politik yang tampil dihadapan publik menyampaikan wacana penundaan pemilu melalui berbagai kanal media belakangan ini.

“Mereka akan berusaha mempertahankan kekuasaan dan kenikmatan yang mereka miliki karena dengan mudahnya dapat membuka bisnis-bisnis baru. Hal ini terjadi karena masih ada keterkaitan dengan aparaturnya yang sama,” ujar Bivitri.

Bivitri menegaskan bahwa konstitusi tidak semerta dapat diamandemen dengan alasan tidak mengakomodasi kepentingan segelintir elite politik. Menurunya, konstitusi bukan hanya sekedar pasal demi pasal, melainkan gagasan mengenai pembatasan kekuasaan. Dengan demikian, kata dia, amandemen konstitusi untuk melangkahi pembatasan kekuasaan merupakan pengkhianatan konstitusi.

“Mereka sudah melanggar sumpah jabatan. Salah satu bagian penting dari sumpah jabatan adalah setia pada konstitusi dan Pancasila. Sebenarnya ini tengah mereka langgar,” ujarnya.

Ia menyinggung soal klaim Menko Marives Luhut Binsar Pandjaitan soal analisa big data yang menyebut 110 juta warganet mendukung wacana ini. Menurutnya, dalam konteks konstitualisme, negara tidak bisa dijalankan hanya berdasarkan pada angka, melainkan harus patuh terhadap prinsip konstitusi. Ia menegaskan untuk tidak terbuai dengan jumlah angka, dengan demikian jika wacana tersebut merupakan wacana yang melanggar prinsip pembatasan kekuasaan maka harus ditolak.

“Ada prinsip-prinsip hukum, hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasan. Itulah gagasan negara hukum yang kemudian dituangkan dalam gagasan konstitualisme,” ungkapnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//