• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (36): Pengalaman Menyeramkan ketika akan Berpameran Buku di Kaki Gunung Manglayang

MEMORABILIA BUKU (36): Pengalaman Menyeramkan ketika akan Berpameran Buku di Kaki Gunung Manglayang

Malam gulita di tengah hutan pinus Gunung Manglayang Bumi Perkemahan Kiarapayung semakin mencekam karena suara-suara lengkingan aneh.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Seorang pengunjung (dari penjaga stand lain) bersama penulis sedang membuka Ensiklopedi Sunda (sumber foto: Ji Su)

20 Maret 2022


BandungBergerak.idDelapan tahun lalu, ada satu ingatan yang tak bisa terlupakan saat akan berpameran buku di kaki Gunung Manglayang. Tepatnya di Bumi Perkemahan Kiarapayung Jatinangor yang luasnya kurang lebih 66 hektare itu, saya diajak oleh seorang event organizer untuk berpameran buku guna memeriahkan Festival Pencak Silat Jawa Barat, 16 Februari 2014. 

Namun, ada kejadian di luar dugaan. Saat proses loading in barang malam hari, hanya selang beberapa jam sebelum acara dimulai di kawasan yang nyaris tak ada penerangan itu, terjadi kesurupan yang dialami oleh beberapa siswa-siswi pramuka yang sedang berkemah. Suasana malam gulita yang disaksikan pohon-pohon pinus yang tinggi itu semakin mencekam karena adanya suara-suara lengkingan yang aneh.

Saya yang ke lokasi membawa barang memakai jasa rental mobil bak terbuka milik mas Adi, langsung cepat-cepat menurunkan semua buku dan perlengkapan pameran, seperti rak buku dan beberapa tolombong untuk dijadikan display buku. Saya bersama mas Adi memutuskan segera pulang ke Bandung dan melanjutkan lagi penataan stand buku keesokan harinya.

Para penjaga stand ‘keluar’ dari standnya saling mengunjungi stand lainnya satu sama lainnya dan bergerombol di area depan stand (Sumber foto: Ji Su)
Para penjaga stand ‘keluar’ dari standnya saling mengunjungi stand lainnya satu sama lainnya dan bergerombol di area depan stand. (Sumber Foto: Ji Su)

Pameran Buku di Hutan  

Sebetulnya pameran buku di hutan bukanlah yang pertama kali saya ikuti. Sebelumnya, pada 9-11 November 2007, saya pernah diminta mengisi stand buku dalam suatu acara di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Saat itu pameran berjalan lancar dan memuaskan. Saya pulang dengan membawa pulang omzet yang lumayan besar.

Setelah itu, saya mendapat undangan melapak buku dari Kang Satria selaku event organizer Festival Pencak Silat di akhir tahun 2013. Menurutnya, pameran ini akan berlangsung di Bumi Perkemahan Kiarapayung. Akan ada beberapa booth stand, seperti stand kuliner, kerajinan tradisional, dan produk UMKM lainnya yang turut memeriahkan acara itu. Sebelumnya, Kang Satria pernah mengundang saya melapak buku di acara Drama Musikal Lutung Kasarung yang dipentaskan di Sabuga, akhir tahun 2012. Kang Satria setahu saya juga pernah menjadi pengurus/tim aktif pengelola Saung Angklung Udjo.

Festival Pencak Silat ini direncanakan akan mengundang lebih dari 8.000 pesilat untuk memecahkan rekor MURI sekaligus memantik pendaftaran pencak silat sebagai kekayaan dunia bukan benda secara internasional kepada UNESCO.

Mendengar rencana acara tersebut, tentunya membuat saya tertarik menerima tawaran berpameran buku di sana. Saya tak membayangkan berlebihan bagaimana lokasi di sana, selain kemungkinan besar ramainya acara dikunjungi oleh ribuan peserta.

Saya lantas menghubungi penerbit Kiblat Buku Utama, Geger Sunten, dan Pustaka untuk mempersiapkan stok buku baru tematik kesundaan. Selebihnya saya membawa beberapa buku antik/lawasan. Saya juga membawa 1 rak besi, dua rak kayu, beberapa buah tolombong, aksesori pajangan, dan x-banner.

Dengan banyaknya barang yang akan saya bawa, saya memutuskan menyewa mobil bak terbuka. Kebetulan memang semenjak berpameran buku di Landmark, saya sudah mempunyai langganan beberapa supir rental mobil angkutan barang. Berbeda dengan sekarang yang serba canggih, cepat, murah, dan praktis dengan adanya fasilitas aplikasi Go-Box atau Deliveery, dulu saya harus mengontak satu per satu para supir yang cocok dengan biaya rentalnya.

Akhirnya, disepakatilah mobil milik mas Adi (meski aslinya ia orang Palembang, namun seringkali kawan-kawannya atau kernet memanggilnya dengan ‘mas’) yang mengangkut barang.  Selain murah, mas Adi bisa merangkap supir dan pengangkut barang sekaligus. Jarang sekali ada keluhan darinya, tak seperti beberapa supir dan kernet yang pernah saya sewa sebelumnya. Karena layanan terbaik ini, saya sering merekomendasikan mas Adi kepada kawan-kawan penerbit/kawan yang mau pindahan rumah.

Hari H-1, yaitu hari Sabtu, saya sudah diperbolehkan untuk mengirim barang dan menata stand di lokasi pameran. Tak terpikir sebelumnya, sebetulnya pengiriman dan penataan bisa dilakukan hari Minggu. Toh, acara juga hanya berlangsung satu hari saja. Namun karena banyaknya barang bawaan dan menurut info dari panitia bahwasanya acara akan dimulai sejak Minggu pagi, saya memilih persiapan sehari sebelumnya. Saya berangkat setelah waktu magrib.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (33): Melapak Buku di Hari Bahasa Ibu Internasional
MEMORABILIA BUKU (34): Bekerja Paruh Waktu di Majalah Matabaca
MEMORABILIA BUKU (35): Bekerja Paruh Waktu di Perpustakaan Balepustaka (2007-2009)

Poster Festival Pencak Silat Jawa Barat 2014 yang dihadiri oleh ribuan pesilat dan memecahkan rekor MURI. (Sumber Foto: Deni Rachman)
Poster Festival Pencak Silat Jawa Barat 2014 yang dihadiri oleh ribuan pesilat dan memecahkan rekor MURI. (Sumber Foto: Deni Rachman)

Tiba di Bumi Perkemahan Kiarapayung

Saya menghubungi Jiman Suhadi alias Ji Su untuk menjadi juruladen LawangBuku di hari Sabtu itu, dan ia memastikan baru bisa bergabung di hari pelaksaan acara, yaitu hari Minggu. Jadi, hanya saya berdua dengan Mas Adi yang berangkat menuju ke Jatinangor.

Perjalanan hampir satu jam setengah menuju Kiarapayung, lama perjalanannya persis saat saya berangkat ngampus ke Jatinangor memakai bus Damri jurusan Dipati Ukur-Jatinangor (via Cicaheum) tahun 2000-an awal. Kemacetan di sekitar Cibiru dan Cileunyilah yang menjadi penghambat laju kendaraan.

Setiba di sana, sekitaran pukul 20. Dari jalan utama, cukup jauh menuju arah utara, melewati lapangan golf BBG dan menapaki jalan beraspal kaki Gunung Manglayang.  Penerangan sudah semakin berkurang selepas BBG. Lalu mobil berkelok ke kiri, masuk ke satu area berbukitan yang dipenuhi pohon-pohon pinus. Lampu sorot mobil sangat membantu penglihatan. 

Ada satu panitia yang sudah berada di lokasi. Ia lalu menyorotkan senter ke arah tenda LawangBuku yang letaknya di atas tempat kami parkirkan mobil. Lamat-lamat terdengar suara-suara. Menurut panitia, malam itu sedang ada siswa-siswi pramuka yang sedang berkemah.

Namun, tiba-tiba ketika saya perlahan membantu mas Adi menurunkan barang, terdengar suara lengkingan, teriakan, dan tertawa yang mengerikan dari atas sana. Diduga dari siswa-siswi yang berkemah. Awalnya hanya terdengar satu orang, lama-kelamaan semakin banyak suara-suara aneh, seperti orang kesurupan.

Dalam suasana gelap dan saya tak menyiapkan perlengkapan lampu/senter, malam itu rasanya terasa sangat menakutkan. Saya minta mas Adi untuk segera menuntaskan pekerjaannya menurunkan seluruh barang pameran. Saya lantas menutup tenda dengan kain meteran yang saya bawa, dan meminta Mas Adi memutarbalikkan mobilnya. Panitia yang ada di lokasi malam itu pun sangatlah minim. Kami lantas cabut dari area itu, pulang menuruni jalan menuju jalan raya Bandung-Sumedang.

Ribuan Pesilat Berkumpul

Keesokan harinya, saya berangkat pagi-pagi bersama Jiman. Di sepanjang jalan, kami mengobrol tentang kejadian kesurupan tadi malam. Saya tandaskan kepada Jiman, dalam situasi tiadanya penerangan ditambah ada insiden yang tak mengenakkan, membuat suasana tidak kondusif. Malam itu agenda display buku terpaksa dihentikan.

Setiba di lokasi pameran, barulah terlihat dengan terang-benderang pelbagai stand berdiri berdasarkan sistem zona. Stand LawangBuku berada di sebelah stand Kab. Majalengka. Kami langsung membuka kain penutup stand dan langsung menata rak besi dan rak kayu. Dalam waktu dua jam, buku dan seluruh barang jualan sudah terpajang.

Menjelang siang hari, tiada satupun pengunjung yang menghampiri stand LawangBuku. Keramaian menyemut di lapangan besar yang ada di area bawah, tempat acara utama dilangsungkan. Untuk mengusir jenuh, saya bergantian isoma (istirahat, solat, makan) dengan Jiman. Saya melintasi jalan berbatu menuju tenda besar tempat stand makanan.

Hingga sore hari, pengunjung stand buku bisa saya hitung dengan jari. Jumlahnya sangat kontras dengan peserta yang datang ribuan itu. Sebelum sore dan menghindari hari beranjak gelap, saya putuskan untuk berkemas pulang. Saya kontak lagi mas Adi. Sambil menunggu mobil jemputan datang, kami membereskan barang.

Salambuku!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//