• Berita
  • Menanti Gerakan Pemkot Bandung dalam Menyediakan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Menanti Gerakan Pemkot Bandung dalam Menyediakan Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kota Bandung terkendala dengan meroketnya harga rumah dan tanah.

Gedung pencakar langit The Maj di antara permukiman padat dan area terbuka hijau Kawasan Bandung Utara, Dago, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021). Gedung ini mendadak viral setelah fotonya diunggah oleh seorang netizen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana23 Maret 2022


BandungBergerak.idKebutuhan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Kota Bandung semakin mendesak. Laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi menjadi tantangan berat dalam pemenuhan MBR ini. Sedangkan kebijakan tata ruang kurang mendukung yang membuat harga rumah dan tanah terus melambung.

Saat ini, jumlah warga Bandung sekitar 3 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar ini berarti menandakan bahwa kebutuhan akan hunian semakin besar pula. Kendati demikian, masalah hunian ini belum terpecahkan sejak lama. 

Salah satu upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dalam penyediaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kota Bandung adalah dengan meminta bantuan kepada pengusaha properti yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (DPD REI) Jawa Barat.

Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Bandung, Yana Mulyana mengajak Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Jawa Barat untuk bersama membangun kawasan perumahan untuk MBR.

"Kita (Pemkot Bandung) berharap REI membantu pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya pada Pelantikan Komisariat REI Jabar, di Trans Luxury Hotel, melalui siaran pers. Selasa (22/3/2022).

Yana Mulyana mengatakan, lahan peruntukan MBR di Kota Bandung milik Pemkot Bandung cukup banyak. Seperti Rancacili, Cingised hingga Rusun Peralatan Daerah Militer (Paldam). Skema yang disiapkan untuk MBR ini dalam bentuk rumah susun dengan subsidi dari Pemkot Bandung.

Menanggapi hal itu, Ketua DPD REI Jawa Barat, Joko Suranto mengaku akan menyurvei sejumlah wilayah di Jawa Barat untuk hunian bagi MBR. Ia mengatakan, pembangunan rumah di Jawa Barat mencapai 40.000 unit per tahun. Jumlah tersebut merupakan 35-40 persen dari suplai nasional.

"Karena penduduk Jabar tinggi dan manufakturnya juga banyak sehingga membutuhkan tempat tinggal," katanya.

Baca Juga: Jalan Berkabut Keluarga Kecil Penjual Tisu di Bandung
Seni Tradisi dan Fotografi dalam Pusaran Arus Waktu
Mendefinisikan Ulang Ruang Aman dalam Gerakan Kolektif

Masalah Rumit Menyediakan Rumah bagi MBR

Menyiapkan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kota Bandung saat ini menghadapi masalah jauh lebih kompleks. Diperlukan strategi yang matang dari Pemkot Bandung, selain menggandeng REI.

Menurut tesis S. Hidayatullah Santius dari Program Magister Studi Pembangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB), diketahui bahwa permasalahan MBR di Bandung maupun Indonesia umumnya sudah berlansung sejak lama. Hingga kini belum terpecahkan.

“Perjalanan pembangunan perumahan nasional jika dirunut secara historis, sudah cukup lama bahkan dimulai sejak era awal kemerdekaan. Namun sampai saat ini tantangan yang dihadapi semakin berat. Tidak hanya sekadar kekurangan pasokan rumah (housing shortage/backlog), tetapi sudah dalam kondisi krisis dalam bentuk kesulitan menambah jumlah pasokan rumah maupun kesulitan masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah layak huni,” papar S. Hidayatullah Santius, dalam tesis yang rampung disusunnya tahun 2014 tersebut.

Pada konteks nasional, S. Hidayatullah Santius menunjukkan bahwa jumlah keluarga yang tidak memiliki rumah terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1998 jumlahnya sekitar 5,4 juta, pada tahun 2004 meningkat menjadi 7,4 juta, pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 11 juta dan pada tahun 2010 jumlahnya mencapai 13,6 juta.

Hidayatullah mengungkap data Kemepera tahun 2011, bahwa laju pertambahan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah setiap tahunnya rata-rata sekitar 800.000 unit, padahal kemampuan pemenuhannya tidak lebih dari 200.000 unit per tahun, sehingga diperkiraan setiap tahunnya terjadi kekurangan pasokan rumah sebanyak kurang lebih 600.000 unit.

Hidayatullah kemudian memotret kondisi kebutuhan rumah di Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Permukiman dan Perumahan Jawa Barat, jumlah kumulatif kekurangan pasokan rumah layak huni di Kota Bandung sampai tahun 2009 sebanyak 69.102 unit. Jumlah ini dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga dikurangi dengan jumlah rumah yang ada di Kota Bandung.

Menurutnya, angka tersebut jauh lebih kecil karena hasil tersebut berupa jumlah rumah tangga yang tidak memiliki rumah. Padahal, dalam satu rumah tangga dapat terdiri dari satu keluarga atau lebih. Berdasarkan data RPJMD Kota Bandung tahun 2009, jumlah rumah tangga miskin di Kota Bandung mencapai 82.432 rumah tangga. Artinya jika satu rumah tangga terdiri dari 4 jiwa, maka ada sekitar 330.000 jiwa masuk kategori miskin.

“Kondisi ini mengakibatkan banyak masyarakat Kota Bandung tidak memiliki rumah atau memiliki rumah dengan kondisi tidak layak huni,” ungkapnya.

Akar Masalah, Tata Ruang

Terus meroketnya harga rumah di Kota Bandung membuat semakin banyak warga yang sulit memiliki rumah. Hidayatullah mengemukakan data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia tahun 2013, bahwa kenaikan harga rumah sederhana di Kota Bandung dari tahun 2004 sampai 2012 sekitar 40 persen atau berkisar 5 persen per tahun.

Hidayatullah mencatat, implikasi ketidakmampuan masyarakat dalam memiliki rumah layak huni salah satunya adalah timbul hunian-hunian liar dan kawasan kumuh di Kota Bandung. Menurutnya, ada sujumlah faktor yang membuat masyarakat berpenghasilan rendah Kota Bandung semakin sulit mengakses kepemilikan rumah, mulai dari meningkatnya jumlah penduduk, ketersediaan lahan yang tidak bertambah, dan kenaikan harga bahan bangunan menyebabkan harga rumah semakin hari semakin mahal.

Selain itu, Hidayatullah mencatat bahwa Bandung adalah kota urban yang memiliki daya tarik ekonomi, pendidikan, dan rekreasi. Faktor lain adalah pembangunan yang masif turut mendongkrak harga rumah. Misalnya, lanjut Hidayatullah, sejak dioperasikannya tol Cipularang tahun 2005, Kota Bandung telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan PDRB yang cukup besar, jika tahun 2005 sekitar Rp 34,7 triliun naik menjadi Rp 95,6 triliun tahun 2011.

“Porsi terbesar penyumbang PDRB tersebut adalah sektor perdagangan dan jasa. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya bermunculan saranasarana belanja seperti fashion (FO), tempat kuliner dan kawasan-kawasan rekreasi yang baru di Kota Bandung,” katanya.

Menurutnya, berkembangnya sektor perdangan dan jasa di Kota Bandung menyebabkan permintaan lahan sebagai tempat usaha semakin meningkat. Jumlah lahan yang terbatas di perkotaan pada akhirnya “memaksa” terjadinya peralihan peruntukan lahan dari lahan hunian menjadi lahan komersil.

Hidayatullah menyebut, alih fungsi lahan perumahan di Kota Bandung menjadi kawasan komersial banyak dijumpai di kawasan sepanjang Jalan Dago, Jalan Setiabudi, Jalan Riau, bahkan kawasan perumahan seperti Sarijadi dan Antapani banyak yang beralih fungsi menjadi lahan untuk area komersial.

“Saat ini harga tanah di Sarijadi berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) rata-rata berkisar 2 – 3 juta rupiah, tetapi kenyataannya harga jual riil mencapai 6 juta per meter persegi,” katanya.

Penyebab lain tingginya harga rumah di Kota Bandung adalah daya tarik pendidikan. Dengan banyaknya perguruan tinggi favorit seperti ITB, Unpar, UPI maupun perguruan tinggi swasta lainnya, membuat Bandung diserbu para pelajar yang kuliah di Bandung. Mahasiswa pendatang tersebut membutuhkan tempat tinggal yang berada dekat dengan kampus.

Kondisi tersebut, kata Hidayatullah, dilihat sebagai peluang usaha oleh sebagian pihak untuk mengalihfungsikan kawasan perumahan menjadi kawasan perumahan untuk disewakan (kos-kosan). Akibatnya nilai jual rumah atau tanah di sekitar kawasan itu menjadi naik drastis.

Hidayatullah melihat akar masalah dari kenaikan harga rumah atau tanah di Kota Bandung adalah tidak ditegakkannya aturan rencana tata ruang. Kawasan yang telah ditetapkan menjadi area perumahan seharusnya dilarang untuk dialihfungsikan menjadi kawasan komersial maupun kawasan lain yang berpotensi menaikkan harga jual lahan secara drastis.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//