Pakar Pendidikan UPI dan Unesa Mengungkap Kelemahan RUU Sisdiknas
RUU Sisdiknas dinilai berpotensi menghilangkan kualifikasi akademik guru dan menghapus peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Penulis Iman Herdiana11 Mei 2022
BandungBergerak.id - Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) terus menuai polemik, khususnya di kalangan akademikus. Pakar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sama-sama menyoroti kelemahan RUU yang dinilai penyusunannya kurang transparan ini.
Doni Koesoema A, pemerhati pendidikan dan pengelola Pendidikan Karakter Utuh Channel, mengatakan menyoroti tentang hilangnya kualifikasi akademik guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam RUU Sisdiknas.
Menurutnya, fakta bahwa banyak guru tetap mengajar meskipun tidak memenuhi kualifikasi akademis tidak berarti bahwa norma tentang kualifikasi akademis ini keliru atau tidak tepat diatur dalam UU, sehingga dihapuskan.
“Pengaturan kualifikasi minimum di tingkat UU yang dirasa tidak fleksibel, seharusnya ditata atau diperkaya dengan norma yang memberi ruang pada fleksibilitas karena pengecualian. Bukan sebaliknya, membuat yang pengecualian menjadi aturan umum,” tegas Doni Koesoema, dikutip dari laman UPI, Selasa (10/5/2022).
“Adanya norma tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) bisa menjadi alternatif pemerkaya tanpa menghapuskan kualifikasi akademik guru. Menghapuskan kualifikasi akademik minimum guru dalam UU justru tidak akan menjamin kualitas pendidikan di masa depan. Artinya ada defisit tentang visi guru masa depan, serta lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek (pragmatis),” lanjutnya.
Doni Koesoema berbicara dalam Webinar Nasional Pendidikan dengan tema “Membedah RUU Sisdiknas Perspektif LPTK dan Pendidikan Guru”, Sabtu, 23 April 2022. Kegiatan yang digelar Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Komisariat FPIPS ini merespons beredarnya naskah RUU Sisdiknas yang menuai polemik dan banjir kritik dari berbagai pihak.
Doni mempersoalkan hilangnya definisi LPTK dalam RUU Sisdiknas. Menurutnya, RUU Sisdiknas meredusir peranan Perguruan Tinggi (PT) yang hanya bertugas menjadi sekadar penyelenggara pendidikan profesi guru. Hilangnya peranan PT yang khusus mempersiapkan calon guru sebenarnya terkait dengan visi pembuat UU. Ia mempertanyakan apakah perancang UU Sisdiknas ini memiliki visi tentang pentingnya lembaga pendidikan tinggi yang khusus mempersiapkan para guru masa depan.
Ketua IKA UPI Komisariat FPIPS Cecep Darmawan menyampaikan bahwa pembentukan RUU Sisdiknas ini disinyalir kurang mengedepankan asas keterbukaan dan kurang melibatkan partisipasi publik secara bermakna terutama partisipasi dari kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian perihal LPTK dan Pendidikan Guru.
Ia menyarankan seharusnya pembahasan RUU ini melibatkan para akademisi, LPTK, organisasi guru, bahkan lebih baik lagi jika Kemendikbudristek datang ke kampus-kampus LPTK untuk berdiskusi dengan para dosen, guru besar, dan mahasiswa atau BEM secara langsung untuk menghasilkan rancangan yang sesuai harapan.
Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) sekaligus Dubes Indonesia di Uzbekistan, mengatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional seharusnya menjadi pemersatu bangsa, strategi politik bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional.
Pendidikan nasional memikul tangung jawab untuk menghadirkan guru dengan empat misi negara ke dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kecakapan “politik” mengarahkan dan membawa peserta didik mencapai tujuan kemerdekaan, karena guru adalah pemandu arah perjalanan pembangunan nasional.
Dalam pandangannya, tujuan pendidikan nasional bukanlah Profil Pelajar Pancasila sebagaimana yang dituangkan dalam RUU Sisdiknas, seharusnya tujuan pendidikan nasional adalah sosok utuh manusia Indonesia masa depan yang berlandaskan pada filsafat masyarakat Indonesia.
Sorotan juga muncul dari Momon Sudarma, praktisi pendidikan dan Ketua Departemen Advokasi, Hukum dan HAM, dan Pembinaan Profesi IKA UPI Komisariat FPIPS. Ia mengkritisi konsistensi istilah antara pendidik dengan guru, peserta didik dengan siswa/pelajar, lembaga/satuan pendidikan dengan sekolah.
Selain itu, perlu kejelasan dalam RUU, misalnya profesi (PPG) apakah lanjutan atau terpisah, indikator persekolahan mandiri, ukuran bencana untuk layanan dan pendidikan khusus, sampai pesantren formal.
Momon pun mengkritisi naskah akademik RUU yang beredar, “aneh, sejarah pendidikan Muhammadiyah, NU, dan sejenisnya jadi latar belakang, tapi yang dicontoh Finlandia, Tiongkok, Singapure, dan lain-lain” ujarnya.
Namun anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah menyampaikan bahwa DPR RI belum menerima secara resmi RUU Sisdiknas dari Kemdikbudristek, dirinya justru mendapatkan draft RUU dari beberapa pemangku kepentingan pendidikan. Ferdi menjelaskan bahwa esensi yang tidak boleh hilang dalam revisi UU Sisdiknas adalah visi dan misi bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, beriman dan bertakwa, dan sebagainya. Di samping itu, RUU ini harus berpihak kepada guru.
“Di RUU ini harus jelas bagaimana karier guru, perekrutan guru, pembinaan guru, sampai kesejahteraan guru, jika tidak ada untuk apa direvisi, karena aturan yang ada sudah baik, yang namanya merevisi maka harus lebih baik, jika lebih jelek maka tidak perlu direvisi,” tambahnya.
Baca Juga: Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19
Odapus Bandung tidak Menyerah pada Lupus
Warga Jawa Barat Diingatkan agar Mewaspadai Hepatitis Misterius
Pakar Unesa: RUU Sisdiknas Perlu Disempurnakan
Guru Besar Pendidikan, Prof Budiyanto menyampaikan bahwa kurikulum dalam RUU Sisdiknas tidak sekadar melihat apa yang terjadi belakangan ini atau sebatas menjawab persoalan. Namun, lebih jauh, harus futuristik atau memandang jauh ke depan. Kemudian juga perlu memberikan apresiasi dan mengakomodasi aspek aturan pendidikan anak berkebutuhan khusus atau disabilitas.
Pakar Unesa lainnya, Bachtiar S Bachri menegaskan bahwa dalam Sisdiknas, tenaga pendidik harus benar-benar diperhatikan, mengingat guru memiliki peran penting sebagai perancang pendidikan masa depan. Karena itu, pendidikan guru perlu diberikan porsi yang cukup di dalamnya.
"Pendidikan guru perlu diperkuat, tidak hanya akademik tetapi juga profesi. Pendidikan profesi ini diapresiasi karena diselenggarakan perguruan tinggi yang memiliki sistem pengembangan pendidikan. Saran kami, aspek pendidikan profesi baiknya dilaksanakan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi di bidang terkait, misalnya guru- LPTK," terangnya, dikutip dari laman Unesa.
Usulan juga datang dari Direktur Vokasi Unesa, Martadi. Dia mengatakan, bahwa terkait profil pelajar Pancasila yang memuat enam nilai itu harus diselaraskan dengan pembahasan RUU sehingga implementasi kebijakan nanti punya payung besar dan mencirikan Indonesia.
Selain itu, perlu penegasan perihal penyelenggaraan pendidikan melalui tatap muka yang tidak lagi sebagai interaksi antara murid dengan guru, tetapi juga bagaimana memfasilitasi siswa atau mahasiswa dengan hadirnya berbagai sumber pembelajaran baru.
"Ini akan relevan dengan pendidikan vokasi bukan hanya di pendidikan tinggi tapi juga SMK karena penyiapan peserta didik untuk kompetensi tertentu di berbagai jenjang agar siap masuk di dunia kerja dan industri," pungkasnya.