Kasus Drop Out Sepihak STIE Inaba, Muhamad Ari Menunggu Keadilan dari PTUN Jakarta
Muhamad Ari di-DO karena mengkritik kebijakan kampus, menuntut keringanan biaya kuliah bagi teman-temannya yang terdampak pagebluk Covid-19.
Penulis Iman Herdiana14 Juli 2022
BandungBergerak.id - Muhammad Ari, mahasiswa STIE Inaba Bandung, resmi mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. Langkah ini ditempuh setelah gugatannya terhadap Surat Keputusan Drop Out (DO) sepihak dari kampusnya, mentah oleh dua hakim PTUN Bandung dan satu hakim lainnya menyatakan beda pendapat (diseenting opinion).
Untuk malanjutkan gugatan, memoar banding Muhamad Ari telah dilayangkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung ke PTUN Jakarta secara online. LBH Bandung merupakan kuasa hukum Muhamad Ari.
“Memoar banding sudah terdaftar. Nantinya proses banding tidak akan ada sidang seperti pengadilan PTUN tingkat pertama. Tidak ada rangkaian menghadiri, menghadirkan saksi-saksi dan lain-lain. Hakim PTUN tinggal memeriksa berkas-berkas. Kita akan mendengar hasil akhirnya dalam proses 3 bulan,” kata Moh. Abdul Muit Pelu dari LBH Bandung, dalam konferensi pers daring, Rabu (13/7/2022).
Kasus gugatan terhadap SK pemecatan mahasiswa STIE Inaba (sekarang menjadi Universitas Inaba) bermula dari perjalanan panjang perjuangan Muhamad Ari dan kawan-kawannya di Aliansi Mahasiswa Inaba untuk menuntut pemotongan biaya kuliah dari pihak Universitas Inaba terkait dampak pandemi Covid-19 pada 2021.
Tahun 2021 merupakan puncak pagebluk varian Delta. Ratusan ribu orang meninggal dunia dan jutaan orang mengalami pahitnya ekonomi karena pembatasan aktivitas ekonomi demi mengurangi penyebaran virus. Sehingga tuntutan Ari dan kawan-kawan wajar. Malah sudah banyak kampus di Bandung yang menerapkan kebijakan pemotongan uang kuliah dan banyak pula mahasiswa yang menuntut keringanan biaya kuliah.
Tanggal 10 September 2021 Ari mendapat surat keputusan DO yang ditandatangani Rektor STIE Inaba, Yoyo Sudaryo. Padahal saat itu masa kuliah Ari tinggal skripsi atau kurang lebih 1,5 tahun lagi selesai. Tidak jelas dasar pemberhentian Ari sebagai mahasiswa STIE Inaba. Pemberhentian didasarkan pada surat rekomendasi Tim Komisi Etik Mahasiswa Nomor 02/TKEM-2/VIII/2022 tertanggal 23 Agustus 2021 tentang pelanggaran etika mahasiswa STIE Indonesia Membangun (Inaba).
Menghadapi dirinya di-DO, Ari tak tinggal diam. Ia bersama LBH Bandung mengajukan gugatan SK DO ke PTUN Bandung. Bahwa SK DO dibikin tidak transparan, melanggar demokrasi, dan HAM, bertentangan dengan asas mengemukakan pendapat di muka umum. Sebab, mahasiswa berhak menyuarakan kritik ke kampusnya, termasuk menuntut keringanan biaya kuliah karena pandemi Covid-19.
“Gugatan diajukan sebagai bentuk peringatan pada siapa pun orang yang tidak adil pada respons kebebasan pendapat mahasiswa di kampus. Tanggal 17 Mei kemarin PTUN memutuskan menolak gugatan,” kata Moh. Abdul Muit Pelu.
Meski gugatan itu ditolak, tetapi keputusan hakim PTUN Bandung tidak bulat. Ada seorang dari tiga hakim pengadil yang menyatakan beda pendapat (diseenting opinion) terhadap putusan gugatan SK DO Muhamad Ari.
Hakim ketua yang menyatakan diseenting opinion, menyoroti prosedur penerbitan SK DO Muhamad Ari yang dilakukan oleh Ketua STIE Inaba Yoyo Sudaryo berdasarkan rekomendasi Tim Komisi Etik. Proses ini dinilai penuh dengan unsur kepentingan (conflict of interest) yang membuatnya tidak independen dan objektif.
Hakim ketua menilai Ketua STIE Inaba Yoyo Sudaryo dan rekan-rekannya di universitas memiliki banyak rangkap peran, rangkap posisi, rangkap kedudukan. Misalnya, Yoyo berposisi sebagai pelapor/pengadu kepada Tim Komisi Etik, namun ia juga sebagai anggota Tim Komisi Etik yang akan melakukan penilaian atas pengaduan tersebut.
“Bahkan [Yoyo dan rekan] menjadi bagian dari Tim Komisi Etik yang merekomendasikan sanksi yang akan dijatuhkan sampai kepada yang bersangkutan berperan dalam menerbitkan SK Drop Out,” kata Moh. Abdul Muit Pelu.
Tidak Prosedural
Muhammad Ari sebagai teradu sama sekali tidak pernah dilibatkan maupun dimintai keterangan dalam sidang komisi etik STIE Inaba yang menghasilkan keputusan drop out. Majelis Kode Etik Kemahasiswaan seharusnya memanggil Ari untuk klarifikasi, hal ini bagian dari prosedur yang harus dilalui. Apalagi keputusannya menyangkut pemecatan mahasiswa, yang artinya mencabut hak pendidikan.
Surat Keterangan tentang Ketentuan Dewan Penegakan Kode Etik Dan Komisi Etik STIE INABA, Pasal 6 ayat 4 huruf a dan huruf b, menyatakan:
“Ayat 4 dalam melakukan persidangan, setiap anggota komisi etik wajib (a) Bertindak secara objektif dan tidak memihak salah satu pihak yang bermasalah dan/atau bersengketa (b) Menjaga independensi dengan tidak terlibat maupun melibatkan diri dalam permasalahan dan/atau persengketaan yang sedang ditangani dan tidak terpengaruh oleh faktor-faktor luar”.
Sikap STIE Inaba dinilai tidak mengedepankan prinsip demokrasi dengan cara melibatkan kedua belah pihak, yaitu pengadu [pihak STIE Inaba] dan teradu [Muhamad Ari], dalam sidang komisi etik agar tercapainya prinsip keadilan. Sebab rekomendasi yang dihasilkan oleh Tim Komisi Etik berkaitan dengan hak asasi atas pendidikan warga negara yang harus dihargai dan dijunjung tinggi STIE Inaba.
Sikap STIE Inaba itu bertentangan dengan penyelenggaran pendidikan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan:
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Baca Juga: Kisah Mahasiswa STIE Inaba, Muhamad Ari: Jalan Terjal Menuntut Pemotongan Uang Kuliah karena Pagebluk Berujung Di-DO
Di-DO setelah Menuntut Pemotongan Uang Kuliah, Mahasiswa Inaba Menggugat Rektornya ke PTUN
Mahasiswa Inaba Diskors Setelah Demonstrasi Minta Keringanan UKT
Putusan PTUN Bandung Mengabaikan Fakta Persidangan
Dua anggota majelis hakim PTUN Bandung yang menolak gugatan Muhamad Ari dinilai telah mengabaikan fakta penting persidangan, yaitu komisi etik STIE Inaba menerbitkan SK DO yang berdampak besar terhadap Muhammad Ari – warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan – tanpa melibatkan Muhammad Ari sendiri.
Majelis hakim malah menyatakan terbitnya drop out tidak bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Di sisi lain, hakim ketua menyatakan dissenting opinion dengan menyatakan tidak sependapat dengan kedua hakim anggota mengenai penerapan AAUPB. Menurut hakim ketua, terbitnya SK Drop Out melanggar asas menghindari benturan kepentingan (principle avoidance conflict of interest) dan asas keseimbangan.
“Walaupun adanya sikap hakim ketua yang melakukan perbedaan pendapat namun putusan tetaplah tidak berpihak kepada Muhammad Ari. Hal ini yang mendorong untuk melakukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, salah satu alasannya yakni masih banyak fakta-fakta dalam persidangan yang diabaikan oleh hakim di pengadilan tingkat pertama,” lanjut Moh. Abdul Muit Pelu.
Upaya banding ini juga untuk melihat sejauh mana respons keberpihakan negara melalui lembaga peradilan pada kasus kebebasan berpendapat dan kritik. Salah satu alasan kampus memberikan SK DO karena aksi pembakaran ban saat demonstrasi. Menurut Ari, hal ini terbilang janggal.
“Yang memberatkan DO salah satunya pebakaran ban di area lapang. Kampus menilai fasilitas kampus bisa rusak karena pembakaran ban. Padahal pembakaran ban umum dilakukan demonstran dan tidak ada fasilitas kampus ada rusak ketika pembakaran itu,” katanya.
Menurutnya, demonstrasi bagian dari demokrasi dan kebebasan berpendapat di muka umum. Namun upaya ini dibungkam kampus dengan jalan DO, sehingga harus digugat. Meski demikian, Muhamad Ari akhirnya kecewa dengan dua hakim PTUN Bandung yang menolak gugatannya. Padahal pengadilan merupakan gerbang terakhir bagi anak bangsa untuk meraih keadilan.
“Anak bangsa menyampaikan aspirasi di muka umum disikapi dengan cara tidak sebagimana mestinya,” katanya.
Ia telah mencari keadilan di dalam dan luar kampus, seperti demonstrasi di kantor LLDIKTI Wilayah IV untuk bersikap tegas pada STIE Inaba yang sewenang-wenang pada mahasiswanya. Namun hasilnya nihil. Upaya mencari pengadilan sampai ke pengadilan, namun juga masih harus melakukan banding karena pengadilan tingkat pertama menolaknya.
“Ke mana lagi anak bangsa mencari keadilan?” kata Muhamad Ari.
Pertanyaan eks Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Inaba ini masih akan terus bergema, setidaknya hingga muncul putusan banding di PTUN, Jakarta, tiga bulan ke depan.