Tur Urban Legend Bandung, dari Jejak Freemason hingga Rumah Kentang
Tur Urban Legend yang dipandu Komunitas Aleut ini diwarnai sejarah dan cerita horor Bandung. Dimulai dari Kantin The Panas Dalam.
Penulis Reza Khoerul Iman18 Juli 2022
BandungBergerak.id - Lampu kendaraan di Jalan Banda menyoroti 20 orang yang sedang berjalan beriringan di bawah bekas gemercik hujan yang mengguyur Kota Bandung belakangan ini, Sabtu (07/16/2022) malam. Komunitas Aleut membawa mereka menyusuri sejumlah tempat bersejarah di Kota Bandung yang kental dengan legenda urbannya.
Meski tidak menjadi perbincangan sehari-hari, legenda urban di Kota Bandung terus hidup dan ikut menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Tidak sedikit juga dari banyaknya masyarakat di Kota Bandung yang mengamini kebenaran dari kisah legenda urban, bahkan kisah-kisah tersebut terus berkembang antargenerasi yang membuat ceritanya tidak pernah menjadi basi.
Di luar benar atau kelirunya kisah yang berkembang di masyarakat, malam itu Komunitas Aleut menyambangi tujuh tempat yang terdapat di wilayah dengan nama jalan pulau-pulau. Mereka juga menekankan, hal yang perlu menjadi catatan pada malam itu bahwa mereka tidak akan melihat-lihat hal gaib, melainkan diajak menyelami sejarah di balik cerita urban legend.
Perjalaan dengan tajuk Tur Urban Legend dimulai dari Kantin The Panas Dalam pada pukul 19.00 WIB. Sebelum seluruh peserta beranjak, Pidi Baiq memberikan semacam pembukaan terkait bagaimana pengalamannya merasakan kondisi Kota Bandung sebelum tahun 2000-an.
Menurut Pidi Baiq, Bandung di waktu malam masih sangat sepi, tidak seramai sekarang. Namun cerita-cerita mistis pada waktu itu belum menjamur; orang lebih takut dengan orang lagi alias sama orang jahat.
Perbincangan hangat dengan Pidi Baiq mengawali wisata tur malam Komunitas Aleut dengan riang. Berikutnya, seluruh peserta beranjak menuju Gereja Albanus di Jalan Banda. Jalanan gelap di sepanjang trotoar Jalan Banda akibat lampu taman yang mati, semakin menambah efek mencekam bagi peserta.
Pemateri di Gereja Katolik Bebas St. Albanus, Annisa Almunfahannah, menyebutkan bahwa gereja tersebut dipakai oleh perkumpulan teosofi Bandung sebagai pusat kegiatannya, oleh karenanya gedung tersebut dikenal juga dengan sebutan Theosofische Loge atau Loji Teosofi.
Bangunan Gereja Katolik Bebas St. Albanus digunakan sebagai markas Teosofi Bandung hingga tahun 1930, setelah itu kelompok tersebut berpindah ke Olcottpark. Kemudian pada tahun yang sama, kelompok Gereja Katolik Bebas menempati bangunan Olcottpark.
Adapun kisah legenda urban yang beredar untuk bangunan tersebut, salah satunya, kata Annisa, adanya suara radio transistor zaman dulu yang tiba-tiba berbunyi sendiri pada malam hari. Adapun berita yang disiarkannya yaitu berita pada zaman kolonial.
“Suka terdengar suara radio yang sudah tua terdengar, padahal di dalam gedung sudah tidak ada lagi radio dengan suara model kuno seperti itu. Selain itu, sering juga terdengar suara orang-orang yang membuka buku, karena di salah satu ruangannya terdapat bekas perpustakaan. Konon, Bung Karno pada saat di Bandung kerap datang ke perpustakaan tersebut,” tutur Annisa.
Dari Jaarbeurs ke Rumah Kentang
Setelah dirasa cukup penyampaian tentang kisah legenda urban dan sejarah di balik Gereja Katolik Bebas St. Albanus, seluruh peserta berangkat menuju Gedung Kodiklat TNI AD (dahulu Jaarbeurs). Namun yang menarik perhatian justru di titik berikutnya, yaitu pada saat seluruh peserta berkumpul di halaman rumah Pram yang terletak di samping Rumah Kentang. Pram merupakan anak dari Sumiati yang merupakan salah satu saksi sejarah rumah freemason yang berada di Jalan Banda.
Di atas meja berukuran 1x1, Pram menunjukkan berbagai barang koleksi kuno milik keluarganya yang bisa mereka selamatkan, di antaranya terdapat koin-koin, pedang yang digunakan untuk pelantikan menjadi anggota, wadah lilin yang digunakan untuk menyalakan lilin pada saat upacara, dan barang kuno bersejarah lainnya.
Pram menyalahi kabar yang beredar di masyarakat bahwa ada anak yang tercebur ke dalam kuali panas yang tengah merebus kentang di bekas rumah salah satu loji freemason di Kota Bandung. Ia menekankan bahwa bau kentang tersebut berasal dari salah satu pohon yang terdapat di sekitaran sana.
“Saya pernah dengar kalau rumor bau kentang yang beredar di Rumah Kentang itu karena ada anak kecil yang masuk ke kuali waktu merebus kentang. Padahal cerita itu gak pernah terjadi sama sekali, secara logika juga panci kentangnya sebesar gimana sampai-sampai anaknya gak bisa diselamatkan. Saya juga sudah meluruskan kabar tersebut ke orang yang percaya sama yang suka menyebarkan cerita itu,” tutur Pram.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Riwayat Hantu Perkotaan di Bandung
Menggali Sejarah Kuburan Tua Belanda di Bandung dan Cimahi
Berbincang Karya Basio, Memanfaatkan Bangunan Tua Kota Bandung sebagai Ruang Publik
Stadion Siliwangi, SMA 5, dan Patung Verbraak
Malam semakin larut, jalanan juga tidak seramai pada malam minggu biasanya di Kota Bandung. Sementara para peserta masih harus terus berjalan di bawah gelapnya malam dengan sedikit pencahayan dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Selepas puas melihat dan mendengarkan penjelasan Pram titik berikutnya adalah Stadion Siliwangi.
Stadion yang identik dengan kendang Persib Bandung tersebut pada awalnya merupakan sebuah tanah kosong dan berlumpur yang tidak cocok digunakan untuk kompetisi. Untuk mendapatkan komposisi tanah dan sistem drainase yang baik, maka dipindahkanlah 6.000 meter kubik tanah dari Ciumbuleuit ke lapangan yang sekarang menjadi Stadion Siliwangi.
Sebenarnya tidak ada kisah legenda urban di sini. Namun pemateri di Stadion Siliwangi, Dary menyebutkan bahwa cerita yang beredar justru terdapat di daerah belakang stadion ini, yaitu Jalan Tongkeng. Ia menyebutkan apabila ada seseorang yang meniup peluit pada pukul 11 malam, akan ada hantu tanpa kepala yang menunggang kuda dan hantu tersebut akan mengajak untuk mencari kepalanya yang hilang.
Para peserta seakan terperangah sehabis mendengar seluruh kisah legenda urban Bandung. Tak lama, seluruh peserta beranjak ke SMA 5. Di sana mereka menjejaki langkah demi langkah lorong lantai 1, kemudian naik ke atas dan duduk di salah satu ruangan kelas.
Para peserta duduk seperti para murid yang sedang belajar, mendengarkan Sukma, pemateri di SMA 5, yang menjelaskan kilas balik SMA 5 pada saat menjadi HBS (Hoogere Burgerschool).
Cukup lama mereka saling berbagi cerita di SMA 5, namun mereka juga harus segera menuntaskan perjalanan. Selepas perjalanan usai, para peserta mengungkapkan keseruannya menjelajah beberapa tempat yang memiliki kisah legenda urban pada saat malam hari.
“Perjalanan yang asyik, penuh wawasan, dan tentunya menegangkan. Ternyata di balik sejumlah tempat yang terkadang saya kunjungi atau lewati menyimpan kisah-kisah legenda urban dan sejarah yang luar biasa,” tutur salah satu peserta, Asep, kepada BandungBergerak.id.