Penebusan Dosa Pelaku Pembunuhan Berencana dengan Pidana Seumur Hidup
Pidana seumur hidup dipandang sebagai rasa yang menyakitkan dan menderitakan yang harus dihadapi pelaku demi terlaksananya keadilan hukum.
Fransiska Aurelia Stephanie
Mahasiswi Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
21 Juli 2022
BandungBergerak.id - Pembunuhan berencana menjadi perhatian khusus di masyarakat karena merupakan kejahatan yang sangat berat. Namun tindak pidana pembunuhan berencana bukan hal baru, melainkan sudah dikenal sejak dulu dan terus berkembang dari zaman ke zaman hingga saat ini. Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan klasik yang mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri tanpa kita sadari.
Sering kali surat kabar, media, dan sarana informasi lainnya memberitakan mengenai pembunuhan. Rata-rata kasus pembunuhan setiap tahun sejak 2011 hingga 2021 memiliki angka sebanyak 1.241 kasus. Angka ini merupakan angka yang cukup tinggi dan cukup memprihatinkan. Mengingat tindak pidana pembunuhan masuk dalam kategori pelanggaran tertinggi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP mencantumkan pidana seumur hidup dalam urutan pertama sebagai sanksi pokok pelanggaran tersebut. Tindak pidana ini lebih spesifik diatur dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh tahun.”
Pembunuhan direncanakan yang dimaksud adalah pembunuhan dengan adanya unsur “sengaja yang direncanakan” di dalamnya. Sengaja yang direncanakan merupakan niatan membunuh dengan perencanaan terlebih dahulu dan memenuhi unsur kesengajaan dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, terdapat 3 unsur kesengajaan yaitu sengaja sebagai maksud, sengaja sebagai sadar kepastian, dan sengaja sebagai sadar kemungkinan.
Maksud dalam unsur tersebut adalah di mana pelaku pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya akibat yang dilarang undang-undang, namun ia mengabaikannya dan kemungkinan itu ternyata benar-benar terjadi. Sehingga, sanksi pidana penjara seumur hidup merupakan hukuman yang tepat untuk pelaku tindak pidana pembunuhan berencana yang menyebabkan korban meninggal dunia.
Pidana seumur hidup dipandang sebagai rasa yang menyakitkan dan menderitakan yang harus dihadapi pelaku demi terlaksananya keadilan hukum. Terlepas dari esensi bahwa seseorang memiliki hak seperti yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, perdebatan terkait pidana seumur hidup untuk pelaku kejahatan pelanggaran berat sejatinya sudah selayaknya diterapkan karena pelaku kejahatan sudah menodai konsistensi dari hukum pidana itu sendiri.
Baca Juga: Pidana Mati untuk Memberantas Tikus Berdasi
Hukum Indonesia Belum Melindungi Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif
Menang Gugatan di Mahkamah Agung, Buruh di Bandung malah Digugat Balik 5 Miliar Rupiah oleh Perusahaan
Hukuman yang Merampas HAM si Pelaku
Dilihat dari sudut pandang si pelaku kejahatan, hukuman seumur hidup memang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang merampas hak asasinya sebagai manusia dan bertentangan dengan apa yang sudah tertulis di dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F. Akan tetapi, kita juga harus mengambil sudut pandang sosial dari keluarga korban maupun masyarakat di sekitarnya. Keberadaan pelaku kejahatan yang pernah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang hidup bebas di lingkungan mereka akan menimbulkan keresahan dan kekhawatiran kalau-kalau kejadian tersebut berulang.
Perdebatan juga mungkin akan muncul, bahwa pelaku kejahatan yang sudah menjalani masa tahanan dan dinyatakan bebas, tentunya juga sudah mendapatkan pelatihan maupun konseling selama di dalam tahanan, tetapi apakah hal ini bisa meyakinkan masyarakat bahwa si pelaku kejahatan tidak akan melakukan kejahatan lagi? Permasalahan trust issue dari masyarakat sekitar terhadap si pelaku kejahatan akan menjadi topik utama terhadap kasus ini. Selain itu, bagi keluarga korban, kejadian di masa lampau tentunya juga akan menyebabkan trauma mendalam karena mereka harus kehilangan keluarga mereka dikarenakan sesuatu yang tidak semestinya.
Pemberian putusan sanksi pidana yang sudah diatur dalam KUHP mengandung konsekuensi logis-yuridis untuk menjadi alasan bagi pemberlakuan berbagai jenis, susunan dan cara pengenaan suatu sanksi pidana. Oleh karenanya, maka menjadi jelas bagi hakim sebagai aparat peradilan pidana untuk mengenakan salah satu dari jenis sanksi pidana. Pengenaan ini khususnya berlaku untuk pidana pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan kepada terdakwa yang dalam suatu persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana.
Salah satu jenis pidana yakni pidana penjara merupakan pemberian hukuman yang sifatnya mengambil hak kemerdekaan seseorang. Dengan hal ini, penjatuhan pidana seumur hidup pada terdakwa yang melakukan pembunuhan berencana merupakan hal yang menjadi sebab atau argumen dasar dijatuhi hukuman tersebut untuk memberikan rasa derita yang setimpal pada pelaku tersebut. Selain itu, narapidana yang menjalani pidana seumur hidup sukar diharapkan untuk kembali ke dalam masyarakat dan menjalin proses resosialisasi. Oleh karena itu, narapidana dengan sanksi hukuman seumur hidup harus mendekam selamanya di dalam lembaga pemasyarakatan.
Setiap manusia dianugerahi oleh hak-hak dasar yang ia miliki sejak lahir yang disebut sebagai hak asasi manusia. Salah satu hak asasi manusia yang melekat pada manusia adalah hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Negara hadir dan memiliki kewajiban untuk melindungi dan memastikan hak asasi manusia setiap warga negaranya terpenuhi.
Meskipun begitu, di dalam KUHP terdapat pasal yang memberikan sanksi pidana penjara seumur hidup yang merupakan pelanggaran tertinggi dalam KUHP, salah satunya bagi pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Hal ini tentunya bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun, tidak ada alasan yang dapat meringankan hukuman pelaku sebab tindakan yang diperbuatnya didasari oleh kesengajaan yang direncanakan sebelumnya. Pelaku mengetahui bahwa tindakannya akan memunculkan akibat yang dilanggar dalam undang-undang namun tetap dilakukannya.
Bila pidana seumur hidup tidak diberlakukan kepada pelaku, maka akan menimbulkan ketidakadilan dalam lingkup penegakkan hukum serta kehidupan sosial di masyarakat karena sejatinya hukuman tersebut diberikan agar pelaku merasakan rasa derita yang sama dari apa yang telah diperbuat. Jadi, hukuman pokok berupa pidana seumur hidup tidak dapat dinegosiasikan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan berencana.
Hingga saat ini, masih banyak pelaku pembunuhan yang mendapatkan hukuman yang ringan. Maka dari itu, perlu ketegasan aparat penegak hukum khususnya hakim untuk memberikan sanksi selayak-layaknya untuk para pelaku tindak pembunuhan, khususnya pembunuhan berencana.