• Kampus
  • Melihat Citayam Fashion Week dengan Topi Hitam

Melihat Citayam Fashion Week dengan Topi Hitam

Fenomena yang mencuri perhatian publik seperti Citayam Fashion Week diwarnai kontroversi. Tidak sedikit yang memandang hanya dari sisi negatif atau topi hitam.

Destinasi wisata para remaja Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok (SCBD). (Foto Ilustrasi: pusat.jakarta.go.id, diakses 29 Juli 2022)

Penulis Iman Herdiana29 Juli 2022


BandungBergerak.idPublik tanah air sedang hanyut dalam Citayam Fashion Week, fenomena anak muda yang belakang ini mendobrak kalangan artis hingga pejabat yang mau ikut numpang tenar bersama anak-anak dari Depok, Citayam, dan Bojong Gede di kawasan bisnis dan perkantoran di Jalan Sudirman, Jakarta, itu.

Seperti biasa, fenomena yang mencuri perhatian publik selalu diwarnai kontroversi. Tidak sedikit yang memandang hanya dari sisi negatif atau topi hitam pada anak-anak SCBD.

Pegiat industri kreatif yang juga dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Dwi Purnomo, menyayangkan sikap sebagian masyarakat yang mendahulukan pandangan negatif pada anak-anak muda Citayam Fashion Week. Menurutnya pandangan dini terlalu terburu-buru tanpa melalui analisis dan cara berpikir yang runut.

“Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju simpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental,” papar Dwi Purnomo, dikutip Jumat (29/7/2022) dari laman resmi Unpad

Deputi Pengembangan Bisnis Kawasan Sains dan Teknologi Padjadjaran tersebut memaparkan, Citayam Fashion Week bisa dilihat berdasarkan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono.

Melalui model tersebut, suatu fenomena diuraikan secara sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif. Model kerangka berpikir ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi.

Model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi. Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.

Berkaca pada fenomena Citayam Fashion Week, Dwi mengungkapkan bahwa cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah, sedangkan ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis.

“Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju,” katanya.

Kolaborasi Boleh, Hanya Mencari Untung Jangan

Dwi Purnomo melihat Citayam Fashion Week sebagai fenomena subkultur baru yang merepresentasikan kreativitas anak muda melawan kultur arus utama. Fenomena ini kemudian menarik segelintir pesohor untuk berkolaborasi memanfaatkan peluang, meskipun pada akhirnya menuai kontroversi di masyarakat.

Dwi Purnomo menjelaskan kolaborasi merupakan sesuatu yang sah dilakukan dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai. Hanya saja, kolaborasi dilakukan bukan sekadar untuk menarik keuntungan.

“Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya,” kata Dwi.

Di era digital saat ini menjadi upaya strategis dalam memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja. Kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga kebelanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.

Maka, Citayam Fashion Week merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena tersebut menjadi inovasi disruptif. Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada.

“Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang,” terangnya.

Dwi mengatakan, kolaborasi tetap perlu dikemukakan secara gamblang untuk menghindarkan salah persepsi oleh publik.

“Siapa tahu asumsi saya, dia (pesohor) punya model bisnis bagus dan memiliki niat membuat subkultur tersebut menjadi berlanjut yang kemudian bisa dibagi secara berkeadilan,” kata Dwi.

Di era digital, ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan. Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan bagaimana kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan.

“Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan,” kata Dwi.

Baca Juga: Guru Honorer Menuntut Kejelasan Nasib ke Gedung Sate dengan Satir Citayam Fashion Week
Lirik Lagu Malaria Harry Roesli, Musik Protes yang masih Relevan
Mengusir Demam Panggung dan Menguasai Keterampilan Berbicara di Depan Umum secara Daring dan Luring

Representasi Kaum Muda Menengah ke Bawah

Citayam Fashion Week merupakan kegiatan fashion jalanan. Apakah kemunculan Citayam Fashion Week ini bisa dikatakan ekspresi anak muda atau fenomena budaya musiman?

Menurut sosiolog UGM, Derajat Sulistyo Widhyarto, kemunculan Citayam Fashion Week sebagai bagian pembentukan budaya baru yang dilakukan oleh anak muda sehingga perlu diapresiasi. “Salah satu karakter kaum muda adalah pencipta budaya dan kebudayaan youth culture. Fenomena Citayam mempunyai efek budaya dari kebudayaan tersebut,” katanya, di laman UGM

Kemunculan mereka yang menggunakan area publik di pusat kota sebagai lokasi unjuk ekspresi serta memilih gaya busana sebagai pilihan budaya baru sangat brilian karena gaya busana bagian dari budaya yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

”Ruang kota menawarkan tantangan baru yakni kesempatan untuk mendorong pembentukan budaya mengikuti budaya yang bisa diterima adalah fashion,” jelasnya.

Para anak muda yang melakukan peragaan busana di jalanan ibu kota ini umumnya berasal dari kota-kota penyangga Jakarta. Bahkan, mereka juga berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah yang seakan menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan melawan arus fenomena budaya konsumerisme dan pamer kemewahan yang ditunjukkan para pegiat medsos dan influencer.

”Mereka memang kalah bertarung dengan kaum muda menengah ke atas yang sudah masuk ruang bisnis kota. Maka Citayam adalah representasi kaum muda menengah ke bawah dan menjadi bagian dari eksistensi baru mereka dalam mengisi ruang kota dan sekaligus pembentuk budaya muda kota,” ujarnya.

Meski begitu, kaum muda ini menurut Derajat Sulistyo juga menggunakan media digital untuk memperkuat gaung ruang ekspresi budaya baru mereka. Anak-anak muda Citayam memahami betul jika Jakarta adalah ruang yang bisa mewakili daya tarik dan meningkatkan audiens. Maka mereka dengan sadar menjadikan Jakarta sebagai ruang penciptaan budaya.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//