Argumentasi Perlunya Penerapan Pidana Mati terhadap Koruptor di Indonesia
Tidak salah jika hukuman mati diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, mengingat para koruptor telah menyengsarakan rakyat.

Naluri Dwiki Nafriza
Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
29 Juli 2022
BandungBergerak.id - Korupsi merupakan tindak pidana yang sudah mengakar dalam setiap sendi kehidupan di Indonesia. Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun belum berhasil memberantas kejahatan korupsi, bahkan makin lama makin meningkat baik dari kuantitas maupun dari segi kualitas pelakunya.
Terus meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Salah satu faktor masih tingginya angka korupsi di Indonesia adalah kurang efektifnya hukuman yang diberikan kepada pelaku. Oleh karena itu, tidak salah jika hukuman mati diterapkan terhadap pelaku-pelaku korupsi yang merugikan bagi negara untuk memberikan efek jera. Namun, di sisi lain penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia masih menjadi permasalahan yang dilematis, tidak sedikit yang menolak penerapan hukuman mati.
Hakim masih sering memutuskan perkara korupsi dengan pidana minimal pada suatu pengadilan, sangat jarang hakim yang menetapkan hukuman maksimal terhadap pelaku korupsi. Selain itu, dalam beberapa kasus pengadilan dalam menjatuhkan putusan pemberian sanksi pidana kepada para koruptor, ternyata memberikan hukuman yang berbeda-beda antara pelaku yang satu dan pelaku yang lain.
Dengan kata lain, terjadi suatu disparitas pemidanaan, yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama. Hal ini bisa dilihat pada kasus-kasus korupsi besar seperti contoh kasus Mantan Deputi Bank Century, Budi Mulya. Budi Mulya didakwa telah menyalahgunakan kewenangannya dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Akibatnya, dalam pemberian FPJP, keuangan negara dan perekonomian negara dirugikan sekitar 689 miliar rupiah, sementara untuk penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, uang negara dirugikan sebanyak 6.782 triliun rupiah. Pada kasus ini, hakim hanya memvonis Budi Mulya dengan hukuman 10 tahun dan pidana denda 500 juta rupiah dengan ketentuan diganti pidana kurungan 5 bulan oleh Hakim Pengadilan Tipikor.
Satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah korupsi, yaitu dengan memberikan hukuman seberat-beratnya, salah satunya, yaitu dengan diberikan hukuman mati. Pengaturan hukuman mati dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi terdapat pada Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Meskipun telah terdapat pasal dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ancaman hukuman mati kepada pelaku korupsi, penerapan hukuman mati sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan. Tidak sedikit yang menolak diterapkannya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Kalangan yang menolak berargumen bahwa eksekusi hukuman mati bertentangan dengan HAM sebagaimana diatur pada Pasal 28A, 28I UUD NRI 1945, Pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Pada dasarnya penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi jika hanya dikaji secara tekstual, memang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Namun, jika dikaji secara kontektual dengan menggunakan penafsiran extentif dan teleologis, maka sebenarnya penerapan hukuman mati tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, tidak salah jika hukuman mati diterapkan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi, mengingat para koruptor telah menyengsarakan rakyat secara perlahan, yaitu dengan mengambil hak-hak rakyat secara tidak sah.
Baca Juga: Hukuman Mati, Menjunjung Keadilan atau Melanggar Hak Asasai Manusia?
Pidana Mati untuk Memberantas Tikus Berdasi
Vonis Hukuman Mati bagi Koruptor, Apakah Melanggar HAM?
Rekomendasi Penerapan Hukuman Mati pada Koruptor
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah korupsi, yaitu dengan memberikan hukuman seberat-beratnya, salah satunya, yaitu dengan diberikan hukuman mati. Dalam hukum positif Indonesia diakui adanya ancaman hukuman mati kepada pelaku kejahatan korupsi. Hal ini tercantum pada Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam konteks pelaksanaan Hak Asasi Manusia, memang eksekusi hukuman mati tidak bisa dibenarkan, namun jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, hukuman mati harus dilakukan. Mengingat para koruptor telah menyengsarakan rakyat secara perlahan, yaitu dengan mengambil hak-hak rakyat secara tidak sah.
Dalam pelaksanaan pemberian hukuman mati harus benar-benar terbukti bersalah dengan segala saksi dan barang bukti yang sudah diperiksa dan diajukan ke sidang pengadilan. Penulis berpendapat, aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bertindak lebih tegas terhadap koruptor sesuai peraturan yang ada.