• Opini
  • Penjara Sudah Penuh, Saatnya Menerapkan Keadilan Restoratif

Penjara Sudah Penuh, Saatnya Menerapkan Keadilan Restoratif

Penjara yang jauh melebihi kapasitas ideal akan berdampak terhadap sanitasi dan kondisi psikologis warga binaan. Kerusuhan antarpenghuni akan mudah tersulut.

Karin Daniela Hardadi

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Seorang warga berjalan di depan Lapas Sukamiskin, Jalan A.H. Nasution, Arcamanik, Kota Bandung, Senin (18/7/2022). Lapas Sukamiskin pernah difungsikan sebagai penjara khusus koruptor, namun menuai kontroversi. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

2 Agustus 2022


BandungBergerak.idMasih segar dalam ingatan Rakyat Indonesia peristiwa kebakaran Lapas Tangerang Kelas 1A 2021 lalu, yang mengungkap betapa sesaknya penjara Indonesia yang dapat berakibat fatal apabila bencana serupa terjadi karena sulitnya proses evakuasi warga binaan. Media asing pun ikut menyoroti peristiwa ini, salah satunya Reuters yang memuat berita bertajuk “Fire Kills 41 in Overcrowded Indonesia Prison Block” [reuters.com, diakses 7 Juni 2022].

Berdasarkan pernyataan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham pada Januari 2022, lapas-lapas di Indonesia hanya dapat menampung 132.107 orang. Namun, saat ini terdapat 275.000 tahanan dan warga binaan yang ditampung di dalam lapas-lapas tersebut. [Bayangkan Jika Kamu Saat Ini Tinggal di Penjara, Ijrs.or.id, diakses pada 7 Juni 2022].

Penuhnya lapas yang jauh melebihi kapasitas ideal akan berdampak terhadap sanitasi dan kondisi psikologis warga binaan, serta kerusuhan antarpenghuni lapas akan semakin mudah tersulut.

Lantas apakah hukuman pemenjaraan masih efektif untuk mewujudkan tujuan dari lapas itu sendiri yaitu memanusiakan manusia, atau pemenjaraan hanya dijadikan alat represif bagi penegak hukum untuk memberikan “efek jera”? Padahal, terdapat alternatif penyelesaian perkara pidana yang diselesaikan dengan pembaharuan sistem pemidanaan dengan mengusung prinsip restorative justice atau keadilan restoratif yang akan mengurangi jumlah warga binaan. Apa itu keadilan restoratif?

Asal Mula Keadilan Restoratif

Pendapat W.L.G. Lemaire yang dikutip dari Buku “Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia” karya P.A.F Lamintang, menyatakan bahwa, “Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan dan larangan yang telah dikaitkan dengan sanksi berupa hukuman, yaitu penderitaan yang bersifat khusus”.

Dengan demikian, hukum pidana berbeda dengan hukum lainnya karena mengenal sebuah lembaga perampasan kebebasan yang, berdasarkan keputusan hakim, dikenakan kepada barang siapa yang melanggar norma-norma tersebut. Maka dari itu, ada beberapa pendapat bahwa hukum pidana sebaiknya dipandang sebagai ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir/penyembuh untuk memulihkan keadaan di dalam masyarakat. Asas ultimum remedium ini yang kemudian menjadi cikal bakal terwujudnya keadilan restoratif.

Sejarah Keadilan Restoratif

Evolusi penerapan keadilan restoratif berawal dari Victim Offender Mediation (VOM) yang diterapkan pada tahun 1970-an di Kanada yang memperkenalkan metode penyelesaian kasus pidana di luar peradilan konvensional. VOM memberikan kesempatan kepada korban, dengan didampingi mediator, untuk bertemu pelaku secara langsung sehingga korban dapat mengungkapkan bagaimana kejahatan yang dialami memengaruhi hidup mereka serta meminta pertanggungjawaban dari sang pelaku.

Di sisi lain, pelaku diberikan kesempatan untuk mendengar dan mengakui perasaannya serta menanggung konsekuensi atas kejahatan yang diperbuatnya [Ahmad Syaufi, Konstruksi Model Penyelesaian Perkara Pidana yang Berorientasi pada Keadilan Restoratif, Samudra Biru, Yogyakarta, hlm 6].

Melihat pada sejarah, keadilan restoratif mengutamakan dialog dan mediasi yang sesuai dengan pengertian restorasi itu sendiri yaitu “pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula” [KBBI, diakses 22 Juni 2022], sehingga bertujuan untuk mendapatkan keadilan yang seimbang bagi korban dan pelaku dengan mengutamakan rekonsiliasi antar pihak yang bersengketa.

Sebenarnya, konsep ini telah dikenal oleh masyarakat adat Indonesia dan masih berlaku hingga saat ini. Dalam hukum adat, sengketa diselesaikan melalui musyawarah yang dihadiri oleh tokoh adat sebagai mediator. Bangsa Indonesia sendiri telah mencantumkannya di dalam Sila ke-4 Pancasila yaitu, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".

Baca Juga: Pentingnya Restorative Justice dalam Mengatasi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan
KTP Elektronik di Lapas Anak Bandung untuk Vaksinasi Covid-19
Mengapa Pengguna Jasa Prostitusi Online di Indonesia selalu Lolos dari Jerat Hukum?

Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia Saat Ini

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum yang menentukan bahwa keadilan restoratif dapat diaplikasikan kasus tindak pidana ringan yaitu dengan hukuman penjara 3 bulan dan nilai kerugian tidak lebih dari 2.500.000 rupiah (Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP), perkara anak, kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan pecandu atau penyalahgunaan narkotika.

Pengaturan mengenai keadilan restoratif terdapat pula pada Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Salah satu contoh penerapan restorative justice terdapat pada kasus Muhammad Arham. Dilansir dari Kompas.com, Arham mencuri sebuah sepeda motor milik pedagang sayur yang kemudian digadaikan seharga 1.500.000 rupiah. Uang hasil gadai sepeda motor curian tersebut digunakan untuk membiayai persalinan istrinya. Melalui pendekatan restoratif, kasus antara pedagang sayur dan Arham diselesaikan secara damai sehingga kemudian Kejaksaan Negeri Takalar membebaskan Muhammad Arham.

Melihat pada perundang-undangan, saat ini pengaturan mengenai prinsip keadilan restoratif hanya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meski demikian, angin segar mulai berhembus untuk sistem peradilan Indonesia dengan dirumuskannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai penerapan living law dan hukuman pidana kerja sosial, pidana tutupan, serta pidana pengawasan yang menjadi model substitusi dari pidana penjara.

Kasus Kebakaran Lapas Tangerang kelas 1A merupakan tamparan keras bagi masyarakat terutama para penegak hukum. Jelas diperlukan adanya evaluasi dan reformasi penjara di Indonesia, salah satunya dengan menggunakan prinsip keadilan restoratif yang merupakan alternatif dari pidana penjara. Hal ini baik dilakukan karena tujuan dari hukum bukan hanya mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga memberikan keadilan bagi masyarakat.

Penjara yang sesak, mengalami masalah sanitasi, tidak kondusif, serta tidak akan dapat mewujudnyatakan tujuan sejatinya. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengubah pola pikir dari keadilan retributif menjadi restoratif yang mengutamakan pemulihan bukan pembalasan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//