• Opini
  • Indonesia 77 Tahun Merdeka, Refleksi bagi Bangsa yang masih Terjajah Feodalisme

Indonesia 77 Tahun Merdeka, Refleksi bagi Bangsa yang masih Terjajah Feodalisme

Kampus atau sekolah didirikan bukan untuk melahirkan ribuan budak korporasi, melainkan untuk menciptakan generasi bijaksana dan berintelektual.

Galih Permana, S.E.

Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), aktif di berbagai organisasi kepemudaan, dan pemrakarsa platfor

Pawai kemerdekaan di lapang Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/8/2022). Pawai kostum untuk memperingati HUT RI ke 77 ini diikuti sekitar 1.000 warga desa. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Negeri ini sudah menginjak 77 tahun pascapemimpinnya kala itu, Sukarno, mendeklarasikan kemerdekaan dan kedaulatan atas penjajahan yang dilakukan kolonial berpuluh hingga ratus-ratus tahun. Namun apakah benar bangsa ini kini telah betul menerima dan mempertegas kemerdekaannya? Atau apakah kata 'kemerdekaan' hanya sebatas menjadi slogan belaka?

Tanggal 17 Agustus 1945, kala itu Sukarno didampingi oleh Mohammad Hatta bertempat di sebuah rumah hibah Faradj Martak di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, menjadi pertanda dan mempertegas bahwa masyarakat di bangsa ini kala itu sudah geram dengan segala bentuk penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh bangsa Jepang.

Merdeka yang secara maknawi dapat diartikan sebagai bentuk pembebasan dari segala belenggu feodalisme dan mempertegas hak kepemilikan tanah air harus sepenuhnya dikelola warga nusantara. Sikap fasis dan feodal para kolonialis kala itu menggerus segala hak yang harusnya dimiliki oleh pemilik tanah atau tuan rumah, termasuk hak mendapatkan pendidikan. Rakyat diharuskan untuk patuh dan takut atas segala kesewenangan bangsa asing yang padahal mereka bukan pemilik tanah sebetulnya. Sistem pendidikan yang condong militeristik menjadi andalan bangsa Jepang kala itu dalam membentuk mental generasi yang patuh dan takut saat mengkritik penguasa, dan hal itu menjadi warisan buruk di masa kini.

Jika kita telisik dan pelajari lebih dalam, sistem pendidikan di bangsa ini memiliki orientasi pada pemenuhan kesejahteraan individual ketimbang menciptakan kesadaran kolektif dalam membangun entitas yang lebih maju. Padahal setiap insan di bangsa ini menyadari bahwa dahulu kala bangsa ini dimerdekakan dan dibangun dengan kesadaran kolektif bukan hanya dengan perjuangan individual.

Imbas dari sistem pendidikan yang individualistik berdampak pada sikap apatis yang akhirnya mengikis kepedulian antarsesama warga negara, lebih jauhnya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang hanya memikirkan perut dan keluarganya sendiri ketimbang pusing harus mengurusi rakyat yang teriak kelaparan.

Sikap-sikap seperti itu kini dengan sadar dinormalisasi dan sedikitnya menghilangkan makna esensial dari merdekanya suatu bangsa yakni memanusiakan manusia dan mensejahterakan rakyatnya, dibuktikan pula dengan tujuan pembangunan nasional yang kini sudah terbalik yang tidak lagi mengutamakan kualitas manusia di atas segalanya melainkan mengedepankan infrastruktur di atas kualitas manusia itu sendiri. Sekalipun negara mengalokasikan sekitar 20 persen anggaran dari APBN, namun ketika landasan atau bahkan tujuan dari pendidikan itu tidak memiliki arah atau peta yang pasti, maka hanya akan melahirkan generasi-generasi yang terombang-ambing dan mudah tergerus oleh budaya asing.

Baca Juga: Anyer Dalam dalam Angka, Tergusur dan Berjuang di Kota Sendiri
Menghindari Euforia Kemerdekaan, Mengentaskan Kemiskinan
SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang

Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

Mari kita bertanya kepada para calon mahasiswa, apa tujuan mereka berkuliah dan menjadi mahasiswa? Maka kita akan menemukan jawaban yang sama bahwa secara realistis mereka ingin menjadi pintar, mendapatkan gelar sarjana, lalu akhirnya bekerja di tempat yang layak. Dan hanya akan kita temukan sedikit sekali mahasiswa yang akhirnya memiliki idealisme dan memiliki cita-cita luhur mengembalikan marwah negeri ini.

Hal tersebut adalah dampak buruk dari ketidakjelasan arah sistem pendidikan di Indonesia, generasi bangsa hari ini dipaksa buta dalam memahami ilmu-ilmu dasar logika yang dapat mengasah nalar kritis karena waktu belajarnya dihabiskan hanya untuk mempelajari SOP perusahaan dan bagaimana bisa lolos menjadi pekerja di sebuah korporasi.

Amerika dengan hiruk pikuknya sebagai negara maju memiliki pondasi kekuatan yaitu dalam aspek pendidikan, ia mempertegas vocal point pendidikannya yaitu liberalisme. Pula Prancis dengan equality-nya mampu melahirkan generasi-generasi yang bernalar dan berani dalam melawan ketidakrasionalan, hal itu membuat tidak bergunanya sebuah jabatan atau gelar jika tidak dibarengi dengan intelektualitas.

Berbeda dengan Indonesia, sikap feodal yang sampai detik ini masih mengakar dalam dunia pendidikan di bangsa ini berimbas pada mental generasi mudanya yang penakut dan memilih diam saat melihat kezaliman, bahkan untuk mengangkat tangan dan bertanya di dalam kelas sekalipun.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim mengusung merdeka belajar sebagai bentuk simbol agar masyarakat dapat melihat bahwa penguasa hari ini memberikan kebebasan dan akses seluas-luasnya bagi mahasiswa dalam mendapat dan mengakselerasi ilmu pengetahuannya. Padahal jika kita analisis lebih jauh slogan merdeka belajar merupakan kecacatan berpikir penguasa hari ini dalam mengelaborasi kebutuhan dasar suatu bangsa, mengapa demikian? Tidak bisa dikatakan tidak merdeka belajar mampu melahirkan para calon pekerja dengan jumlah yang banyak namun dalam waktu yang singkat. Lalu apakah itu tujuan pendidikan yang sebetulnya? Tentu kita tegaskan, tidak!

Kampus atau sekolah didirikan bukan untuk melahirkan ribuan budak korporasi melainkan untuk kemudian menciptakan generasi yang bijaksana dan berintelektual sebagai bekal dan modal dasar pembangunan bangsa. Jika suatu kampus dituntut untuk menciptakan banyak pekerja, maka apa bedanya kampus sebagai instansi pendidikan dengan tempat pelatihan-pelatihan TKI. Ditambah budaya-budaya senioritas di dalam instansi pendidikan seakan-akan dianggap wajar, padahal hal tersebut justru akan semakin memperjelas kultur feodal bagi generasi bangsa hari ini, dan negara harus bertanggung jawab atas dampak buruk yang terjadi karena hal tersebut.

Di momentum kemerdekaan ini perlunya kita saling merefleksi dan saling menyadarkan antarsesama anak bangsa, tidak lagi sibuk hanya untuk sekadar memperkaya dan mengurusi urusan primordial semata. Karena sejatinya reformasi dan revolusi hanya mampu dilakukan bagi mereka yang memiliki rasa empati tinggi dan kesadaran kolektif. Selain itu kini negara perlu berbenah dan menjadikan hari kemerdekaan sebagai momentum evaluasi dan kembali memperjelas pula mempertegas arah haluan bangsa terkhusus pendidikan sebagai soko guru peradaban.

Selamat hari kemerdekaan, semoga kita bisa sama-sama memerdekakan rakyat dari kungkungan kebodohan. Dirgahayu republikku!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//