• Kampus
  • Pakar ITB Menyerukan Penghematan BBM

Pakar ITB Menyerukan Penghematan BBM

Pemerintah harus menggelontorkan biaya 502 triliun rupiah sebagai subsidi energi. Moda transportasi dan kompor listrik jadi solusi.

Pekerja SPBU di Bandung mengisi BBM, Kamis (6/4/2021). Harga BBM dipengaruhi krisis ekonomi global dan naiknya harga minyak mentah dunia. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 Agustus 2022


BandungBergerak.idPakar ITB mengingatkan masyarakat untuk menghemat energi atau BBM. Sebab tidak dapat dipungkiri, situasi global kini semakin terasa. Di antaranya, perang Rusia-Ukraina telah menimbulkan banyak tekanan pada perekonomian global, termasuk harga minyak bumi.

Sebagai negara netimporter minyak, Indonesia pun tentu mengalami imbasnya. Menurut data, pemerintah harus menggelontorkan biaya sebesar 502 triliun rupiah sebagai subsidi komoditas energi, seperti BBM, listrik, dan gas.

Keputusan tersebut harus diambil agar tidak membebani masyarakat kelas menengah ke bawah yang baru saja dapat “bernapas” pascaperiode stagnasi dan resesi. Karena nilai subsidi yang besar tersebut, masyarakat Indonesia diharapkan bijak menggunakan subsidi energi.

Ketua Pusat Penelitian Energi Baru Terbarukan ITB, Yuli Setyo Indartono, menjelaskan bahwa fluktuasi harga minyak yang tengah terjadi bukanlah kali pertama. Sejak tahun 1970, setidaknya sudah ada enam kali terjadi peristiwa ketidakstabilan harga sehingga di masa depan pun, tidak ada yang bisa menjamin kemapanan perekonomian negara.

“Oleh karena itu, dibutuhkan upaya antisipatif untuk mencegah adanya fluktuasi harga minyak berikutnya,” kata Yuli, dikutip dari laman ITB, Rabu (24/8/2022).

Menurut Yuli, transportasi merupakan sektor pengguna energi terbesar, yaitu 45,76% dari total konsumsi energi nasional. Pada sektor tersebut, bahan bakar yang sebagian besar digunakan adalah BBM, sedangkan sebagian kecilnya blending fuel (gasoil dan biodiesel).

Selain itu, lanjut Yuli, sektor rumah tangga juga menjadi pengonsumsi bahan bakar fosil terbesar ketiga (16,98 persen). Data menyebutkan, sebanyak 96 pesen dari total konsumsi LPG nasional dihabiskan oleh sektor rumah tangga.

Sebenarnya, sektor industri menduduki peringkat kedua dalam hal konsumsi energi nasional (31,11 persen), namun tidak sebesar kedua sektor sebelumnya untuk konsumsi bahan bakar fosil.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB itu menjelaskan, potensi fluktuasi harga energi dapat ditekan dengan cara mengurangi konsumsi BBM di sektor transportasi dan LPG di sektor rumah tangga. 

Pengurangan BBM di transportasi bisa dilakukan dengan tiga cara: peningkatan penggunaan biofuel, elektrifikasi kendaraan bermotor, serta perbaikan transportasi massal. Sementara itu, di sektor rumah tangga, penggunaan kompor listrik dapat berperan mengurangi konsumsi LPG,” tutur Yuli.

Baca Juga: Kenaikan Harga Pertamax Tepat, tapi Jangan Naikkan Pertalite
Superkarbon sebagai Pengganti Bahan Bakar Minyak Bumi
Indonesia Perlu Segera Mengurangi Penggunaan Energi Kotor

Elektrifikasi Moda Transportasi dan Kompor Listrik 

Untuk mengurangi dampak negatif dari fluktuasi harga BBM dan LPG terhadap perekonomian nasional, maka dapat dilakukan langkah mengurangi konsumsi BBM di transportasi dan mengurangi penggunaan LPG di rumah tangga.

Pengurangan BBM di transportasi bisa dilakukan dengan tiga cara: peningkatan penggunaan biofuel, elektrifikasi kendaraan bermotor, serta perbaikan transportasi massal. Sedangkan di sektor rumah tangga, penggunaan kompor listrik dapat berperan mengurangi konsumsi LPG.

Saat ini, bahan bakar cair yang digunakan secara nasional telah digantikan oleh biofuel, bahkan hingga sebanyak 14 persen. Melalui usaha ini, pemerintah ingin meningkatkan kontribusi bioefuel di sektor transportasi. Tahun ini, uji coba B40 yang merupakan campuran biodiesel 40 persen pada bahan bakar diesel juga sedang dilakukan.

Menanggapi isu elektrifikasi kendaraan bermotor dan penggunaan kompor listrik, Yuli Setyo Indartono menyatakan bahwa keduanya pun perlu diiringi dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik di tanah air.

Langkah cepat yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan subsidi pembelian kompor listrik kepada masyarakat menengah ke bawah.

“Kalau dulu pemerintah memiliki program penggantian minyak tanah dengan LPG, saat ini waktunya melanjutkan perubahan LPG ke listrik,” jelas Yuli.

Di sisi lain, di sektor transportasi, peningkatan jumlah dan kualitas transportasi massal di dalam kota maupun antarkota perlu digarap. Yuli juga mendukung ikhtiar elektrifikasi kendaraan bermotor yang dapat dipercepat dengan pemberian subsidi pembelian kendaraan listrik dan pembangunan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU). Semua anggaran yang dibutuhkan dapat diambil dari sebagian pos subsidi BBM.

Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu merencanakan pembangunan pembangkit listrik yang baru dan sesuai kebutuhan.

“Alokasi subsidi BBM yang besar saat ini, sebagian dapat digunakan untuk pembangunan pembangkit listrik baru yang berbasis energi baru terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, surya, dan angin,” sebut Yuli.

Pilihan ini sejalan dengan tanggung jawab Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer.

Pengembangan jenis energi baru dan terbarukan lainnya juga harus menjadi bahan konsiderasi, di antaranya biomassa, nuklir, serta laut. Pengembangan clean coal dan carbon capture & storage perlu dilakukan agar batu bara, yang sangat besar jumlahnya di Indonesia, dapat dimanfaatkan tanpa merusak bumi.

Selain itu, diperlukan pengembangan teknologi penyimpanan energi tenaga surya dan tenaga angin skala besar.

“Jika kita dapat menggunakan separuh saja dari Rp502 trilun untuk melakukan hal-hal ini, mudah-mudahan, Bangsa kita tidak terjerembab lagi pada masalah BBM yang mungkin kembali terjadi di masa mendatang,” pungkas Yuli.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//