• Foto
  • Tak Ada Air Bersih di Ciwalengke

Tak Ada Air Bersih di Ciwalengke

Bertahun-tahun warga mengandalkan air dari Sungai Ciwalengke yang tercemar limbah industri dan rumah tangga. Negara belum hadir dalam memenuhi akses air bersih.

Fotografer Prima Mulia2 April 2022

BandungBergerak.idSeorang pria lanjut usia sedang menggosok gigi di samping aliran air yang mengucur ke bak penampung di mandi-cuci-kakus (MCK) komunal Kampung Ciwalengke, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jumat (22/3/2022). Tak jauh darinya, Aning (43 tahun) sedang mencuci beras.

"Saya nyuci pakai air galon, gak berani pakai air di sumur MCK, kotor," kata Aning.

Ternyata, air yang mengalir melalui pipa paralon ke bak penampung tadi, dialirkan lagi ke sumur penampung di dalam MCK. Airnya berasal dari Sungai Ciwalengke. Air sumur keruh dan agak berbau itulah yang digunakan oleh warga untuk kebutuhan mandi, mencuci pakaian, dan buang air.

Airnya dibelokkan langsung dari sungai yang mengalir di antara kampung dan bangunan-bangunan pabrik tekstil. Sampah plastik dan popok bayi teronggok di sedimen lumpur tebal sungai berair coklat keruh tersebut.  Warga kerap harus membersihkan sampah yang menyumbat aliran air sungai ke sumur-sumur.

Nestapa warga ditambah lagi dengan asap beracun batu bara yang terus mengepul dari cerobong-cerobong tinggi. Guguran residu pembakaran batu bara mencemari air, tanah, dan udara di sekitarnya.

Puluhan tahun sudah warga Ciwalengke, khususnya di wilayah RW 10 yang dihuni sekitar 540 kepala keluarga. Sebagian warga tinggal di rumah atau petak kontrakan dengan sanitasi buruk tanpa akses air bersih.

Aning sudah 27 tahun tinggal di kampung ini dan terpaksa harus beradaptasi dengan air kotor untuk kebutuhan MCK bagi keluarganya.

"Dulu sekali sebelum ada tentara Citarum Harum, air sumur di MCK ini warnanya kadang merah, biru, atau hitam, berbau menyengat. Tergantung pewarna apa yang sedang digunakan di pabrik tekstil, sekarang sudah tidak ada lagi sejak di jaga tentara," kata perempuan itu.

Untuk air minum dan memasak, Aning mengalokasikan anggaran Rp 10.000 per minggu untuk membeli air galon isi ulang. Begitu juga dengan warga lain. Air kotor di MCK hanya di pakai untuk mandi, mencuci, dan buang air saja.

Walau begitu, tetap saja warga rentan terpapar beragam penyakit, terutama anak-anak. Sering kali air kotor itu ikut terhirup atau tertelan saat mereka menggosok gigi dan mencuci rambut. Belum lagi potensi gangguan penyakit kulit yang dialami sebagian warga.

Hal tersebut diamini oleh Yoyoh (63 tahun), Nuryati (50 tahun), dan Ema (63 tahun). Mereka adalah warga Ciwalengke yang sudah puluhan tahun menetap dengan mengontrak rumah atau kamar petak dengan sewa antara Rp 150.000 sampai Rp 500.000 per bulan.

Hanya segelintir rumah kontrakan yang memiliki sumur sendiri. Dengan catatan airnya tak kering. Misalnya rumah kontrakan dengan sewa Rp 400-500 ribu sebulan.

"Di kontrakan saya ada sumur sendiri dengan air cukup bersih, bisa dipakai masaklah, tapi mandi dan nyuci seringnya ke MCK umum," kata Nuryati.

Saking minimnya akses air bersih, warga Ciwalengke mengatur aliran air yang dibelokkan dari sungai ke got-got khusus yang terpisah dari aliran got air kotor sisa limbah rumah tangga. Setelah ditelusuri, air-air itu mengalir ke rumah-rumah warga, masuk ke bak penampungan, lalu dialirkan lagi ke bak atau sumur penampung di rumah-rumah yang memiliki bilik mandi sendiri.

Air juga dialirkan ke bak penampungan di masjid untuk diendapkan dan diolah secara sederhana agar sedikit layak pakai. Sebagian lagi mengalir ke kolam-kolam ikan warga. Ikan di kolam juga jadi indikator alami jika air tercemar limbah berbahaya.

"Dulu pemerintah daerah setempat pernah membuat jet pump untuk kebutuhan air bersih warga Ciwalengke, tapi terpaksa kami hentikan karena berdampak pada keringnya sumur-sumur bor milik warga kampung. Airnya kesedot semua ke jet pump. Sampai sekarang ada lagi solusi, katanya pemerintah akan cari lokasi baru pemasangan jet pump supaya tidak mengganggu sumur warga, tapi sudah bertahun-tahun tak kunjung terealisasi," kata Ketua RW 10 Dadang Wahyudin.

Warga dipaksa kebal menghadapi kelalaian negara dalam menyediakan akses air bersih. Aliran Sungai Ciwalengke yang tercemar limbah rumah tangga tersebut, termasuk tinja, langsung dialirkan ke sumur dan bak penampungan tanpa penanganan khusus. Warga kemudian menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari.

Ancaman penyakit kulit dan paparan bakteri e-colli menjadi kisah tanpa akhir di Ciwalengke. Saat kemarau, hampir seluruh warga kampung terpaksa harus menggunakan air kotor untuk keperluan MCK karena sumur bor mengering.

Bagaimana hak warga untuk mendapatkan akses air bersih yang seharusnya jadi tanggung jawab negara? Masih berujung tanya sampai detik ini.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Redaksi

COMMENTS

//