• Literasi
  • Festival Bantu Teman: Aksi Solidaritas Bantu Pekerja Perbukuan

Festival Bantu Teman: Aksi Solidaritas Bantu Pekerja Perbukuan

Sebelum pagebluk, para pekerja perbukuan sudah kena gebuk secara finansial karena rentannya sistem pendapatan mereka.

Pengunjung membaca buku di tengah pameran Ramadhan Post Book 2021 di Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Bandung, 18 April 2021. Ramadhan Post Book merupakan pameran buku pertama yang digelar di Bandung di masa pandemi. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen14 September 2021


BandungBergerak.idPara pekerja perbukuan di Indonesia mengalami pukulan berat. Pandemi Covid-19 yang sudah melanda hampir dua tahun ini membuat kondisi finansial mereka kembang kempis. Untuk dapat bertahan, sejumlah pekerja perbukuan menggelar aksi solidaritas untuk rekan seprofesinya yang terdampak, salah satunya menggalang donasi.

Dalam kegiatan literasi bertajuk Festival Bantu Teman, sejumlah pekerja buku menggalang donasi untuk pekerja perbukuan. Pekerja perbukuan yang dimaksud meliputi editor, penerjemah, perancang rupa, pedagang buku atau penerbitan skala kecil yang terdampak secara finansial di masa pandemi. Lebih jauh lagi, festival ini hendak membicarakan ketahanan ekosistem perbukuan Indonesia secara keseluruhan di tengah krisis imbas dari lesunya industri perbukuan.

Salah seorang inisiator Festival Teman Bantu Teman, Aan Mansyur menjelaskan aksi ini berawal dari pertengahan bulan Juli ketika sejumlah teman-teman terdekat di lingkup Aan, Indrian, Sukma dan rekan penulis lainnya diketahui sedang melakukan isolasi mandiri karena terinfeksi Covid-19. Kemudian kabar itu, lanjut Aan, disampaikan dalam grup WhatsApp para penulis dengan tujuan untuk menggalang dan mendistribusikan donasi.

“Dari sana kami melihat [penulis yang terdampak pandemi] ternyata terjadi di lingkup pekerja buku yang lebih luas. Lalu disitu terpikir untuk mengumumkan secara luas aksi Teman Bantu Teman ini,” kata Aan Mansyur, penulis Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau.

Aksi Teman Bantu Teman ini kemudian dibuka secara luas dan melahirkan festival Bantu Teman untuk membantu para pekerja perbukuan di seluruh Indonesia. Menurutnya, dari formulir pengajuan bantuan yang masuk banyak ditemukan di antara mereka yang kehilangan pekerjaan, atau kehilangan pemasukan karena menurunnya tingkat produksi sekaligus penjualan buku, ataupun hilangnya pekerja harian terkait di industri perbukuan.

Menurut Aan, baik sebelum dan di masa pandemi ini rentannya kesejahteraan pekerja perbukuan bukan hal baru lagi, persoalan ini telah ada sejak lama di dunia perbukuan Indonesia. Akan tetapi, kata Aan, pandemi yang mempertegas kondisi tersebut harus dijadikan momen titik balik melakukan tindakan yang lebih jauh untuk memperkuat ketahanan ekosistem perbukuan. Dia menegaskan bahwa gerakan ini bukan hanya sekedar menggalang donasi untuk disalurkan kepada para pekerja perbukuan yang terdampak, melainkan aksi ini mulai berpikir bagaimana isu kesejahteraan pekerja perbukuan tidak dijadikan angin lalu saja.

Senada dengan Aan. Salah satu penulis Indonesia, Eka Kurniawan mengatakan bahwa sebagian besar pekerja perbukuan merupakan pekerja lepas atau freelancer. Dengan demikian, mereka meraih pundi-pundi Rupiahnya tidak terikat dari satu lembaga atau perusahaan, melainkan dari royalti, atau kerja per pekerjaan untuk editor dan penerjemah. Kondisi ini sangat rentan dalam segi finansial karena bergantung pada produktivitas produksi dan penerbitan buku-buku.

Ditambah lagi, pekerja buku di Indonesia masih dianggap pekerja informal. Artinya, kata Eka, para pekerja perbukuan tidak memiliki perlindungan hak pekerja dan tak memiliki jaminan hari tua serta asuran kesehatan layaknya pekerja sektor formal. Kondisi ini menunjukkan tak ada jaring pengaman dalam aspek sosial dan ekonomi bagi pekerja buku ketika menghadapi situasi krisis seperti pandemi ini.

“Ketika pandemi ini datang, saya rasa itu kayak membuka apa yang sebelumnya sudah jadi problem. Kita sudah sering melihat sebelum pandemi, ada teman kita sakit, dan kita harus saling bahu-membahu membantu. Karena memang hampir tidak ada jaring pengamannya sama sekali,” ujar Eka Kurniawan.

Festival Bantu Teman terdiri dari rangkain diskusi, pertunjukan seni dan teater yang akan berlangsung secara daring pada 14 - 18 September 2021. Terdapat 20 sesi diskusi, yang menghadirkan 70 pengisi acara dari berbagai profesi, mulai dari musisi, seniman, pembuat film hingga jurnalis. Adapun tema yang dibicarakan berkisar seputar penerbitan, penerjemahan, kepenulisan, ekonomi kreatif, lintas media, serta media baru.

Aksi Teman Bantu Teman ini diharapkan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Para partisipan nantinya dapat mengikuti sesi diskusi sembari berdonasi. Donasi dapat dilakukan dengan mengambil paket donasi melalui link bit.ly/festivalbantuteman. Ada dua paket donasi yang disediakan, yakni paket terusan 350 ribu rupiah untuk 20 sesi (lima hari) dan paket harian 100 ribu rupiah untuk 4 sesi. Semua donasi yang masuk akan disalurkan kepada pekerja buku yang terdampak pandemi.

“Kami berharap festival ini memberi dampak nyata bagi pekerja buku, dan membuahkan solusi atas berbagai kekurangan dalam ekosistem perbukuan di tanah air,” kata Aan.

Per Kamis, 8 September 2021, Festival Bantu Teman telah berhasil mengumpulkan dan menyalurkan donasi sebesar Rp 109 juta kepada 144 pekerja buku di seluruh Indonesia. Sementara formulir pengajuan yang masuk ada 251 pengajuan. Dengan demikian, masih ada banyak pekerja buku terdampak lainnya yang belum mendapatkan bantuan.

Baca Juga: Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik
Cerita Orang Bandung (11): Gairah Hidup Seorang Penjual Buku
Ramadan di Tahun Pagebluk (7): Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari

Sejumlah koleksi buku yang disiapkan untuk Ramadhan Post Book 2021. Ada yang terbitan terbaru, ada juga yang lawasan.
Sejumlah koleksi buku yang disiapkan untuk Ramadhan Post Book 2021. Ada yang terbitan terbaru, ada juga yang lawasan.

Dunia Buku Digebuk Pagebluk: Lesunya Industri Perbukuan

Bahkan sebelum pagebluk Covid-19, kerentanan ketahanan industri perbukuan memang sudah jadi persoalan utama dalam ekosistem perbukuan di Indonesia. Pandemi lantas mempertegas kondisi itu. Pada Mei lalu, Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) mengatakan pasar perbukuan mengalami kemerosotan tajam akibat pandemi.

Arys mengatakan banyak para penerbit mengalami penurunan penjualan, bahkan ada yang mengalami penurunan lebih dari 50 persen. Mayoritas penerbit, yakni sebanyak 58,2 persen, mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen. Disusul dengan sebanyak 29,6 persen penerbit mengalami anjlok 31-50 persen. Kemudian sebanyak 8,2 persen penerbit mengalami penurunan 10-30 persen.

Di tengah kondisi yang serba tak pasti ini berdampak pada daya tahan perusahaan yang mulai goyah dihantam pandemi. Berdasarkan hasil survei IKAPI, sebanyak 60,2 persen penerbit menyatakan bahwa mereka hanya sanggup menggaji pekerjanya mereka selama 3 bulan. Kemudian 25,5 persen lainnya menyatakan bisa bertahan selama 3 – 6 bulan, lalu 9,2 persen penerbit menyatakan bisa  bertahan selama 6 – 9 bulan, dan 5,1 persen penerbit menyatakan bisa bertahan antara 9 bulan sampai 1 tahun.

Persoalan tidak berhenti di situ. Arys menjelaskan di masa pandemi ini pemerintah melakukan pengurangan bahkan penghentian pembelian buku. Padahal, lanjut Arys, belanja buku pemerintah setiap tahunnya lebih dari Rp 10 triliun. Merujuk survei IKAPI, pada tahun 2020 sebanyak 71,4 persen penerbit tidak lagi menerima pemesanan buku dari dinas-dinas pendidikan dan perpustakaan daerah. Sebanyak 26,5 persen mengaku masih menerima pemesanan, namun jumlahnya berkurang.

Ikapi juga melakukan survei mengenai nasib pekerja industri perbukuan, khususnya para pekerja penerbitan. Melihat kondisi daya tahan perusahaan yang mulai tak sanggup membayar gaji pekerjanya, rencana PHK pun berhembus. Data Ikapi mencatat 55,1 persen penerbit menyatakan bahwa mereka sudah merencanakan PHK atas dasar kondisi saat ini. Sedangkan 44,9 persen menyatakan belum merencanakan untuk melakukan PHK pekerjanya.

Pengurangan pekerja juga dilakukan oleh para perusahaan penerbit untuk tetap dapat bertahan di masa pandemi ini. Ikapi menyebut sebanyak 30,4 persen penerbit merencanakan akan melakukan pengurangan 10-20 persen pekerja. Kemudian sebanyak 23,2 persen penerbit merencanakan mengurangi 21-30 persen pekerja. Lalu sebanyak 21,4 persen penerbit merencanakan pengurangan pekerja antara 41-50 persen. Sebanyak 14,3 persen penerbit merencanakan pengurangan pekerja antara 31-40 persen, dan 10 persen penerbit merencanakan akan melakukan pengurangan pekerja lebih besar dari 50 persen karyawan yang ada.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//