• Kolom
  • SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #8: Koleksi Dubois Seharusnya Disimpan di Bandung

SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #8: Koleksi Dubois Seharusnya Disimpan di Bandung

Seandainya koleksi Dubois disimpan di Bandung, bisa jadi punya kesempatan untuk membandingkan dan menghubungkan antara koleksi lama dan bahan berlimpah lainnya.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Situs Pithecanthropus erectus di Trinil tahun 1894. (Sumber: Bert Theunissen (1989))

5 September 2022


BandungBergerak.idMenjelang akhir 1930 ada pemberitaan di Belanda yang menyulut polemik di Hindia Belanda. Pemberitaan itu berkaitan dengan koleksi fosil manusia purba yang dimiliki oleh Eugene Dubois (1858-1940), ahli geologi dan paleoantropologi yang menemukan fosil Pithecanthropus erectus atau Java Man (manusia Jawa).

Berita dimaksud disiarkan kembali oleh koran-koran terbitan Hindia antara lain dalam De Locomotief edisi 16 Desember 1930, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 18 Desember 1930, dan De Indische Courant edisi 20 Desember 1930. Judul beritanya “De Indische fossielen-verzameling in Holland” (koleksi fosil Hindia di Belanda), dengan keterangan tambahan “Overbrenging van de collectie Dubois” (pemindahan koleksi Dubois).

Dari tulisan itu diketahui koleksi fosil Hindia, yang lebih dikenal sebagai koleksi Dubois, karena menyandang nama kolektor dan direktur lembaga yang menyimpannya, akan segera dipindahkan dari tempat sementara ke Laboratorium Boerhaave di Leiden. Khususnya ke lantai dasar yang memang sengaja dibuat untuk maksud tersebut.

Untuk itu, guru besar emeritus Prof. Dr. E. Dubois di Amsterdam sejak 1929, dibantu oleh ahli paleontologi Bernsen, mempersiapkan proses ilmiah koleksi fosil, sehingga selanjutnya akan menjadi aset penting bagi Universitas Leiden. Karena salah satu koleksi fosilnya berupa tengkorak Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berdiri tegak), sebagai penemuan yang menggemparkan dunia.

Tulisan Ir. A.C. de Jongh yang mengurai sejarah kepemilikan koleksi Dubois. (Sumber: De Locomotief, 12 Januari 1931)
Tulisan Ir. A.C. de Jongh yang mengurai sejarah kepemilikan koleksi Dubois. (Sumber: De Locomotief, 12 Januari 1931)

Menemukan Mata Rantai yang Hilang 

Sebelum dilanjutkan, saya akan berbagi ihwal latar belakang dan proses Dubois menemukan Pithecanthropus erectus, sebagaimana yang sudah saya tulis untuk buku Dari Emas Sumatera ke Tambang Papua: Sejarah Penyelidikan Geologi dan Pertambangan Indonesia Abad XVII-Abad XX (2020: 91-96). 

Latarnya kita mulai dengan terbitnya Discours sur les Revolutions de la Surface du Globe, et sur les Changemens qu’elles ont Produits dans la Regne Animal (1825) karya Georges Cuvier, yang secara teoritis berupaya membuktikan keberadaan fosil. Sejak saat itu banyak orang berupaya membuktikannya. Misalnya, sisa-sisa permukiman prasejarah ditemukan di Swiss (1829); J.C. Fuhlrott menemukan fosil Manusia Neanderthal di Lembah Neander, Jerman (1856).

Upaya pencarian bergairah lagi setelah terbit The Origin of Species (1859) karya Charles Darwin, termasuk karya A.R. Wallace yang menyelidiki fauna Nusantara. Pada 1866, E. Dupont menemukan fosil Manusia Cro-Magnon di Gua La Naulette, Prancis. Penemuan itu menandai munculnya diskusi mengenai fosil manusia pada paruh kedua abad ke-19.

Pada gilirannya, Eugene Dubois terpesona oleh Darwin. Ia bahkan tertarik untuk membuktikan adanya mata rantai yang hilang dalam proses seleksi alam. Karena menurut Dubois, mata rantai itu dapat ditemukan di antara benua Asia dan Australia, sehingga dia berketetapan hati pergi ke Nusantara. Namun, pemerintah Belanda tidak mau membiayai penyelidikannya, sehingga agar tetap dapat pergi, ia rela masuk dinas ketentaraan (KNIL) sebagai perwira kesehatan dengan masa dinas delapan tahun (J. Boeke, “Levensbericht M.E.F.Th. Dubois” dalam Jaarboek, 1940-1941).

Menurut Bert Theunissen (Eugene Dubois and the Ape-Man from Java, 1989), Dubois menumpang kapal  Prinses Amalia pada 29 Oktober 1887 dan tiba di Padang, Sumatra Barat, pada 11 Desember 1887. Mei 1888 ia dipindahkan ke Payakumbuh demi melihat gua-gua kapur dan bebatuan serta menguji fosil-fosil di dalamnya. Penyelidikannya sendiri dimulai Juli 1888. Di Gua Lidah Air, hingga Agustus 1888, ia menemukan fosil orang utan, badak, tapir, gajah, rusa, dan lain-lain.

Sebelumnya, April 1888, Dubois menulis makalah “Over de wenschelijkheid van een onderzoek naar de diluviale fauna van Ned. Indie, in het bijzonder van Sumatra” (dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië edisi 49, 1888). Di situ, ia menyampaikan lima alasan di balik pemilihan Hindia sebagai tempat pencarian mata rantai yang hilang itu.

Pertama, ia mengamini Darwin dalam Descent of Man bahwa nenek moyang manusia mesti hidup di daerah tropis, karena manusia kehilangan kulit bulunya. Kedua, ia menganggap kera, kerabat terdekat manusia di dunia satwa, hanya ditemukan di wilayah tropis Dunia Lama. Ketiga, ia meyakini keberadaan simpanse Siwalik yang menyebabkan Hindia menjadi tempat menghuni terakhir bagi anthropoid prasejarah.

Keempat, ia menganggap hubungan kekerabatan antara manusia dan siamang sangat erat, dan India serta Nusantara dianggapnya tepat untuk mencari pertautan antara siamang dan manusia, karena siamang hanya ditemukan di kedua daerah itu. Kelima, berkaitan dengan tradisi penelitian abad ke-19 terhadap fosil manusia yang menganggap bahwa fosil manusia paling banyak ditemukan di gua-gua, sedangkan Hindia sangat kaya gua.

Gagasan Dubois mendapat perhatian Indisch Comite van Wetenschappelijk Onderzoek di Belanda terutama dari Karl Martin dan Max Weber serta anggota Commissie tot Bevordering van het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Kolonien. Inilah yang menyebabkannya berani membuat proposal kepada pemerintah Hindia Belanda.

Sejak 6 Maret 1889, Dubois dipindahkan ke Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri, dengan tugas mengadakan penelitian paleontologi di Sumatra dan Jawa. Dia memperluas penggalian hingga Dataran Tinggi Padang. Karena hasilnya mengecewakan, ia mengalihkan perhatiannya ke Jawa, karena mendapat informasi dari Van Rietschoten.

Sebelumnya, pada 24 Oktober 1888, Van Rietschoten menemukan bagian fosil tengkorak manusia. Karena menganggapnya unik ia mengirim fosil itu kepada C.P. Sluiter, kurator Koninklijke Natuurkundige Vereeniging di Batavia. Oleh Sluiter, fosilnya diteruskan ke Dubois. Pada 14 April 1889, ia diberi izin memperluas penyelidikannya pada sedimen Tersier dan Plestosen di Jawa.

Sejak Juni 1890, mula-mula Dubois menyelidiki pegunungan kapur di Madiun dan Kediri, tempat Rietschoten menemukan fosil, yang dikenal sebagai Manusia Wajak. Lalu ke daerah Kedung Lumbu, tempat Raden Saleh menggali fosil, serta ke Kedung Brubus. Dari September 1890, Bukit Kendeng dieksplorasi. Pada 24 November 1890, ada penemuan penting di Kedung Brubus.

Agustus 1891, selama penggalian kedua di Jawa, Dubois mulai mengekskavasi di Trinil. Di sana, pada September 1891, dia menemukan sisa primata pertama, berupa gigi geraham ketiga dari sedimen kaya fosil. Dua bulan kemudian, bagian atas tengkorak relatif utuh, yang disebutnya sebagai “manusia Jawa” (Java Man), ditemukan.

Penggalian di Trinil dilanjutkan Mei 1892. Pada Agustus 1892, para insinyur menemukan fosil primata ketiga. Akhirnya, untuk laporan kepada pemerintah kolonial pada laporan triwulan ketiga 1892, Dubois mengumumkan penemuan spesies baru, yakni Anthropopithecus erectus Eug. Dubois alias simpanse yang berjalan tegak. Dengan temuan itu, Dubois yakin telah menemukan bentuk transisi antara kera dan manusia.

Nama Anthropopithecus erectus berubah menjadi Pithecanthropus erectus dalam deskripsi resmi tahun 1894. Penggantian itu terjadi pada laporan terakhir untuk 1893, tanpa alasan apa pun. Karena tidak lagi menemukan fosil manusia yang baru, Dubois mengirimkan disertasinya Pithecanthropus erectus, eine menschenaehnfiche Uebergangsform pada Januari 1894. Pada 1895, ia kembali ke Eropa untuk mengetengahkan fosil berikut tafsirannya.

Patung Pithecanthropus erectus hasil rekonstruksi Dubois di Pameran Dunia Paris. Model itu disumbangkan oleh Dubois ke Laboratorium Boerhave pada 1931. (Sumber: Bert Theunissen (1989))
Patung Pithecanthropus erectus hasil rekonstruksi Dubois di Pameran Dunia Paris. Model itu disumbangkan oleh Dubois ke Laboratorium Boerhave pada 1931. (Sumber: Bert Theunissen (1989))

Keterangan Kepala Jawatan Penyelidikan Geologi 

Kembali ke polemik. Pemantiknya Ir. A.C. de Jongh, kepala penyelidikan geologi Hindia Belanda (Hoofd van den Geologische Opsporingsdienst in Ned.-Indie), yang menulis dalam De Locomotief edisi 12 Januari 1931 dengan tajuk “Collectie-Dubois Eigendom der Indische Regeering” (Koleksi Dubois milik pemerintah Hindia) dan keterangan tambahan “De Pithecantropus Erectus en zijn Plaats in het Museum te Bandoeng” (Pithecantropus erectus dan tempatnya di museum Bandung).

Dari tulisan itu kita jadi tahu kelanjutan kisah fosil yang ditemukan Dubois di Jawa, sekaligus kepemilikannya. Pada awal tulisannya, De Jongh jelas mengomentari berita dalam De Locomotief edisi 16 Desember 1930 tentang proses pemindahan koleksi Dubois ke Laboratorium Boorhove. Demi meluruskan persoalan antara hak milik dan barang milik koleksi itu, ia menguraikan sejarah singkatnya.

Katanya, sejak Maret 1889, perwira kesehatan M.E.F. Dubois ditugaskan di jawatan pertambangan untuk melakukan ekskavasi paleontologi dan penyelidikan fosil bagi pemerintah Hindia. Ketika pekerjaannya tidak selesai sesuai tenggat, kontrak kerjanya diperpanjang beberapa kali, hingga berakhir pada 1894.

Sesudah itu, Dubois memohon izin beberapa bulan untuk berkunjung ke bagian paleontologi di Kalkuta dan studi lapangan di perbukitan Siwalik, tempat yang formasi geologinya berkaitan dengan masa Tersier Jawa. Padahal alasan utamanya, menurut De Jongh, adalah karena proses dan deskripsi ilmiah fosil di Jawa kurang mungkin dilakukan di tempat karena kurangnya materi pembanding.

Setelah beberapa kali usaha memeriksa fosil di Eropa gagal, pemerintah Hindia memutuskan untuk mengarahkan Dubois, sesuai keinginannya, ke Belanda selama dua tahun atau kurang untuk melakukan kaji banding di ‘s Rijks museum van Natuurlijke Historie di Leiden dan beberapa museum Eropa lainnya. Maksudnya demi membuat deskripsi atas fosil-fosil yang dikumpulkannya dari Jawa dan Sumatra dengan instruksi deskripsi dilengkapi gambar-gambar itu disampaikan kepada Sekretaris Umum Hindia Belanda.

Pekerjaan itu menyedot uang banyak. Dubois tetap menerima gaji dari pemerintah Hindia dan berbagai kunjungannya ke museum-museum juga ditanggung oleh pemerintah Hindia, termasuk untuk membuat potret-potret fosil. Namun, karena hasil kerjanya belum juga dipublikasikan, pada 1897 Dubois mendapatkan perpanjangan kontrak selama dua tahun. Karena tetap tidak cukup, pada 1899, saat dia menjadi dosen luar biasa di Amsterdam, masa kerja untuk pemerintah Hindia diperpanjang lagi dua tahun.

Itu yang terakhir, karena menteri tanah jajahan berpendapat pekerjaan itu seharusnya tidak memerlukan waktu terlalu lama. Lagi-lagi harapan itu tidak terwujud, karena hanya beberapa tulang Pithecanthropus erectus baru yang dapat dideskripsikan dan dipublikasikan oleh Dubois. Sementara sisanya, segudang penuh, sebagai bagian penting dari situs Trinil, tersimpan di Leiden, dan telah beberapa kali dipindahkan.

De Jongh mengaku, kegemparan besar terjadi setelah ditemukannya Pithecanthropus erectus yang dianggap sebagai bentuk transisi antara manusia dan kera. Bagi kalangan ilmiah, penemuan itu menimbulkan perhatian ekstra, karena berdampingannya semua hewan dengan manusia-kera dan lembaga ilmiah internasional serta Hindia tidak sabar menunggu lengkapnya proses dan publikasi data selama bertahun-tahun.

Pada 1903, hal tersebut mengemuka dalam Staten-Generaal, melalui pertanyaan yang diajukan menteri dalam negeri (minister van Binnenlandsche Zaken) Dr. A. Kuyper. Konon saat itu mengemuka bahwa deskripsi dan publikasi mengenai koleksi Hindia itu akan selesai dalam tiga tahun, meski pada kenyataannya terus tertunda-tunda.

Karena minimnya data ekskavasi itulah, tahun 1907, lembaga ilmiah Jerman dan pemerintah Hindia Belanda mengizinkan adanya ekspedisi untuk melakukan ekskavasi di Trinil, yang dikenal sebagai Ekspedisi Selenka, sesuai nama pemimpin ekspedisinya. Meski dianggap habis dieksplorasi Dubois 15 tahun sebelumnya, Nyonya Selenka dan kawan-kawan tetap berhasil membawa koleksi sangat besar dari sana. Fosil-fosil itu diteliti dan dideskripsikan di Jerman dan terbuka bagi umum dan ilmuwan di museum Berlin dan Munich. Publikasinya muncul pada 1911.

Kata De Jongh, di Hindia Belanda sendiri pada 1910 ada pembicaraan serius lagi tentang ekskavasi fosil di dekat Trinil. Tetapi gagasan tersebut dibatalkan, karena menurut saran Karl Martin, kelanjutan penelitiannya harus menunggu publikasi hasil ekskavasi Dubois. Memang untuk penyelidikan di banyak situs fosil di Jawa beserta kajian geologi Jawa sangat terkendala oleh kurangnya hasil dari penyelidikan terdahulu.

Selama dua dasawarsa berikutnya, upaya berulang dilakukan oleh jawatan geologi Hindia (Indischen Geologischen Dienst), Indisch Comité voor Wetenschappelijke Onderzoekingen, dan lembaga lain serta pihak berwenang untuk meninjau lagi kasus koleksi Trinil (Trinil-collectie), tetapi selalu gagal. Meski demikian, perhatian terhadap kasus itu tetap hidup di Hindia, karena bila tidak demikian berarti telah kehilangan koleksinya yang berharga.

Di akhir tulisannya, De Jongh mengatakan sekarang Dubois telah mewujudkan misinya dan menyebutkan Hindia Belanda kini telah mempunyai museum geologi dan paleontologi di Bandung, yang memperoleh minat umum dan dunia pendidikan, dan berharap museum tersebut akan mendapatkan koleksi Dubois sebagai salah satu harta karunnya yang terbesar.

Baca Juga: SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #5: Pemerolehan Koleksi dan Jumlah Kunjungan antara 1929-1939
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #6: Mengubur Kepala Kerbau untuk Peresmian Tanggal 7 September 1929
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #7: Rombongan Susuhunan Solo Tanggal 30 Juni 1930

Masa tua Eugene Dubois tahun 1930-an. (Sumber: Bert Theunissen (1989))
Masa tua Eugene Dubois tahun 1930-an. (Sumber: Bert Theunissen (1989))

Kelanjutan Polemik

Tulisan De Jongh dimuat ulang dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (22 Januari 1931). Namun, yang menarik, selanjutnya mendapat perhatian dari anggota dewan rakyat (Volksraad) Hindia sebagaimana yang mengemuka dalam berita singkat De Locomotief edisi 6 Februari 1931.

Dalam berita itu dikatakan, pada bagian laporan dalam anggaran belanja tahun 1931 (“Afdeelingsverslag van den Volksraad over de suppl.-begrooting 1931”), beberapa anggota dewan menanggapi artikel De Jongh dengan menanyakan apakah pemerintah Hindia menganggap koleksi geologi yang kini di Leiden sebagai milik Hindia Belanda dan pantas berada di Museum Geologi Bandung? Pemerintah menjawabnya dalam Memorie van Antwoord bahwa koleksi Dubois tidak seharusnya dianggap milik Hindia dan kepantasannya menjadi koleksi Museum Geologi Bandung akan dijawab direktur Gouvernementsbedrijven.

Sepuluh bulan kemudian, fakta menyakitkan terjadi. Dalam Soerabaijasch Handelsblad (19 Desember 1931), dilaporkan Dubois telah menyumbangkan model atau patung Pithecanthropos erectus dalam ukuran sebenarnya bagi koleksi fosil Hindia atau koleksi Dubois di Leiden. Patung itu ditempatkan di aula besar museum koleksi Dubois, bagian Laboratorium Boerhave yang terbuka untuk umum.

Nampaknya, berita itu menyulut lagi polemik koleksi fosil Dubois. Karena De Locomotief edisi 24 Maret 1932 kembali menyiarkan laporan bertajuk “De Collectie-Dubois. Blijft toch in Holland. Ofschoon ten onrechte” (Koleksi Dubois. Masih tetap di Belanda. Meskipun keliru). Nampaknya, laporan itu berdasarkan artikel Ir. A.C. de Jongh dalam majalah De Mijningenieur.

Dalam laporan disebutkan B.G. Escher terlibat secara tidak langsung pada beberapa polemik mengenai koleksi Dubois. Misalnya, ia menyatakan akhirnya proses untuk koleksi Dubois yang menghabiskan biaya 32.000 gulden antara 1895-1922, di luar ongkos pemindahannya, sudah selesai.

Koleksi Dubois disebutkan dalam surat bertitimangsa 8 Juni 1896 oleh menteri dalam negeri kepada kurator Rijksmuseum van Geologie en Mineralogie di Leiden, di bawah manajemen Dubois, bahwa setelah prosesnya selesai akan disatukan dengan koleksi Museum Geologi Leiden. Tetapi karena operasinya belum selesai masih tetap dikelola Dubois.

Alhasil, pernyataan itu terkesan dimaksudkan sebagai jawaban atas artikel dalam De Locomotief edisi 12 Januari 1931. Sayangnya, menurut penulis laporan, jawaban Escher itu disampaikan dalam buku sebagai hadiah pesta bagi kalangan ilmuwan dan dosen, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk polemik, meskipun dengan subsidi pemerintah Hindia Belanda.

Adapun jumlah biaya yang disebutkan Escher berasal dari pemerintah Belanda, khususnya menteri tanah jajahan, sebenarnya ada dalam “Hoofdstuk I, d.z. de Uitgaven in Nederland, van de Indische begrooting” (Bab I, yaitu Belanja di Belanda, dari Anggaran Hindia). Oleh karena itu, klaim moral Leiden atas koleksi Dubois secara hukum sebenarnya tidaklah ada. Klaim formal menteri dalam negeri tanggal 8 Juni 1896, yang tidak digunakan di Hindia, jadi nampak mengejutkan karena menteri dalam negeri sekonyong-konyong menentukan barang milik pemerintah Hindia.

Selain itu, meski polemiknya padam setelah pemerintah Hindia sendiri, atas saran Natuurwetenschappelijke Raad van Ned.-Indië, memutuskan koleksi Dubois akan tetap disimpan di Belanda. Fakta itu menyebabkan kekecewaan karena bahkan dewan ilmiah Hindia tetap tidak sensitif.

Padahal seandainya koleksi Dubois disimpan ke Bandung bisa jadi punya kesempatan untuk membandingkan dan menghubungkan antara koleksi lama dan bahan berlimpah yang terkumpul selama beberapa tahun terakhir dari situs yang sama atau situs-situs baru, sekaligus melengkapi dan menjadi alat bantu bagi survei geologi di area Plistosen Tersier Muda, oleh bidang pemetaan Jawa.

Dengan adanya pembanding lama, koleksi fosil baru yang diidentifikasi dan disimpan di Bandung dapat memperoleh manfaat bahwa berbagai lapisan dan situs dapat ditetapkan stratigrafinya secara akurat berdasarkan hasil kerja lapangan geologi yang simultan, yang tentu saja tidak mungkin dilakukan saat Dubois melakukan ekskavasi dan sangat sulit dilakukan setelahnya ketika memproses fosil tersebut di Eropa.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//