SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #2: Usulan Pembangunan Laboratorium dan Museum Geologi Tahun 1926-1927
Departement van Gouvernementsbedrijven (kini Gedung Sate), pernah menjadi kantor Dienst van den Mijnbouw (jawatan pertambangan).
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
25 Juli 2022
BandungBergerak.id - Sejak 1 Juli 1924, Dienst van den Mijnbouw (jawatan pertambangan) mulai berkantor di kompleks Departement van Gouvernementsbedrijven (kini Gedung Sate). Oleh karena itu, koleksi batuan, fosil, dan bahan tambang yang dikumpulkan Opsporingendienst (jawatan penyelidikan geologi), turut pula disimpan dan dipamerkan di gedung itu.
Hal ini diperkuat keterangan sezaman, yang antara lain dilaporkan De Indische Courant (30 April 1924). Di situ dikabarkan Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (perhimpunan para pejabat administrasi dalam negeri), yang dipimpin Residen Batavia J.R. Schenck de Jong, meminta anggotanya agar berpartisipasi untuk mengisi angket mengenai lokasi yang pantas untuk tempat pemindahan departemen-departemen dari Batavia.
Di situ juga mengemuka: bangunan baru Gouvernementsbedrijven, terutama ruangan yang besarnya dapat dibagi-bagi berdasarkan kebutuhan, sehingga semuanya tergunakan. Apalagi sebagian pegawai jawatan kereta api ada yang pindah dari Bandung ke Surabaya. Penataan ruang dan kepindahan pegawai itu memungkinkan untuk mengakomodasi semua pegawai jawatan pertambangan yang berjumlah 300 orang di gedung baru, sekaligus mengakomodasi museum geologi, bagian paling penting, yang ditempatkan di lantai dasar Gouvernementsbedrijven.
Dengan demikian, dapat disimpulkan jawatan pertambangan Hindia Belanda sebelumnya sudah mempunyai museum geologi, sebelum dibangunnya Geologisch Laboratorium (laboratorium geologi) dan Geologisch Museum (museum geologi) di Rembrandtstraat (sekarang Jalan Diponegoro) antara tahun 1928 hingga 1929.
Wacana Pembangunan Museum di Bandung
Sebelum lebih jauh membahas rencana pembangunan Geologisch Laboratorium dan Geologisch Museum, saya akan mengulas wacana pembangunan museum di Bandung, sebelum jawatan pertambangan berencana membangunnya.
Dari pustaka lama, saya mendapatkan keterangan paling tidak sejak tahun 1894 sudah terbetik gagasan pembangunan museum di Bandung. Gagasan tersebut lahir dari para pengurus Vereeniging tot nut van Bandoeng en omstreken. Menurut laporan dalam De Preanger-bode edisi 13 Januari 1898, inisiatif pembangunan museum tersebut seiring pendirian organisasi yang hendak memajukan Bandung itu, pada 1894.
Pada 2 Juli 1894, sejumlah warga Bandung, yang dipimpin residen Priangan, berkumpul untuk membentuk komite demi kepentingan Bandung. Dari pertemuan tersebut seorang insinyur pengairan ditugaskan untuk mengelola penerangan jalan, yang seluruh biayanya ditanggung warga Bandung. Kemudian, warga berkumpul lagi demi membicarakan pembangunan Preangermuseum (museum Priangan), yang nantinya akan diberi nama mendiang K.F. Holle. Sayang, rencana itu tidak terwujud.
Pada tahun 1923, tersiar lagi kabar mengenai rencana pemerintahan Kota Bandung yang hendak mendirikan museum. Dalam tulisan bertajuk “Voor een museum op Java” (untuk sebuah museum di Jawa) yang dimuat dalam De Preanger-bode edisi 24 September 1923 dikatakan bahwa rencana pembangunan museum sudah diperbincangkan dalam koran tersebut, demikian pula oleh pemerintahan Kota Bandung. Konon, rencana tersebut beroleh banyak simpati dari para pembaca dan warga Bandung.
Dengan demikian, pada satu sisi, keberadaan museum geologi atau museum pertambangan di Bandung bisa dikatakan salah satu perwujudan dari kehendak banyak warga Bandung sejak akhir abad ke-19 hingga awal tahun 1920-an. Meskipun wujud nyatanya baru ada sejak pertengahan bulan Mei 1929.
Usul Jawatan Pertambangan
Jawatan pertambangan Hindia Belanda baru mengajukan pembangunan gedung baru untuk Geologisch Museum pada 1926. Dalam berita bertajuk “Een geologisch museum te Bandoeng” (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 1 Oktober 1926) disebut-sebut jawatan pertambangan berniat membangun sebuah museum. Museum tersebut ditujukan untuk memamerkan bebatuan, fosil, mineral, kerangka membatu, dan lain-lain. Biaya pembangunannya sebesar 350 ribu gulden dan pengerjaannya akan dimulai tahun ini (1926). Bangunannya akan meliputi area seluas 5.000 meter persegi.
Tentu saja, niatan itu tidak terwujud tahun 1926. Karena penganggarannya baru direncanakan untuk tahun 1928. Dalam De Sumatra Post edisi 23 April 1927 dikatakan anggaran untuk tahun 1928 (De begrooting 1928) termasuk pembangunan sebuah bangunan untuk laboratorium geologi bagi jawatan pertambangan di Bandung.
Dalam koran De Koerier (8 Agustus 1927), kita mendapatkan keterangan lebih jauh ihwal pembangunan museum geologi itu. Konon, urgensi pembangunannya sudah dikemukakan di depan Volksraad (dewan rakyat) tahun 1922. Selengkapnya disebutkan demi pemeliharaan dan kesempatan memproses saintifik bebatuan dan fosil yang dikumpulkan oleh jawatan penyelidikan geologi, urgensinya sudah dikemukakan dalam sidang Volksraad.
Pada tulisan yang berjudul “Een Mijnbouw-Museum” itu juga dikatakan gedung Gouvernementsbedrijven yang saat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, tidak mencukupi. Oleh karena itu, perlu dibangun laboratorium geologi baru, termasuk museum, yang sederhana, tetapi luas dan berpenerangan baik, dengan biaya sebesar 350 ribu gulden.
Namun, dalam praktiknya, konon pembangunan laboratorium geologi dan museum geologi itu bergantung kepada harga timah (Afhankelijk van de Tinprijzen). Dalam koran disebutkan kerja persiapannya tidak akan dimulai sehingga jelas bagi pemerintah bahwa harga timah dapat dipertahankan selama bulan-bulan mendatang, pada level yang menyebabkan pengeluaran jumlah uang 350 ribu gulden sepenuhnya dapat dijustifikasi.
Kita juga menjadi lebih terang ihwal daruratnya pembangunan museum geologi di Bandung, dalam Bataviaasch Nieuwsblad (8 Juli 1927). Di situ ada laporan berjudul “Een Mijnbouw-museum te Bandoeng?” yang menyatakan bahwa pengangkatan gubernur jenderal yang baru merupakan kesempatan untuk menyampaikan proposal baru kepada pemerintah. Termasuk pembangunan museum pertambangan di Bandung, meski ada pihak yang menolaknya, mengingat biayanya mencapai seperempat juta gulden.
Tetapi dengan akan diselenggarakannya 4e Pacific Science Congres (kongres sains Pasifik keempat) di Bandung pada Mei 1929, tentu saja akan dihadiri para ahli geologi dari luar negeri, sehingga sangat dihasratkan agar Hindia Belanda mempunyai bangunan yang layak di Bandung. Oleh karena itu, perlu dimulai membangun laboratorium dan museum sehingga saat pembukaan kongres sudah lengkap sepenuhnya.
Bila maksud tersebut tercapai, kerja persiapannya dapat dimulai sejak Oktober 1927, dalam bentuk pembelian lahan dan bahan, yang membutuhkan uang seratus ribu gulden dan 250 ribu untuk anggaran tahun 1928.
Memang pembangunan laboratorium dan museum geologi di Bandung dibahas dalam sidang-sidang Volksraad. Menurut laporan Bataviaasch Nieuwsblad (22 Juli 1927), beberapa anggota dewan rakyat menyambut keinginan jawatan pertambangan, sementara banyak anggota lainnya menolak. Karena mengganggap pembangunannya tidak darurat dan bertentangan dengan Indische Comptabiliteitswet.
Di pihak lain, pemerintah Hindia Belanda menanggapinya dengan menyatakan bahwa cepatnya pembangunan museum geologi dan laboratorium geologi merupakan pertanyaan yang vital bagi efektifnya keberlangsungan riset geologi di Hindia Belanda. Karena faktanya, institusi semacam itu belum ada di Hindia sehingga berulang kali dipandang oleh Belanda dan lingkungan profesional asing sebagai kelemahan atau kekurangan pemerintah Hindia Belanda, dan menjadi alasan hilangya atau berpindahnya koleksi batuan dan fosil dari Hindia yang berharga. Pemerintah Hindia juga tidak melihat pertentangannya dengan Indische Comptabiliteitswet.
Baca Juga: SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #1: Jawatan Pertambangan Pindah ke Bandung Tahun 1924
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #1: Mengapa Mengkaji Tuan Tanah Ujungberung dan Sukabumi?
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (1): Mengenal Jalan, Memahami Perkembangan Kota
Penolakan ‘s-Jacob
Pada sidang tanggal 26 Juli 1927, dipimpin Mr. A. Neytzell de Wilde, anggota Volksraad ‘s-Jacob mengkritisi pembangunan museum geologi di Bandung sekaligus mengkritisi pemerintah yang mendukung proposal dari jawatan pertambangan (Bataviaasch Nieuwsblad dan De Sumatra Post, 26 Juli 1927).
Pada sidang 27 Juli 1927 bahkan agendanya membahas rencana pembangunan museum geologi. ‘S-Jacob yang merupakan anggota dewan perwakilan dari PEB menyampaikan keberatannya, dengan amandemen. Menurutnya, anggarannya cukup 200 ribu gulden saja, agar yang dibangunnya berupa gedung sederhana. Amandemen ‘s Jacob juga ditandatangani oleh Ligthart dan Hoep.
Perwakilan dari Gouvernementsbedrijven De Jongh mempertahankan proposal. Ia antara lain menekankan bahwa hasil pemetaan Sumatra membutuhkan ruang lebih besar untuk menyimpannya. Lusinan ahli geologi, agrogeologi, para insinyur Opsporingdienst akan mengerjakannya. Kegiatannya terdiri atas pemilahan, proses, dan deskripsi temuan, kemudian penyimpanan, dan pemeriksaan mikroskopik yang memerlukan proses sangat saksama.
Lebih lanjut, De Jongh menyatakan pemetaan Sumatra tidak mungkin dilakukan bila tidak di ruangan yang pantas. Di gedung Gouvernementsbedrijven tersedia 1.400 meter persegi, di bangunan lain 1.300 meter persegi, dan di tempat lainnya 3.500 meter persegi, yang sebenarnya sangat kurang. Kemudian hasil-hasil Opsporingdienst memerlukan tindakan penyelamatan; ruangan dan gudang untuk pegawai sipil dan pihak swasta pun harus cukup.
De Jongh mengatakan pemetaan Sumatra baru akan selesai selama sepuluh tahun. Oleh karena itu, akan sangat disesalkan seandainya Volksraad tidak mengabulkan proposal anggaran yang diajukan. Demikian juga pemenuhan tanggung jawab bagi pemeliharan koleksi berharga tidak boleh ditunda-tunda.
Namun, ‘s-Jacob tetap bersikukuh. Ia berdalih, kerja geologi besar yang dilakukan Fennema saat memetakan Pulau Jawa dan Madura hanya mengandalkan perkakas sederhana, sehingga seharusnya pemetaan Sumatra haruslah lebih mudah. Bahkan dia menurunkan lagi jumlah anggarannya menjadi 150 ribu gulden. Katanya, jumlah sebanyak itu cukup.
De Jongh sekali lagi membantah bahwa bangunan yang digunakan saat ini terlalu kecil, terutama dalam kerangka pemetaan Pulau Sumatra. Karena pemetaan tersebut tuntutannya jauh lebih tinggi dibandingkan ketika memetakan Pulau Jawa dan Madura. Ditambah pengerjaan peta Sumatra pun mempertimbangkan pertanian. Demikian pula koleksi batuan hasil pengumpulan Fennema belum mendapatkan ruangan yang cukup untuk menyimpannya (De Locomotief, 29 Juli 1927).