• Kolom
  • SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #10: Temuan-Temuan G.H.R. Von Koenigswald

SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #10: Temuan-Temuan G.H.R. Von Koenigswald

Di Bandung terdapat tinggalan yang tua usianya, yaitu dari zaman Neolitik, berupa kapak batu atau gigi gledek. Di sekitar Dago temuan ini berupa serpih batu hitam.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

G.H.R. von Koenigswald sedang memeriksa fosil tengkorak manusia purba dari Jawa, sekitar 1938. (Sumber: Tropenmuseum/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen)

19 September 2022


BandungBergerak.idSelain Eugene Dubois, ahli paleontologi yang memperkenalkan fosil manusia purba dari Pulau Jawa ke dunia adalah G.H.R. Von Koenigswald (1902-1982). Istimewanya, berbeda dari Dubois, Koenigswald bekerja untuk jawatan penyelidikan geologi (Opsporingsdienst) di Bandung sejak 1930. Bahkan bagi perkembangan pengetahuan kebumian Bandung sendiri, ia memberikan kontribusinya yang berarti.

Terlahir di Berlin, Jerman, 13 November 1902, Koenigswald yang berayahkan etnologis G.A. von Koenigswald mempelajari ilmu geologi dan paleontologi di Berlin, Tubingen, Cologne dan Munich. Ia lulus pada 1928 dengan tesis berjudul Das Rotliegende der Weidener Bucht. Lalu, dia diangkat menjadi asisten dosen pada Bayerische Staatssammlung fur Geologie antara 1927-1930 (P.V. Tobias, “The Life and Times of Ralph van Koenigswald: Palaeontologist Extraordinary”, 1976 dan “The Life and Work of Professor Dr. G.H.R. von Koenigswald”, 1984).

Perkenalannya dengan jawatan geologi Hindia Belanda terjadi melalui dosennya, Broili. Hal ini diungkap oleh Koenigswald di dalam Meeting Prehistoric Man (1956).

Katanya, “Saya menyelesaikan kuliah di Munich pada musim semi 1927 dan setelahnya menjadi asisten di museum. Pada musim gugur 1930 dosen senior saya, Profesor Broili, menerima surat permintaan dari Belanda: Bisakah salah seorang mahasiswanya pergi ke Jawa sebagai ahli paleontologi bagi bagian survei geologi dari Jawatan Geologi Hindia Belanda? Profesor Broili bertanya pada saya. Saya pun terlonjak kegirangan saat itu. Oleh karena itu, Januari 1931 saya mendarat di Tanjung Priuk, Pelabuhan Jakarta”.

Koenigswald tercatat bekerja di jawatan pertambangan sejak 31 Oktober 1930. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad edisi 15 Januari 1931 dikatakan Koenigswald dipekerjakan sementara (tijdelijke belast) dalam posisinya sebagai seorang ahli paleontologi (de betrekking van paleontoloog) atas keputusan gubernur jenderal sejak 30 Oktober 1930.

Setiba di Bandung, dia segera mempelajari fosil-fosil yang berhasil dikumpulkan Opsporingsdienst. Saat itu ia memusatkan perhatiannya pada mamalia (terutama fauna Trinil). Dengan demikian, hingga Agustus 1931, ia belum turun ke lapangan untuk turut menggali dan menemukan fosil manusia purba.

Justru fosil hominid ditemukan C. Ter Haar yang menemukan kembali situs Ngandong. Dari situs itu, fosil tengkorak manusia ditemukan pada 15 September 1931. Tiga fosil tengkorak yang ditemukan dari situ dianggap spesies baru, Homo (Javanthropus) soloensis atau kini Homo sapiens soloensis. Koenigswald saat itu hanya membuat potret-potret fosil itu untuk keperluan publikasi.

Situs Sangiran yang dipotret antara tahun 1925-1955. (Sumber: KITLV 122967)
Situs Sangiran yang dipotret antara tahun 1925-1955. (Sumber: KITLV 122967)

Turun ke Lapangan

Minat Koenigswald yang tertuju kepada manusia purba digairahkan dengan temuan perkakas neolitik, terutama dari batu obsidian di Bandung dan kapak tangan dari Pacitan. Termasuk penggunaan fosil untuk pengobatan seperti yang nampak dari publikasi awalnya setelah bekerja di Bandung: Fossielen uit Chinecsche apotheken in West-Java (1931).

Pada makalah dalam Pharmac. Tijdschrift itu, Koenigswald membahas fosil dan mineral sebagai obat (“Fossiel en Mineraal als Geneesmiddel”) dengan rujukan pada praktik yang dilakukan oleh orang Tionghoa di Hindia. Ia antara lain menyatakan dalam farmasi Tionghoa, di samping unsur-unsur dari tanaman, kandungan dari binatang dan mineral pun memainkan peran besar.

Mengenai obat dari tanaman sudah ada yang mempelajarinya, sementara dari hewan dan mineral masih sangat jarang. Bahan-bahan kajian Koenigswald didapatkan dari Medan, Singapura, Batavia, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Tegal, Purwokerto, Yogyakarta, Malang, Blitar dan Surabaya (De Locomotief, 6 Februari 1932).

Koenigswald baru turut mengeksvasi situs pada Juni 1932. Saat itu dia diajak Ter Haar ke Ngandong untuk turut mengekskavasi, sekaligus sebagai pengalaman pertamanya ikut membantu menggali fosil manusia secara langsung. Pengalaman tersebut membuatnya sangat terkesan (Tobias, 1976, 1984).

Pada gilirannya, November 1932 Koenigswald berhasil membawa 11 potongan tengkorak ke Bandung. Setelah mempelajari fosil-fosil yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama dari Sangiran, Koenigswald berkeyakinan fosil mamalia di Pulau Jawa sebagian termasuk kepada Pleistosen Bawah, sebagian ke Pleistosen Tengah.

Bulan Mei 1934, setelah terjadinya gempa besar di dekat Radium Hotel milik A. Hacks Sr, dari Kawah Kamojang sekonyong-konyong muncul belulang badak. Mula-mula belulang tersebut dianggap sebagai fosil purba karena ukuran belulangnya sangat besar. Namun, setelah Koenigswald, yang bekerja di Paleontologisch Laboratorium, memeriksanya ia berkesimpulan bahwa itu memang belulang badak, bukan fosil hewan purba (De Koerier, 23 Mei 1934).

Dua bulan kemudian, Koenigswald dihubungi W. Bongers dari Bandoengsche Kunstkring untuk membantu menyelenggarakan pameran etnografi di Bandung. Konon, yang menjadi dasar pameran tersebut adalah bahwa di Bandung banyak yang mengumpulkan benda-benda etnografi dari kepulauan Nusantara, terlepas dari nilai budaya dan keindahannya. Sehingga terpikir oleh dewan Bandoengsche Kunstkring untuk menghadirkan semuanya dan memberikan tinjauan umum tentang apa yang ada di Bandung (De Koerier, 27 Juli 1934).

Secara mengejutkan pada 31 Desember 1934, Koenigswald berhenti menjadi ahli paleontologi di Opsporingsdienst, yang berada di bawah Dienst van den Mijnbouw atau jawatan pertambangan itu (Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 14 Januari 1935). Barangkali itu disebabkan karena statusnya memang sebagai pegawai tidak tetap (“tijdelijk waarnemend paleontoloog”).

Temuan Zaman Neolotik dan Zaman Batu

Apa yang dilakukan G.H.R. von Koenigswald setelah tidak lagi bekerja di jawatan pertambangan? Ternyata ia tetap tinggal di Bandung dan masih menyibukkan diri dengan penelitian paleontologi.

Buktinya, ia hadir pada kongres kedua ahli prasejarah di Timur Jauh yang diselenggarkan di Manila, Filipina, awal Maret 1935. Dalam kongres tersebut, Koenigswald menyampaikan ceramah ilmiah bertajuk “De geologische ouderdom van Pithecanthropus” (keantikan geologis fosil Pithecanthropus). Saat itu dia dikatakan paleontolog bekas pegawai Opsporingsdienst van het Mijnwezen te Bandoeng, dan mewakili Bureau voor Anthropologie van Nederlandsch Indie (Soerabaijasch Handelsblad, 6 Maret 1935).

Selanjutnya, ihwal perhatiannya pada peninggalan purba di Bandung antara lain mengemuka dalam De Locomotief (27 Desember 1935), yang merupakan edisi khusus tentang Bandung. Judul tulisannya “Interessante Vondsten nabij Bandoeng. Miniatuur-gereedschappen van obsidiaan of vulkanisch glas” (Temuan-temuan penting dari Bandung. Perkakas mini dari obsidian atau kaca vulkanik).

Dalam tulisannya, ia antara lain menyebutkan peninggalan-peninggalan zaman Hindu di Jawa Barat tidak banyak. Beberapa temuan periode itu yang ditemukan di Bandung tidak dapat dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, yang menarik, di Bandung terdapat tinggalan yang tua usianya, yaitu dari zaman Neolitik, berupa kapak batu. Bentuknya berupa pacul. Bagi orang sekitar Bandung, temuan tersebut lebih dikenal sebagai “gigi gledek”.

Dia kemudian mencontohkan, barangsiapa yang berjalan kaki di sekitar Dago dan cermat akan menemukan serpih kaca hitam yang tidak aneh di sekitar Bandung. Kaca itu bukan sembarang kaca, melainkan kaca vulkanik, yang disebut obsidian. Serpih-serpihnya bila dicermati membentuk mata panah, pisau, gurdi, pengikis. Namun, dalam bentuk bongkahnya hanya ada di Nagreg dan dekat Garut.

Menurut Koenigswald, situs perkakas obsidian dapat ditemukan di mana-mana di tempat yang tidak mengandung tufa muda Tangkuban Parahu atau gunung api lainnya. Obsidian juga tidak akan ditemukan di tempat yang lebih rendah daripada ketinggian 725 meter. Karena dari sisi geologi diketahui, aliran lava di Padalarang, yang membendung Citarum dan menyebabkan adanya danau pembentuk Dataran Bandung, juga berada pada ketinggian 725 meter. Karena bobol Citarum, danau itu menyusut.

Oleh karena itu, menurut Koeningswald, saat danau itu ada manusia membuat perkakas dari obsidian. Sementara hasil proses batu yang besar jumlahnya dan ditemukan di mana-mana kemungkinan diangkut dengan menggunakan perahu, karena Nagreg sebagai tempat asalnya berada di dekat pesisir timur danau itu.

Dari periode yang sama ditemukan juga benteng prasejarah yang besar di sayap timur Gunung Malabar terutama di Cihauk dan Arjasari. Tempat terakhir mempunyai sistem benteng yang sangat rumit dan perkakas obsidian serta kapak batu pun ditemuan di sana. Di sisi lain, di belakang Malabar ada Gunung Wayang yang terkenal dengan arca dan kuburan tuanya. Satu kapak batu ditemukan dari kuburan itu, sehingga kata Koenigswald kemungkinan arca-arca di situ berasal dari Zaman Batu.

Menurut Koenigswald, area sekitar Bandung nampaknya menjadi daya tarik tersendiri di zaman Neolotik. Danau besar menyediakan makanan bagi nelayan dan pemburu, sementara obsidian merupakan perkakas idealnya. Karena dua sebab itulah di sekitar Bandung banyak ditemukan tinggalannya. Sedikitnya tinggalan dari Zaman Perunggu dan Hindu di Bandung, barangkali ketika danaunya sudah surut dan keadaan penghidupan di sekitarnya jadi susah diakses sehingga jadi kurang disukai orang-orang di masa itu.

Bahasan yang sama disampaikan Koenigswald untuk programa Bandoengsche Volksuniversiteit semester Januari-Juni 1936. Bahan ceramahnya berjudul “De praehistorie der Bandoengsche hoogvlakte” (Prasejarah Dataran Tinggi Bandung), yang berisi tinjauan singkat Zaman Batu di Jawa, situs-situs di Bandung dan danau purba, benteng Arjasari, dan lain-lain. Ceramah itu disampaikan Koenigswald pada 11 Juni 1936 di aula Loji St. Jan (De Koerier, 7 dan 14 Januari 1936).

Baca Juga: SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #7: Rombongan Susuhunan Solo Tanggal 30 Juni 1930
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #8: Koleksi Dubois Seharusnya Disimpan di Bandung
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #9: Jadwal Buka untuk Umum antara 1932-1941

Perkakas dari batu obsidian yang ditemukan di daerah Dago, Kota Bandung. (Sumber: De Locomotief, 27 Desember 1935)
Perkakas dari batu obsidian yang ditemukan di daerah Dago, Kota Bandung. (Sumber: De Locomotief, 27 Desember 1935)

Fosil-Fosil dari Sangiran

Awal 1936, Andojo menemukan fosil tengkorak anak di Desa Sumber Tengah, Perning, Mojokerto. Dalam De Avondpost (28 Maret 1936) dikatakan surveyor tambang menemukan fosil tengkorak anak di Mojokerto dan dianggap Pithecanthropus erectus. Atas temuan itu, Koenigswald berangkat dari Bandung ke Batavia untuk memeriksa temuan tersebut secara saksama sekaligus berkolaborasi dengan Prof. Mysberg.

Fosil anak tersebut ternyata dibawa ke Bandung, karena pada 23 April 1936, Van Stein Callenfels melihat tengkorak anak pithecanthropus tersebut di Museum Geologi (“Dr. Van Stein Callenfels heeft Donderdag 23 dezer op het Geologisch Museum te Bandoeng ook de nieuwe pithecantropus-kind-schedel gezien en verklaarde”) dan menyatakan setelah penyelidikan singkat, ia sepenuhnya bersepakat dengan pendapat Koenigswald (De Locomotief, 27 April 1936).

Koenigswald mengumumkan hasil penemuannya dalam “Erste Mitteilung uber einen fossilen Hominiden aus dem Altplesitocan Ostjavas” (1936). Menurutnya, fosil itu termasuk Pithecanthropus baru, yang disebutnya Pithecanthropus modjokertensis. Temuan ini juga dipresentasikannya di hadapan Koninlijke Instituut van Ingenieurs cabang Bandung pada 18 Agustus 1936 (Het nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 17 dan 19 Agustus 1936).

Pada akhir Oktober 1936 tersiar kabar, G.H.R. von Koenigwald, yang tinggal di Bandung, akan melakukan perjalanan ke Eropa dalam kerangka penelitian fosil mamalia Jawa berikut signifikansi paleontologis serta stratigrafisnya. Ia akan melakukan kaji banding ke museum-museum di Leiden, Paris, London, dan Berlin, dan paralelisasi endapan Pliosen dan Pleistosen Jawa dengan Hindia Inggris dan Tiongkok. Ia berangkat menggunakan Kapal Baloeran pada 18 November 1936 (Bataviaasch Nieuwsblad, 31 Oktober 1936 dan De Locomotief, 2 November 1936).

Sejak Juni 1937, sepulang dari Eropa, Koenigswald diangkat lagi menjadi pegawai jawatan pertambangan persisnya sebagai ahli geologi. Saat itu, disebutkan dia seorang partikulir alias seorang swasta yang tinggal di Bandung (“particulier te Bandoeng”) (De Koerier, 26 Juni 1937).

Namun, sebelumnya, April 1937, Koenigswald diundang sebagai pembicara dalam International Symposium on Early Man di Academy of Natural Sciences, Philadelphia, Amerika Serikat. Dari simposium tersebut, The Carnegie Instituion mengangkat Koenigswald sebagai peneliti ahli dan memberinya biaya untuk melakukan ekskavasi Sangiran dalam skala besar pada 1937.

Sejak di Amerika, Koenigswald memerintahkan Atmo untuk melakukan penggalian di Sangiran. Sekembali dari Amerika, Koenigswald mendapatkan fosil Sangiran B (Sangiran 1) dari Atmo. Kemudian sebagai bagian dari Joint American Southeast Asiatic Expedition for Early Man yang melibatkan Koenigswald, Maret-April 1938 diselenggarakan ekspedisi ke Jawa.

Di sela-sela itu, M.U. Thierfelder bekerjasama dengan Koenigswald membuat patung dada Pithecanthropus erectus yang disimpan di Museum Geologi Bandung (Algemeen Handelsblad, 24 Maret 1938). Koenigswald juga terlibat dalam upaya merestorasi fosil kura-kura yang besar dari Bumiayu, di kaki Gunung Slamet. Kura-kura itu panjangnya 2,5 meter dan lebarnya 1,5 meter. Dalam keadaan hidup diperkirakan bobotnya 400 kilogram (Het nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 16 Juni 1938).

Pada akhir 1938 sebelum Koenigswald berangkat ke Peking, Rusman mengirimnya fosil rahang atas. Fosil itu dibawanya ke Peking untuk dianalisis bersama Chu dan Weidenreich, sebagai bahan perbandingan antara Pithecanthropus erectus dan Sinanthropus pekinensis. Menurut mereka, secara morfologi-anatomi, keduanya sangat mirip. Oleh karena itu, Weidenreich (1940) mengusulkan satu nama saja untuk Pithecanthropus erectus dan Sinanthropus pekinensis, yaitu Homo erectus, dan fosil Trinil (Tr-2) dijadikan holotipenya.

Saat di Peking, Koenigswald menerima lagi kiriman potongan fosil manusia purba pada awal 1939. Temuan itu dinamakannya Pithecanthropus IV (Sangiran 4). Pada 1940, Koenigswald mempublikasikan temuan fosil dari Sangiran selama 1936-1938, yaitu Neue Pithecanthropus-Funde 1936-1938: Ein Beitrag zur Kenntnis der Praehominiden. Di dalamnya, ia menyatakan hasil penemuannya berupa Pithecanthropus dan Meganthropus. Antara 1939-1941, setelah kembali dari Peking, ia mendapatkan fosil Sangiran 5, 6, dan 7.

Menurut Teuku Jacob (“Paleontological Discoveries in Indonesia with Special Reference to the Finds of the Last Two Decades”, 1973), satu dasawarsa (1931-1941) penemuan fosil di Sangiran oleh Koenigswald disebut sebagai periode kedua penelitian paleoantropologi di Indonesia. Periode pertamanya masa kerja Dubois di Indonesia (1890-1900). Sekarang, temuan-temuan Koenigswald, menurut Tobias (1984), tersimpan di Senckenberg Museum, Frankfurt am Main, Jerman. Kecuali fosil tengkorak Ngandong dan fosil anak dari Mojokerto yang dikembalikan lagi ke Indonesia dan berada di Laboratorium Bio-Paleoanthropologi, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//