SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #11: Putra Mahkota Belgia dan Mineral Astridit
Museum Geologi Bandung dikunjungi calon ratu Belgia, Astrid. Satu koleksi batu mulia dinamai astridiet, batu hijau tua yang hanya ditemukan di Papua.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
24 September 2022
BandungBergerak.id - “Toemali kana dipetekna lajon Koningin Astrid, powe kamari di kota Bandoeng, babakoena di kantoor-kantoor Goepernemen, dipasang bandera satengah tihang, tanda ngiring sedih ka noe ngantoen djeung ka anoe dikantoenkeun” (Berkaitan dengan dimakamkannya Ratu Astrid, kemarin di Kota Bandung, terutama di kantor-kantor pemerintahan, dipasang bendera setengah tiang, sebagai tanda berbela sungkawa kepada almarhumah dan orang yang ditinggalkannya).
Kutipan di atas berasal dari koran Sipatahoenan edisi 4 September 1935 dan berisi reaksi atas dikebumikannya Astrid van België (1905-1935) pada 3 September 1935. Tanggapannya berupa pengibaran bendera setengah tiang oleh penduduk Kota Bandung, terutama yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Di kota-kota lain pun melakukan hal yang sama untuk menghormati ratu Belgia itu. Bahkan, gubernur jenderal Hindia Belanda mengirimkan telegram duka kepada raja Belgia.
Ratu Astrid meninggal karena kecelakaan. Sipatahoenan mengabarkannya pada edisi 30 Agustus 1935, dengan menyatakan, “Ti Zurich United Press mere bedja ka Vereenigd Persbureau jen Koningin Astrid ti Belgie powe ieu dina mobil deukeut Luzern geus katjilakaan. Radja anoe njepeng stuur koe andjeun tatoe dina mastakana. Koningin poepoes sapada harita” (Dari Zurich, United Press mengabarkan kepada Vereenigd Persbureau bahwa Ratu Astrid dari Belgia hari ini mengalami kecelakaan mobil di dekat Luzern. Raja Belgia yang memegang stir mendapatkan luka-luka di kepalanya. Ratu langsung meninggal di tempat).
Koran lain yang mengarkan kematiannya adalah Pemandangan edisi 30 Agustus 1935. Di situ tertulis, “Brussel, 29 Aug. (Aneta-Reuter); Menoeroet keterangan officieel, tentang ketjelakan itoe, maka auto jang dikemoedikan oleh Radja Leopold berdjalan dengan ketjepatan 30-40 mijl sedjam, waktoe auto itoe melanggar toempoekan batoe ketjil di pinggir djalan. Lantaran ini, maka auto melanggar lain toempoekan lagi, dan baroe menerdjang pohon. Ratoe Astrid terbanting pada pohon dan meninggal koetika itoe djoega. Boleh dikata, bahwa Ratoe sama sekali tidak merasakan sakit lagi. Radja mendapat loeka enteng, dimana moeloet dan dimana tangan kiri”.
Kematian Ratu Astrid menyebabkan orang Belgia, terutama Brussel, sangat kehilangan. Karena sosoknya dikatakan berbudi luhur dan penuh kasih sayang. Rasa kehilangan tersebut dilaporkan Sipatahoenan pada edisi 2 September 1935. Sementara pada edisi 6 September 1935, Sipatahoenan meneruskan lagi kabar pemakaman Ratu Astrid. Intinya, malam Rabu kemarin melalui perantaraan Phobi, kabar keadaan Belgia saat pemakaman jenazah Ratu Astrid sudah tersebar. Di Hindia Belanda, berita itu disebarkan lagi oleh Nirom dan Bataviasche Radio Vereeniging.
Berkunjung ke Bandung
Orang Bandung saat itu tentu turut bersedih hati, karena baik Ratu Astrid maupun suaminya, Raja Leopold III, sempat berkunjung beberapa kali ke Hindia Belanda, termasuk Bandung, yaitu ketika Leopold masih berstatus sebagai putra mahkota Kerajaan Belgia.
Saya membaca tentang penobatan Leopold sebagai raja Belgia dalam koran Pemandangan edisi 24 Februari 1934. Di situ antara lain ditulis, “Brussel, 24 Febr. (Aneta-Reuter). Sebagai gantinja kesedihan atas pengoeboerannja Radja Albert jang dilakoekan kemaren, maka ini pagi di Brussel orang bersoeka ria poela atas keangkatannja Radja baroe Leopold III”.
Empat tahun sebelumnya, untuk pertama kalinya Astrid dan Leopold mengunjungi Hindia Belanda pada 1928. Mereka menggunakan kapal laut Insulinde. Antara lain pasangan itu berkunjung ke Museum Radya Pustaka, Societeit Hadiprojo, Surabaya, dan Bali. Setelah lima bulan di tanah jajahan Belanda, mereka kembali ke Belgia dengan menggunakan kapal laut Tjiremai.
Sejak pertengahan Januari 1932, Leopold dan Astrid mengadakan perjalanan lagi, yakni ke Asia dan Afrika. Perjalanan itu banyak dilaporkan koran-koran berbahasa Belanda. Di antaranya yang paling awal melaporkannya adalah Deli Courant edisi 16 Januari 1932. Di situ dikatakan Leopold dan Astrid bertolak dari Genoa, Italia, pada 15 Januari 1932 dengan menggunakan kapal laut Marnix van St. Aldegonde, dengan tujuan Singapura.
Awal April mereka tiba di Makassar. Setelah diterima gubernur di sana, pasangan bangsawan Belgia itu mendaki Piek van Bonthain. Setelah dari Makassar, direncanakan Leopold dan Astrid akan menuju Bali, selama empat hari, disambung ke Surabaya pada 28 April 1932 (Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant, 21 April 1932).
Menurut Bataviaasch Nieuwsblad (23 Mei 1932), selama di Jawa Timur, pasangan putra mahkota Kerajaan Belgia itu berkendaraan mobil. Mereka dikawani commissaris Nieuwenhuis. Setelah dari Jawa Timur mereka menuju Yogyakarta dan dari Yogyakarta menuju Bandung. Pada 22 Mei, Leopold dan Astrid tiba di Batavia. Dari Bandung, mereka berkunjung ke Bogor dan menjadi tamu kehormatan gubernur jenderal Hindia di istananya. Setelah dari Bogor barulah menuju Batavia.
Dalam laporan lain (De Courant het Nieuws van den Dag , 24 Mei 1932), dikatakan tanggal 18 Mei, Lepold bersatu kembali dengan Astrid di Bandung. Setelah berkunjung ke Bandung, mereka menjadi tamu gubernur jenderal Hindia Belanda di Bogor, lalu ke Batavia. Sedangkan kepulangannya mulai dijadwalkan pada 25 Mei, dengan menumpang kapal Baloeran dari Tanjung Priok. Perjalanan terarah ke Singapura, dijadwalkan tiba pada 27 Mei. Lalu ke Belawan (Deli) pada 28 Mei, Sabang 29 Mei, Port Said 10 Juni, dan tiba di Marseille pada 14 Juni 1932.
Dengan demikian, dapat diketahui pasangan Pangeran Leopold dan Putri Astrid berkunjung ke Bandung antara 18-21 Mei 1932. Karena pada 22 Mei 1932 disebutkan keduanya sudah tiba di Batavia.
Baca Juga: SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #8: Koleksi Dubois Seharusnya Disimpan di Bandung
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #9: Jadwal Buka untuk Umum antara 1932-1941
SEJARAH MUSEUM GEOLOGI 1929-1945 #10: Temuan-Temuan G.H.R. Von Koenigswald
Diabadikan Menjadi Astridit
Selama di Bandung, Leopold dan Astrid mengunjungi Museum Geologi pada 21 Mei 1932. Kunjungan itu merupakan peristiwa luar biasa, karena akhirnya satu koleksi batu mulia dalam koleksi Museum Geologi dinamai oleh nama calon ratu Belgia, yaitu astridiet, astridite, atau astridit.
Peristiwa penamaannya diterangkan oleh Ir. H.W.V. Willems dalam artikel “Astridiet, een Chroomrijk Gesteente van Nieuw-Guinea” yang dimuat dalam De Ingenieur in Nederlandsch-Indië, 1, 120 (Juli 1934). Dalam tulisannya, ia menggambarkan penemuan batuan kaya kromium dari Nieuw Guinea (Papua), yang berwarna hijau gelap dan berkilauan sesudah diasah. Nama astridit disodorkan kepada Putri Astrid, yang menunjukkan minat besar pada batu tersebut saat berkunjung ke Bandung (De Ingenieur, jrg 49, 1934, no 36, 7 September 1934).
Sebelumnya dikatakan, saat Astrid mengunjungi Museum Geologi Bandung, ia terpukau dengan batuan dari Papua itu. Batu itu disebut-sebut semi batu mulia, sebagai batu hiasan, yang mirip jadeite yang tidak ada di Kepulauan Nusantara. Konon, batu itu mulanya ditemukan Dr. ir. J. K. van Gelder sekitar 100 meter dari dermaga Manokwari sekitar 1910. Tapi asalnya tidak diketahui. Barangkali terbawa penduduk asli saat membuat kapak batu dan diperkirakan berasal dari Teluk Humboldt (Pegunungan Cyclops). Sementara di balik penamaan astridit adalah karena sebelumnya Astrid dan Leopold sempat berkunjung ke Papua, dan ketika berkunjung ke Bandung pada 21 Mei 1932, menunjukkan perhatian besar pada batu itu (Bataviaasch Nieuwsblad, 24 Agustus 1934)
Dalam tulisan “Het Geologisch Museum van den Opsporingsdienst” (Mooi Bandoeng, Jrg 2, No. 12, Juni 1935, dikatakan astridit adalah batu hiasan berwarna hijau pejal dari Papua dan disimpan di aula mineral dan batuan Museum Geologi Bandung. Sementara dalam tulisan Dr. Ir. W. H. Hetzel (“Wandeling Door Het Verleden”, dalam De Locomotief, 27 Desember 1935), disebutkan nama astridit sebelumnya diajukan terlebih dulu kepada Putri Astrid dan calon ratu tersebut memberikan izinnya. Sehingga akhirnya nama astridit digunakan.
Demikian pula yang disampaikan penulis M dalam Sipatahoenan edisi 12 Oktober 1935. Melalui tulisannya yang bertajuk “Njaba ka Geologisch Museum di Bandoeng” (Berkunjung ke Museum Geologi di Bandung), ia menyatakan kunjungan Astrid dan Leopold ke Museum Geologi pada 21 Mei 1932 dan menyentil nama astridit. Katanya, pada ruangan mineral dan batuan, dalam lemari kaca, ada batu yang disebut astridit. Batu tersebut warnanya hijau tua, terang, bagus, urat-uratnya nampak berakar ke sana-ke mari).
Penulis M mengulangi deskripsi temuan Gelder. Katanya, “Dina emplacement djaoehna 100 meter ti stijger Manoekwari, toean dr. Ir. J.K. van Gelder dina taoen 1910 geus manggih sagoeroentoel batoe, anoe roepana hedjo kolot, toer katjida aloesna” (Pada ruang terbuka yang jauhnya 100 meter dari dermaga Manokwari, Dr. Ir. J.K. van Gelder pada 1910 menemukan sebongkah kecil batu, warnanya hijau tua, sangat bagus).
Konon, bila batu itu diasah sangat halus akan terlihat berkilauan berwarna hijau tua yang sangat bagus, sementara urat-uratnya memperlihatkan warna hijau muda hampir dekat ke putih (“Eta batoe diasah sing lemes bisa herang [ngagoerilap] ngabogaan roepa hedjo kolot anoe katjida aloesna, oerat-oeratna hedjo ngora ampir bodas”). Dengan tampilannya yang halus terasah dan terlihat sangat indah itulah, menurut M, batu tersebut dinamai astridit (“Eta batoe diasah sing lemes biersteen [halfedelgesteente], koe sabab kitoe nja dingaranan astridiet”). Menjelang akhir tulisannya, M mengajak pembaca yang penasaran terhadap astridit untuk berkunjung ke Museum Geologi di Rembrandtstraat, Bandung.