• Kolom
  • SALAMATAKAKI #3: Petrikor, Napas Hujan

SALAMATAKAKI #3: Petrikor, Napas Hujan

Studio Wangirupa di Setrasari Kulon, Bandung, menggelar kegiatan seni dengan kehangatan keluarga. Mereka terbuka untuk berkolaborasi dengan jenis kesenian apa pun.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Pameran lukisan Napas Hujan di Wangirupa Studio, Setrasari Kulon, Bandung, 24 September sampai 7 Oktober 2022. Napas Hujan adalah pameran tunggal ke-3 Sandy Tisa Pratama. (Foto: Sundea/penulis)

4 Oktober 2022


BandungBergerak.idMenjelang sesi artist talk pameran lukisan Napas Hujan (02/10/2022) di studio Wangirupa, hujan sungguhan mendadak jatuh berderai. Aku menghirup petrikor—wangi hujan—yang menyusup dibawa angin, masuk ke ruang pameran.

Mungkin hujan ingin tahu seperti apa Sandy Tisa Pratama melukiskan napasnya. Ketika mendapati nuansa merah darah di hampir setiap karya Sandy, aku mulai menginterpretasi dengan sok tahu. Jangan-jangan warna merah darah ini berhubungan dengan “ichor” di kata “petcihor”. Ichor, kan, artinya aliran di pembuluh para dewa Yunani. Maka, begitu ada kesempatan, aku langsung menanyakannya kepada Sandy.

Ternyata bukan, teman-teman. Sandy menoreh warna merah agar lukisannya terlihat lebih segar. “Kalau nggak, jadi flat,” ujar Sandy. Seperti menambahkan lipstik di wajah pucat, demikanlah cara Sandy menambahkan aksen pada warna hujan yang dalam catatan sang kurator, Kang Nandanggawe, dipaparkan “sedikit biru, sedikit abu, warna langit dan tanah memudar dalam sepia”.

Napas Hujan adalah pameran tunggal ke-3 Sandy Tisa Pratama yang berlangsung di Wangirupa Studio, 24 September sampai 7 Oktober 2022. Sandy menampilkan 18 karya baru yang dibuat dalam rentang satu tahun terakhir. Di pamerannya kali ini, untuk pertama kalinya Sandy bermain-main dengan gaya abstrak.

Mencoba membuat lukisan abstrak adalah bagian dari proses eksplorasi berkarya Sandy. “Buat saya pameran ini penting karena jadi titik awal, walaupun nggak tahu bakal ke mana nantinya,” ungkap Sandy. Melalui melukis abstrak, Sandy mendapatkan berbagai penemuan artistik yang ia yakini akan berguna untuk proses berkaryanya ke depan. Selama setahun, Sandy dibimbing dengan sabar dan telaten oleh Kang Nandanggawe.

Selain menggali Sandy secara personal, Kang Nandanggawe pun memberikan tantangan-tantangan. Misalnya, Sandy diminta menarik seutas garis tak terputus di setiap karyanya sebagai simbol eksistensi dirinya. Sandy selalu mengawali karyanya dengan sketsa. Namun, garis eksistensi tersebut tak boleh disertakan dalam sketsa. Sandy harus menorehkannya dengan berani, spontan, sekali jalan, dan menerima seperti apa pun hasilnya di kanvas. Cara ini memaksa Sandy keluar dari zona nyamannya dan menemukan jalan-jalan baru seperti judul salah satu karyanya: “Pathfinding”, karya favoritku.

Bersisian dengan “Pathfinding”, terpampang karya besar bertajuk “Untitled”. Berbanding terbalik dengan “Pathfinding” yang menampilkan garis-garis tegas dan pusat perhatian yang jelas, “Untitled” lapang dan nyaris kosong. Garis yang menjadi lambang eksistensi Sandy pun tidak tertoreh di sana. Interpretasi sok tahuku kembali timbul. Jangan-jangan kedua lukisan ini sengaja didekatkan sebagai lambang keseimbangan. “Pathfinding” menyatakan eksistensi Sandy dengan terang benderang, sementara pada “Untitled” Sandy meluruhkan diri dan memberikan lebih banyak ruang untuk pemirsa. Maka, begitu ada kesempatan, aku langsung menanyakannya kepada Sandy.

Ternyata bukan, teman-teman. Sejak melihat format ruang pamer di Wangirupa, Sandy sudah membayangkan visual pengisian ruang. Namun, “Untitled” memang sengaja dibuat kosong—termasuk tanpa garis tak terputus yang menegaskan eksistensi—karena lukisan-lukisan lain sudah terbilang riuh.

Hujan sudah reda jauh sebelum sesi artist talk rampung. Petrikor sudah lama menguap, berganti dengan aroma kopi yang diseduh pemirsa untuk menghalau dingin. Aku tersenyum sendiri. Di dalam pikiranku yang sering acak, aku membatin sambil tersenyum kecil, hujan dan kopi adalah aji pamungkas yang selalu bisa diandalkan untuk kesan liris dan puitis.

Aku menghirup udara, mencari aroma napas hujan. Di dalam pikiranku yang sering acak aku bertanya, apa, ya, pasta gigi yang dipakai hujan sehingga napasnya harum petrikor? Apakah cat dan kuas dapat diibaratkan odol dan sikat gigi yang mengharumkan Napas Hujan?

Baca Juga: SALAMATAKAKI #1: Alas Kata tanpa Alas Kaki
SUNDEA Pak Midan bersama lukisan yang menghiasi kios rodanya di depan SDN 048 Sirnamanah. Sejak 1983 Pak Midan merantau dari Kebumen ke Bandung.(Foto: Sundea/penuli

Foto bersama di sela-sela pameran lukisan Napas Hujan di Wangirupa Studio, Setrasari Kulon, Bandung, 24 September sampai 7 Oktober 2022. Napas Hujan adalah pameran tunggal ke-3 Sandy Tisa Pratama. (Foto: Sundea/penulis)
Foto bersama di sela-sela pameran lukisan Napas Hujan di Wangirupa Studio, Setrasari Kulon, Bandung, 24 September sampai 7 Oktober 2022. Napas Hujan adalah pameran tunggal ke-3 Sandy Tisa Pratama. (Foto: Sundea/penulis)

Studio Wangirupa

“Wangirupa jantungnya kita sekeluarga,” kata Raden Achmad Sadikin alias Kang Dikdik kepada istrinya, Karangwangi alias Teh Angi. Kang Dikdik adalah fotografer yang banyak bergerak di produk dan terampil bermain Photoshop jauh sebelum program tersebut populer.

Ketika baru menikah, Kang Dikdik merintis studio foto kecil di Jalan Bengawan, pindah ke bilangan Babakan Jeruk, hingga mendapat tanah di area Setrasari Kulon sekitar tahun 2003. Di sanalah dibangun studio galeri cantik yang diisi penuh dengan mimpi dan cita-cita.

Namun, perjalanan hidup meranggaskan mimpi dan cita-cita mereka. Kendati demikian, Kang Dikdik dan Teh Angi tidak menyerah. Berbagai cara mereka lakukan untuk menghidupkan Wangirupa. Demi mengimbangi Kang Dikdik, Teh Angi belajar memotret manusia agar mereka dapat menerima proyek foto yang lebih bervariasi. Bukan hanya foto benda, tetapi juga model, keluarga, dan kelompok. Wangirupa pun terbuka untuk berbagai kegiatan. Mulai dari aneka lokakarya, pasar kecil yang menjual karya tangan ibu-ibu perumahan, sampai pameran-pameran seni rupa seperti Napas Hujan.  

Tak terasa kedua putra Kang Dikdik dan Teh Angi—Ilham dan Maliki—semakin besar. Tumbuh di studio galeri yang tak terpisah dari kediaman mempengaruhi pilihan langkah mereka.

Pameran lukisan Napas Hujan di Wangirupa Studio, Setrasari Kulon, Bandung, 24 September sampai 7 Oktober 2022. Napas Hujan adalah pameran tunggal ke-3 Sandy Tisa Pratama. (Foto: Sundea/penulis)
Pameran lukisan Napas Hujan di Wangirupa Studio, Setrasari Kulon, Bandung, 24 September sampai 7 Oktober 2022. Napas Hujan adalah pameran tunggal ke-3 Sandy Tisa Pratama. (Foto: Sundea/penulis)

Ilham dan Maliki sama-sama belajar di jurusan seni dan kini aktif mengelola Wangirupa bersama ayah dan ibunya. Apa yang Kang Dikdik katakan tepat sekali. Wangirupa adalah jantung keluarga mereka. Siapa pun yang terlibat dengan Wangirupa pun akan berdetak bersamanya. Jadi ingat losmen keluarga Broto di serial Losmen TVRI, nggak, sih?

Jika Teman-teman ingin menggelar kegiatan seni rasa home stay dengan keluarga yang hangat, silakan mampir ke studio Wangirupa di Jalan Setrasari Kulon Raya no. 26B. Mereka terbuka untuk jenis kesenian apa pun. Mulai dari seni rupa, pertunjukan, musik, sastra, juga seni-seni yang sifatnya kolaboratif. Mengenai budget, jangan khawatir. Keluarga Sadikin terbuka untuk segala bentuk negosiasi dan kemungkinan kerja sama. “Yang penting ngobrol saja dulu,” ujar Teh Angi sambil tersenyum ramah.

Saat ini Wangirupa penasaran membuat konser kecil yang intim. Adakah di antara Teman-teman yang berminat mencoba?

Kenali studio galeri manis ini lewat instagram @wangirupastudio.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//