• Kolom
  • Setia dan Penuh Pengorbanan, Itulah Inggit Ganarsi

Setia dan Penuh Pengorbanan, Itulah Inggit Ganarsi

Selama masa pergerakan, banyak orang berkunjung menumpang, menginap, dan makan di rumah Sukarno. Inggit Garnasih yang memasak untuk mereka semua.

Delpedro Marhaen

Jurnalis, periset di Bandung for Justice

Inggit Garnasih dan Sukarno. (Foto: dari laman Komunitas Aleut)*

11 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Jika Sukarno jatuh hati pada kecantikan Inggit Ganarsih dalam pandangan pertamanya tatkala bertemu di Rumah Haji Sanusi, maka saya jatuh hati pada Inggit dalam setiap kesetiaan dan pengorbanannya. Kiranya itu yang jadi gambaran saya pada awal mengenal sosok Inggit Ganarsih yang saya ketahui dari jejak tulisan dan buku-buku yang menceritakan Inggit. Sosok perempuan yang bersetia berperang dengan kenyamanan demi menghantarkan bangsa ini menuju kemerdekaan.

Salah satu kutipan yang paling saya ingat ihwal kesetian dan pengorbanan Inggit adalah saat Sukarno hendak dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Inggit meyakinkan Sukarno dengan berkata: “Ah, kasep. Jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan was-was mengenai itu. Jangan ragu akan kesetiaanku.”

Tidak ada yang tahu betul bagaimana dalamnya cinta Inggit kepada Sukarno, yang pasti cinta tersebut kerap terlihat dalam setiap pengorbanan Inggit. Dalam tulisan Inggit Ganarsih, Kenangan Cinta Yang ‘Tua’ yang diterbitkan koran Mahasiswa Indonesia Edisi Jabar pada 1971, Inggit disebut sebagai istri yang juga teman perjuangan dalam memerdekakan Indonesia. Ia kerap menelan pil pahit selama berumah tangga dengan Sukarno, sebab ia sering ditinggal oleh suaminya itu yang hilir-mudik masuk penjara. Bahkan hingga pengasingannya Sukarno ke Ende, kemudian ke Bengkulu serta beberapa tempat lainnya sebagai tahanan politik, Inggit tetap bersetia menemani di sisinya.

Dalam kenangannya, Inggit menceritakan kebersamaan dirinya dengan Sukarno ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Inggit banyak ikut Sukarno pergi ke kampung-kampung, pertemuan ke pertemuan, dan tempat-tempat lain yang dipenuhi dengan rakyat. Pertemuan tersebut tidak dilakukan di rumah, gedung atau tempat beratap lainnya, melainkan di sawah-sawah, di kebun.

Selama masa pergerakan itu, banyak orang berkunjung ke rumah Sukarno, bahkan hingga menumpang menginap dan makan. Kurang lebih ada sekitar 20 orang yang ditampung dan diberi makan oleh keluarga Sukarno. Inggit yang memasak untuk mereka semua. Tak ayal, Ia diberi julukan sebagai “Ibu Rakyat” karena pengorbanan dan kerelaannya menjadi ibu bagi rakyat.

“Ibu tidak mau kalah dengan suami, suami tinggal suami, tapi ibu ikut berjuang. Nggak mau ibu direken seperti nasib kucing. Kalau ada makanan, makan enak-enak, kalau tidak ada, mengeong-mengeong. Sudah kenyang, tidur. Saya tidak mau begitu? Di mana harga diri sebagai seorang isteri?” kata Inggit seperti dikutip koran Mahasiswa Indonesia Edisi Jabar pada 1971.

Kutipan di atas dapat terlihat ketika Sukarno sibuk berpidato membakar semangat rakyat, kemudian lupa berpikir tentang dapur; dan di saat itulah Inggit yang mengatasinya. Inggitlah yang mencari nafkah dalam keluarga itu dengan cara menjajakan dagangan kain dan membuat obat-obat kecantikan tradisional.

Kesetiaan lainnya Inggit pada suaminya itu semakin dipertegas dengan tindakannya yang bahkan membuat ia dalam posisi berbahaya. Di penjara Banceuy Bandung, misalnya, pada saat Sukarno disekap. Sukarno membutuhkan sebuah buku tentang hukum dari Mr. Sartono sebagai bahan tulisannya untuk menyusun pembelaan di pengadilan. Menyusupkan buku tersebut ke penjara merupakan hal terlarang, bahkan untuk sekadar menjenguk Sukarno saja Inggit diawasi oleh dua reserse. Namun Inggit tidak kehilangan akal.

Dalam keterangannya yang dituliskan Seno Gumira Ajidarma dalam tulisan berjudul “Inggit Ganarsih Lebih dari Sebuah Buku”, Inggit rela tidak makan selama dua hari agar perutnya menjadi kempis dan buku yang diminta Soekarno itu dapat diselipkan di bawah setagen. Dengan cara seperti itulah Inggit berhasil mengelabui penjaga Belanda yang mengawasi Sukarno, dan sampailah buku itu ke tangan Sukarno.

Hal serupa juga terjadi tatkala Sukarno dipenjara di Sukamiskin. Pada saat itu Sukarno membutuhkan uang sebesar 600 gulden untuk diberikan kepada para penjaga agar ia mendapat kelonggaran di penjara. Mendengar permintaan itu, Inggit tidak bisa tidur semalam suntuk karena memikirkan bagaimana cara menyelundupkan uang itu ke dalam penjara. Inggit akhirnya mendapatkan secercah ide, ia menyisipkan semua uang itu ke dalam irisan kue nagasari. Akhirnya uang itu sampai ke tangan Sukarno yang berada di dalam penjara.

Bahkan, ibunda dari Inggit meninggal di Ende tatkala mereka sekeluarga menemani Sukarno yang sedang diasingkan dan dijadikan sebagai tahanan politik. Di saat itu pula, Inggit menjual perhiasannya yang terakhir agar Sukarno dapat membeli buku The Spirit of Islam karya Syed Ameer Ali.

Penggalan-penggalan cerita di atas barulah sebagian kecil dari kesetiaan dan pengorbanan Inggit demi cita-cita sang suami. Inggitlah, perempuan yang tidak terpelajar itu, yang jadi suluh semangat bagi Sukarno kita dalam keterpurukan. Salah satu kata yang diucapkan Inggit untuk mengembalikan semangat Sukarno, yakni:

“Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!,” kemudian, “Dan jangan sekali-kali kamu punya pikiran jelek mengenai rumah tangga kita. Di rumah segala berjalan beres. Percayalah pada Inggit. Aku masih tegap disampingmu dan selalu berada di sampingmu!” tegas Inggit.

Inggit di Mata Sukarno

Ketakjuban Sukarno pada sosok Inggit Ganarsih pun tak terbendung. Dalam tulisan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Inggit Ganarsih Lebih dari Sebuah Buku”, Sukarno mengungkap ketakjubannya itu:

“Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidak penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaanya. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh buku. Dia memberiku kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan segala apa yang kuperlukan yang tidak dapat diperoleh semenjak aku meninggalkan rumah Ibu.”

Bagi Sukarno, pengorbanan Inggit tak akan pernah terlupakan. Dalam pengasingannya dari Bengkulu ke Padang pada saat kedatangan Jepang, Sukarno banyak mengingat kembali bagaimana cerita suka dan duka dengan Inggit.

Masih dalam tulisan Seno, diceritakan tatkala Sukarno merenung mengenai alas kaki yang dipakai dirinya dan Inggit. Sukarno memakai sepatu yang necis, sementara Inggit hanya menggunakan sandal terbuka seperti yang biasa dipakai perempuan Indonesia. Menggunakan alas kaki itu Inggit melakukan perjalanan berhari-hari melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggores-gores kaki setinggi lutut bermil-mil jauhnya. Alhasil kaki Inggit pun lecet dan bengkak.

Kemudian keduanya beristirahat di atas lantai beralaskan sehelai tikar kasar. Sukarno terkapar di atas tikar, pahanya menjadi bantal untuk Inggit. Bak cerita romansa, keduanya beristirahat sembari menyantap makanan seadanya, saling jatuh dalam cinta dan kasih kendati berada di tengah kesulitan.

Baca Juga: Haul Inggit Garnasih, Mengenang Ibu, Teman, dan Kekasih
BANDUNG HARI INI: Inggit Garnasih Lahir, Mendampingi Sukarno sampai Gerbang Kemerdekaan
Bulan Cinta Inggit Garnasih, Titik Nol Pendirian Inggit Garnasih Institute

Merelakan Soekarno

Cinta yang setia, tulus, dan penuh pengorbanan memang kerap berujung nahas. Begitu pula dengan kisah Inggit dan Sukarno. Pada saat keduanya tinggal di Bengkulu, berbagai gejolak masalah menghampiri rumah tangga keduannya; ketika Fatmawati, seorang gadis jelita, putri ketua Muhammadiyah setempat, Hassan Din mulai memasuki kehidupan pribadi keluarga Inggit dan Sukarno. Puncaknya ketika Inggit berkata:

“Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan coba-coba menyembunyikan. Seseorang tidak bisa membohong dengan sorotan matanya yang menyinar, kalau ada orang lain mendekat,” seperti dikutip dalam tulisan “Mahaputera Utama bagi Inggit”.

Perkawinan Inggit dan Sukarno tidak dapat dipertahankan lagi.  Mereka bercerai pada tahun 1943, ketika Sukarno hendak melangkah menuju gerbang istana cita-citanya; kemerdekaan Indonesia. Dua puluh tahun sudah mereka selalu bersama dalam kesenangan maupun penderitaan. Inggit selalu jadi sosok penting bagi kehidupan Sukarno.

“Tidak apa, cita-cita pokok dalam hidup saya yaitu mengalami Indonesia merdeka. Itu sudah teralami dan sangat membahagiakan,” katanya dengan suara penuh kesungguhan seperti dikutip dalam tulisan Yurinda Hidayat berjudul “Ibu Inggit, Dulu dan Sekarang”.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//