Mengukur Jawa Barat sebagai Provinsi Toleran atau tidak
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyangkal anggapan sekelompok orang yang menyebutkan Jabar provinsi intoleran.
Penulis Iman Herdiana31 Januari 2023
BandungBergerak.id - Jawa Barat selama 14 tahun berturut-turut tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia, seperti dirilis Setara Institute awal 2021 lalu. Laporan ini disusun berdasarkan jenis-jenis kasus, antara lain gangguan rumah ibadah yang mencakup penolakan pendirian rumah ibadah dan gangguan saat ibadah.
Setara Institute belum mengeluarkan laporan pelanggaran KBB tahunan terbarunya untuk tahun 2022. Namun yang menonjol tahun kemarin adalah pelarangan beribadah pada jemaat HKBP Betlehem (Pos Parmingguan) di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada sat ibadah Natal 24 dan 25 Desember 2022.
Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (Kompak KBB) mendesak Bupati Kabupaten Bogor memastikan penghormatan dan perlindungan Jemaat HKBP Betlehem untuk beribadah dan melaksanakan ibadah dan membangun rumah ibadah serta memastikan jaminan ketidakberulangan (guarantees of non-repetition).
Kompak KBB merupakan koalisi terdiri dari LBH Jakarta, Setara Institute, Sejuk, Sobat KBB, YLBHI, Yayasan Satu Keadilan, Imparsial, dan Human Rights Watch.
Beberapa peristiwa yang bisa mendorong tindak diskriminatif dan intoleran juga terjadi di Kota Bandung yang tidak lain ibu kota provinsi Jawa Barat. Pertama, peresmian Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas) yang dihadiri Wali Kota Bandung, Minggu (28/8/2022).
Peresmian Gedung Annas menuai reaksi masyarakat sipil yang prokeberagaman, termasuk Setara Institute yamg memandang langkah Pemkot Bandung melalui wali kotanya berpotensi menumbuhkan aksi intoleransi yang tidak menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Isu lainnya yang bisa mendorong tindak diskriminatif dan intoleran masih terjadi di Kota Bandung, yakni mengenai rencana pembentukan perda anti-LGBT yang diwacanakan DPRD Kota Bandung dan kemudian diamini Pemkot Bandung. Perda anti-LGBT ini dinilai akan semakin menyudutkan kelompok rentan LGBT.
Jika merunut ke belakang pada dunia pendidikan, situasi intoleransi di lingkungan siswa juga cukup memprihatinkan. Artinya potensi ketidakrukunan juga menguat di lingkungan pendidikan. Survei Setara Institute (2016) di DKI Jakarta dan Bandung Raya terhadap 171 SMA Negeri menunjukkan terjadinya persoalan serius pada sisi toleransi siswa.
Sebagian prosentase siswa menyampaikan dukungan terhadap terorisme dan penggantian ideologi Pancasila. Soal larangan pendirian rumah ibadah, 85,3 persen responden menolak jika ada organisasi tertentu yang melakukan pelarangan pendirian rumah ibadah agama lain. 4,6 persen responden mendukung organisasi tertentu yang melarang pendirian rumah ibadah.
Survei juga memperlihatkan persetujuan responden terhadap gerakan yang dilakuan oleh ISIS. Meski, sebanyak 96 persen tidak setuju dan 3 persen lainnya tidak tahu/tidak menjawab, namun 1 persen responden setuju.
Selain itu, soal sistem pemerintahan yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia saat ini. Dari jawaban yang ada, sebanyak 86 persen responden menjawab demokrasi, 11 persen responden menjawab khilafah. Bahkan, ketika ditanya soal jika ada organisasi tertentu yang mengganti Pancasila sebagai dasar negara, 5,8 persen responden mendukung.
Sangkalan Ridwan Kamil
Di tengah bayang-bayang isu intoleran yang tidak menghormati keberagaman, sanggahan muncul dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Melalui akun Instagramnya, Ridwan Kamil menyangkal anggapan sekelompok orang yang menyebutkan Jabar provinsi intoleran.
"Dinamika sosial antara penganut agama di lapangan terkadang ada dan viral, namun itu sifatnya sporadis dan terjadi di banyak tempat, namun tidak bisa disimpulkan bahwa terjadi budaya intoleransi secara umum," tulis Ridwan Kamil, dikutip dari siaran pers, Senin (30/1/2023).
Pemprov Jabar sendiri berencana melakukan survei tentang toleransi. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Jabar Iip Hidayat menyatakan, pihaknya bekerja sama dengan lembaga Indonesian Politic Research and Consulting (IPRC) untuk mencari tahu apakah anggapan sebagian kelompok yang menyatakan Jabar intoleran itu benar atau tidak.
"Kita lakukan survei di sembilan kabupaten/kota, sementara mereka kelompok yang menyatakan Jabar intoleran itu surveinya di tiga kabupaten/ kota. Hasilnya ya seperti yang Pak Gububernur sampaikan di IG-nya bahwa Jabar toleran," tutur Iip.
Iip menjelaskan bahwa survei IPRC tahun 2023 ini akan diperluas ke 27 kabupaten/kota atau seluruh Jabar, agar hasilnya riil.
"Mudah-mudahan hasil surveinya bisa kita rilis di akhir bulan Maret nanti," ucapnya.
Adapun upaya yang telah, sedang, dan akan dilakukan Bakesbangpol untuk menjaga toleransi di antaranya menggelar dialog antarsuku dan agama terutama di kalangan milenial.
"Salah satunya kita gelar secara rutin Jambore Kebangsaan. Para pesertanya kaum milenial dari suku dan agama yang berbeda yang ada di Jawa Barat. Di situ kita diskusi problem solving dan lain-lain dengan menghadirkan berbagai narasumber agar lebih terarah," jelasnya.
Hasilnya menurut Iip, cukup signifikan mengubah pola pikir kaum milenial di Jabar menjadi lebih terbuka wawasan, lebih moderat dan tidak emosional.
Selain Jambore Kebangsaan, Bakesbangpol juga telah melakukan kegiatan lain untuk memupuk toleransi dan persatuan, seperti Jambore Ormas, Duta Bela Negara, Bangkit Milenial Fest.
Baca Juga: Hak Para Pejalan Kaki Kota Bandung yang Terabai
Membuka Perpustakaan Literaksi Tamansari, Menghidupkan Ruang Perjuangan Warga
Peringatan 100 Tahun Observatorium Bosscha, Anggaran untuk Astronomi Seret
Merangkul Keberagaman
Indonesia merupakan negeri yang beragam suku, agama, budaya. Negeri ini sudah ditakdirkan bhineka. Penghormatan pada kebhinekaan pun menjadi keniscayaan. Tidak boleh ada upaya penyeragaman atau pemaksaan keyakinan pada kelompok tertentu yang berbeda.
Pada 2021, Setara Institute menerbitkan laporannya dengan judul “Mengatasi Intoleransi, Merangkul Keberagaman”. Hal ini didasarkan pada tren penyeragaman di masyarakat yang semakin memperkuat intoleransi.
“Sesuatu yang berbeda dari interpretasi mayoritas dipandang sesat, menodai agama, dan dilekatkan dengan stigma-stigma buruk lainnya, sehingga menjadi pembenaran atas perilaku intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Tema ini mengandung harapan agar pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dapat beranjak dari penyeragaman ke merangkul keberagaman,” demikian catatan Setara Institute.