SUARA SETARA: Selamat Datang di Dunia Penuh Ketidakadilan, Perempuan!
Kesetaraan bukan berarti perempuan melawan laki-laki. Namun yang dilawan adalah sistem patriarki yang menomorduakan perempuan sekaligus menomorsatukan laki-laki.
Nida Nurhamidah
Gender Research Student Center.
31 Januari 2023
BandungBergerak.id - Selamat menempuh hidup dengan segala ancaman hanya karena memiliki kromosom XX, selamat menempuh hidup dengan segala keterbatasan hanya karena memiliki vagina, selamat menghidupi peran domestik dan dianggap salah ketika kamu mendobrak sesuatu yang tidak sesuai dengan kodratmu, ketika kamu merealisasikan diri kamu sendiri. Perempuan, apakah kamu pernah terbebas atau akan terkukung selamanya dalam jeratan ini?
Segala keterbatasanmu tidak terlepas dengan kungkungan kotak jahat bernama patriarki. Patriarki terus bertumbuh dan membudaya, nilai-nilainya sangat dekat dan terasa sampai saat ini.
Dunia yang memihak laki-laki bukan terlahir secara alamiah, bukan karena laki-laki terlahir lebih kuat daripada perempuan. Namun, secara sistematis hal tersebut ada dan tercatat pada sejarah.
Patriarki, struktur yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa utama dan mendominasi setiap perannya pada kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Patriarki menempatkan perempuan sebagai seks kedua, bukan seseorang yang berdaya bahkan sekadar untuk menjadi manusia. Namun, apakah benar perempuan diciptakan untuk menjadi seseorang yang inferior dan tidak berdaya di kehidupan ini?
Asal Mula Dunia tidak Berpihak pada Perempuan
Apa yang kamu pikirkan mengenai zaman pra-sejarah? Primitif dan terbelakang? Bagaimana kondisi perempuan saat itu, saat manusia masih menciptakan dan baru mengenali dunia? Mitos perempuan diciptakan untuk menjadi sosok yang inferior terpatahkan di sini. Perempuan melahirkan anak, namun ia bebas, mandiri, dan menjadi pusat kehidupan sosial dan budaya. Perempuan primitif tidak menjadi peran pelengkap saja, ia memegang peran kehidupan utama sebagai manusia yang berdaya.
12.000 tahun yang lalu, masyarakat purba tidak memahami asal-usul dari bayi manusia yang lahir ke dunia. Kemampuan perempuan bisa melahirkan bayi dianggap sebagai kekuatan magis untuk menciptakan manusia kecil dalam tubuhnya. Bayi yang lahir tidak dimiliki oleh seseorang yang melahirkannya, tidak seperti barang pribadi, namun tidak ada pembeda antara satu sama lain, semua dikasihi dengan setara. Semua orang dalam satu komunitas klan tersebut menjadi orang tua sosial untuk semuanya. Secara egaliter, mereka memenuhi kebutuhan setiap anak. Tidak ada anak yang telantar, tidak ada juga yang dikasihani lebih, sakit-sakitan, dan kelaparan. Masyarakat komunal tidak mengenal bentuk keluarga, ayah dan ibu bukan menjadi suatu yang penting. Kondisi tersebut menandakan bahwa pernah terjadinya relasi setara antar laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: SUARA SETARA: Jadi Tuli di Indonesia itu Susah!
SUARA SETARA: Menanamkan Nilai Sensitivitas Gender pada Laki-Laki
SUARA SETARA: Pembuktian Ambu
Menurut Gazale, keistimewaan perempuan yang dapat menghasilkan anak membuat laki laki takut dan jijik sekaligus kagum. Laki-laki tidak menyadari bahwa ia pun memiliki andil dalam reproduksi. Laki-laki belum dapat menjawab siapakah perempuan ini yang dapat mengeluarkan bayi. Ketidaktahuan mengenai paternitas biologis menjelaskan masyarakat mula bersifat matrilineal atau garis keturunan berpusat pada perempuan. Sampai akhirnya laki laki menyadari bahwa ia pun memiliki sperma. Ia adalah sang pencipta kehidupan. Ia pun dapat mengkontrol perempuan dalam fungsi reproduksinya. Perempuan tergeser dan kini berpusat pada laki-laki dengan segala sifat maskulinitasnya.
Namun, komunal primitive kondisi di mana semua perempuan berkumpul dan tidak bisa ditundukkan berubah seiring berkembangnya zaman. Terdapat perubahan yang signifikan mengenai pertanian dan sistem ketahanan pangan. Peran gender laki-laki berburu dan perempuan meramu merasuk saat kondisi saat itu meyakini kepemilikan pribadi, termasuk keluarga. Hal tersebut pulalah yang menyebabkan perempuan berpencar dan mengamini tugasnya sebagai pengatur fungsi rumah tangga. Ia diatur untuk tunduk pada laki-laki karena laki-laki memiliki peran penting untuk mencari nafkah.
Hal tersebut terus berjalan hingga hari ini. Patriarki dapat beradaptasi dengan kondisi manusia yang selalu berubah-ubah. Bentuknya lebih beragam, ketidakadilan tersebut merasuk pada hidup kita sehari-hari. Kekerasan terhadap perempuan masih sangat dinormalisasi, stereotip akan peran satu gender masih dikotak-kotakan. Hidup tidak tenang dan serba terbatas. Mungkin kau pernah merasakannya, karena apa pun yang kamu ceritakan menjadi bukti valid patriarki masih melanggengkan dirinya sebagai sistem yang menghantui seluruh manusia.
Bangkit dari penindasan sistemik bukanlah hal mudah. Kita perlu disadarkan bahwa kita dikukung oleh ketidakadilan yang sudah ada dari masa lalu. Berkumpul untuk menyatukan suara yang selama ini tidak pernah dianggap penting suaranya bisa menjadi alternatif untuk meruntuhkan segala yang patriarki ciptakan termasuk dominasi maskulinitas.
Ingat, kita tidak melawan laki-laki, yang kita lawan patriarki!
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung