SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #14: Fonds Sapoeloeh Reboe
Untuk mempertahankan eksistensinya, Sipatahoenan mulai menggalang dana dari publik atau pembaca. Sumbangan dibutuhkan untuk membangun percetakan.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
23 Maret 2023
BandungBergerak.id - Sejak Sabtu, 13 Desember 1930, Hoofdredacteur A.S. Tanoewiredja, atas nama directie Sipatahoenan mengumumkan penggalangan dana sebanyak sepuluh ribu gulden. Pengumumannya dimuat satu halaman penuh di halaman 6 edisi 13 Desember 1930 dan diberi tajuk “Milari Tanaga” (mencari tenaga).
Pengumuman tersebut dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu pengantar, “Ichtiar No. 1”, “Ichtiar No. 2”, “Ichtiar No. 3”, “Ichtiar No. 4”, “Lalamoenan Sipatahoenan” (lamunan Sipatahoenan), “Sanget Paneda” (permohonan), dan “Ngadegna Drukkerij Sipatahoenan” (berdirinya percetakan Sipatahoenan).
Dalam pengantar, A.S. Tanoewiredja menjelaskan latar belakang pengumuman, yaitu niat Sipatahoenan untuk menjadi bahan bacaan orang Sunda yang menurut cacah jiwa sebanyak 11 juta orang (“ditjadangkeun djadi aosanana oerang Soenda noe djiwana noemoetkeun Volkstelling mah aja 11.000.000”), seraya hendak mengangkat harkat bangsa Indonesia (“ngahandjatkeun harkat daradjatna Indonesier”) dan bersandingan dengan surat kabar harian lainnya.
Dalam kerangka itulah, kata Tanoewiredja, Sipatahoenan harus ditingkatkan jumlah halamannya, yang semula selembar menjadi selembar setengah. Dan satu-satunya jalan adalah harus memiliki percetakan sendiri, demi memiliki keleluasaan kala harus menambar lembar cetakan.
Tadinya per Januari 1931, Sipatahoenan akan diterbitkan selembar setengah, tapi karena tidak memiliki percetakan sendiri, niat tersebut urung terwujud. Tanoewiredja khawatir bila demikian, terbitnya bisa jadi tidak akan tetap. Agaknya, setelah bertanya kepada pihak Lettergleterij Asmterdam v.h. N. Tetterode di Weltevreden, ia mendapatkan gambaran bahwa bila Sipatahoenan ingin memiliki percetakan yang dapat mencetak selembar setengah per hari dengan mesin dan huruf baru, biayanya mencapai 10.485 gulden.
Oleh karena itu, Tanoewiredja menyatakan “Koe margi ajeuna mah tiasa ditangtoskeun, jen nambihan lambaran teh goemantoeng kana ngadegna drukkerij Sipatahoenan, djisim koering ngotjeak ka sadaja para mitra oerang Soenda atanapi ka Indonesier noe sedjen, moega kersa ngabantoe kana ichtiar djisim koering” (Oleh karena sekarang bisa ditentukan bahwa untuk menambah lembaran itu bergantung kepada berdirinya percetakan Sipatahoenan, saya menyeru kepada sekalian mitra orang Sunda atau Indonesia lainnya, semoga berkenan membantu ikhtiar saya).
Empat Ikhtiar
Ada empat ikhtiar yang diajukan A.S. Tanoewiredja agar Sipatahoenan memiliki percetakan sendiri. “Ichtiar No. 1” berpautan dengan upaya untuk menagih tunggakan para langganan. Caranya dengan mencicil. Tanoewiredja mencontohkan, “Djrg. A. kagoengan achterstand 6 sasih atanapi 6 x f 1.70=f. 10.20, eta teh tiasa ditjitjil 6 sasiheun, djadi majarna saban sasih teu kedah djadi f 3.40 nja-eta noe f 1,70 tina achlerstand noe f 1.70 deui kangge abonnement sasih noe nembe. Koe djalan kieu kantenan pisan saparantosna 6 sasih djadi voldaan pisan sareng dina sasih ka 7 tiasa biasa deui f 1.7” (Tuan A mempunyai tunggakan 6 bulan atau 6 x f 1.70=f. 10.20, tunggakannya dapat dicicil 6 bulan, jadi membayarnya setiap bulan tidak harus f. 3,4, yaitu yang f. 1,7 dari tunggakan dan yang f. 1,7 lagi untuk uang langganan baru. Dengan cara begitu, tentu saja setelah 6 bulan jadi lunas dan pada bulan ketujuh menjadi f. 1,7 lagi).
Ichtiar No. 2” berupa ajakan agar membayar uang berlangganan di muka, selama setahun, 3/4 tahun, setengah tahun, atau empat bulan. Karena langkah tersebut juga dapat menunjang niatan Sipatahoenan. Kemudian “Ichtiar No. 3” berangkat dari niat Sipatahoenan meminjam uang paling sedikit f. 1 dari para langganannya. Namun, niatnya dibatalkan. Tetapi, bila memang para langganan hendak memberi pinjaman, kata Tanoewiredja, lebih baik digunakan sebagai uang muka berlangganan setahun, empat bulan, atau untuk satu bulan berlangganan.
Ia bahkan membandingkan dengan pajak tontonan di Bandung oleh bangsa Indonesia yang setiap tahunnya bisa mencapai puluhan ribu gulden. Bila pajaknya diambil 20 persen saja, uang yang terbuang di tempat hiburan sebanyak 50 ribu (“Opami ngemoet-ngemoet kana ageungna padjeg tongtonan di kota Bandoeng dina saban sasih doegi ka aja poeloehna reboe, sabaraha piageungeunana ladang kartjis ti bangsa lndonesier. Oepami belastingna 2o pCt, tangtoe ageungna artos noe dipitjeunan dina tempat titingalieun teh aja 50 reboena roepia”).
“Ichtiar No. 4” berupa ajakan agar para langganan dan pihak lain untuk berderma kepada Sipatahoenan. Besaran dermanya diserahkan kepada yang akan berderma. Bisa menyerahkan secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan dengan kawan-kawan penderma.
Pada bagian “Lalamoenan Sipatahoenan”, A.S. Tanoewiredja mencoba membayangkan hasil dari masing-masing ikhtiar di atas. Untuk “Ichtiar No. 1” sebesar f. 2.000, “Ichtiar No. 2” sebesar f. 5000, “Ichtiar No. 3” nihil, dan “Ichtiar No. 4” sebesar f. 1.700, dengan total sebesar f. 8.700.
Pada “Sanget Paneda”, Tanoewiredja memohon dengan hormat kepada para pembaca, agar berkenan bersama-sama menjalankan empat ikhtiar itu, apakah mau membisiki orang-orang yang menunggak agar segera melunasi, apakah mau berpropaganda mencari langganan yang berkenan membayar di muka, apakah hendak menyebarkan daftar, apakah mau menyelenggarakan pementasan tunil atau pertandingan sepak bola, atau bagaimana sekehendak para pembaca agar cita-cita ini segera terwujud.
Akhirnya, pada “Ngadegna Drukkerij Sipatahoenan”, Tanoewiredja menyatakan berdirinya percetakan Sipatahoenan tidak dapat ditentukan waktunya. Entah tahun atau bulan mana, karena semuanya bergantung modalnya, sehingga kapan pun tersedia modal saat itu pula percetakan Sipatahoenan dapat berdiri dan dioperasikan. Bila percetakan sudah ada, konon, akan dilakukan reorganisasi besar pada Sipatahoenan, demikian pula dengan penambahan redaktur dan jumlah lembarannya.
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #11: Loper Koran
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #12: Mohamad Koerdie
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #13: Leleson Dinten Minggoe
Propaganda
Pada edisi Senin, 15 Desember 1930, Sipatahoenan mulai gencar “mempropagandakan” keempat ikhtiar. Pada halaman satu dipasang iklan “Derma”, “Ngalanggan Sipatahoenan”, dan “Toemaros”, yang semuanya berkaitan dengan penggalangan dana.
Pada halaman 2 bahkan dipasang pengumuman “Padamelan Nasional” (tugas nasional), dengan menyatakan bahwa membuat propanda memajukan harian Sipatahoenan termasuk jasa kebangsaan yang banyak artinya bagi peningkatan derajat bangsa Indonesia.
Baru pada edisi Selasa, 16 Desember 1930, dalam pengumuman “Milari Tanaga” mulai digunakan istilah “Fonds Sapoeloeh Reboe”. Di situ dikatakan “Sakoemaha noe parantos didadarkeun dina Sipatahoenan 13 December 1930 No. 284 lambaran kadoea, dagblad Sipatahoenan boetoeh koe hidji drukkerij anoe pangaosna f. 10.000. Soepados gampil ngemoet-ngemoetna ka soegri noe palaj ngamadjengkeun Sipatahoenan, ajeuna oerang ringkeskeun bae, oerang boetoeh teh koe Fonds Sapoeloeh Reboe”.
Artinya, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Sipatahoenan edisi 13 Desember 1930 No. 284 lembaran kedua, harian Sipatahoenan membutuhkan satu percetakan yang harganya f. 10.000. Agar mudah mengingat-ingatnya bagi siapa saja yang hendak memajukan Sipatahoenan, sekarang kita ringkaskan saja, kita butuh dengan dana sepuluh ribu.
Namun, berbeda dengan pengumuman pada 13 Desember 1930, pada edisi 16 Desember 1930, ikhtiar yang akan ditempuh oleh Sipatahoenan dikurangi menjadi tiga, yaitu dengan jalan membayar tunggakan, membayar uang langganan di muka, dan mengajak para pengurus perhimpunan tonil dan olahraga untuk membantu menderma Sipatahoenan.
Hasil pertama “Fonds F. 10.000” diumumkan dalam Sipatahoenan edisi 20 Desember 1930. Di situ dibilang “Diantawis 3.000 abonnes noe pangheulana bade ngoerilingkeun lijst derma, nja eta” (di antara 3.000 langganan yang pertama-tama hendak menyebarkan daftar derma, yaitu) dan disusul orang-orang yang hendak menyebarkannya: Djoedjoe (Mantri Irrigatie Banjar, Lijst No. 1), Mintarmah (Tarogong, Garut, Lijst No. 2), Moehamad Soehiar (Mantri Apotheker Tasikmalaya, Lijst No. 3), Affandi (Garut, Lijst No. 4), Lauw Ban Seng (Beheerder Fortuna di Bandung, Lijst No. 5), dan Hoesen (Surabaya, Lijst No. 6).
Bahkan pada edisi 22 Desember 1930, administrasi Sipatahoenan memutuskan untuk mencoret delapan orang langganan yang tetap menunggak dan tidak mau membantu “Fonds Sapoeloeh Reboe”. Langganan yang dicoret itu adalah Wiradiredja (abonne No. 478), Kartaatmadja (No. 520), Madna (No. 545), Sastradimadja (No. 756), Partasoma (No. 760), Kartadirdja (No. 831), Kartoredjo (No. 834), dan Toebagoes Hoesna (No. 1102).
Paling tidak hingga 12 Februari 1931, pengumuman “Milari Tanaga” yang di dalamnya mengandung “Fonds Sapoeloeh Reboe” masih diumumkan Sipatahoenan. Sementara Abah sang penjaga rubrik “Ti Pipir Hawoe” pada edisi 16 Februari 1931 mengajak agar membantu mewujudkan “Fonds 10.000” dengan jalan membayar uang muka langganan. Dan memang, menurut Abah, banyak yang tidak sabar, sehingga segera membayar uang mukanya (“Nimpahan Sipatahoenan teu aja noe maksa, ngan djelema geus teu sabar, teu boeroeng djoeng djreng geuning”).
Ranoewisastra dan Tanoewiredja
Pada hari Kamis, 5 Februari 1931, Bintang Timoer memuat tulisan “Soendaneesch Handelssystem” karya G. Ranoewisastra dalam rubrik “Soera Publiek”. Isinya mengkritisi kebijakan “derma” untuk “Fonds F. 10.000” Sipatahoenan.
Pada paragraf pertama, ia menulis “Dimana soerat kabar Sipatahoenan kita batja dengan letters besar seperti gadjah: Fonds F. 10.000,- (sepoeloeh riboe roepiah). Kalau kita teroes batja apa maksoednja itoe bilangan dan boeat apa akan dipergoenakannja, memang girang hati kita bahwa Sipatahoenan itoe akan madjoe teroes dengan kapitaal f. 10.000,- termshoer di seloeroeh doenia. Akan tetapi ... ja, banjak akan tetapinja, sebab ... kita batja teroes, teroes ... f. 10.000,- itoe haroes berdaja oepaja mentjari orang2 jang dermawan boeat memenoehi itoe kapitaal, jaitoe dengan djalan minta2.”
Intinya, ia menyatakan “... penoelis mendjadi abonne Sipatahoenan dan tidak akan keloear dari pembatjanja. Tjoema penoelis di sini tidak setoedjoe dengan ala .. Sipatahoenan sekarang, jang mana mentjari modal dengan minta2. Sebab kita haroes fikir doeloe jang betoel, djanganlah sampai diketawai orang2 oempamanja”.
A.S. Tanoewiredja yang mewakili redaksi Sipatahoenan menjawab kritik itu dengan tulisan berjudul “Soendaneesch Handelssystem” (Rubrik “Soerat Kiriman”, Bintang Timoer, 12 Februari 1931). Untuk menjawab keberatan-keberatan Ranoewisastra, Tanoewiredja balik bertanya: “Bagaimana daja oepaja itoe toean jang terhormat, kalau kepadanja orang serahkan leiding-nja satoe dagblad jang hampir mati? Satoe dagblad jang kekajaannja dalam kas tjoema ada f. 500,- dan soedah mempoenjai hoetang kepada drukkerij dan papierhandel tidak koerang dari f. 2000,-?”
Tanoewiredja agaknya menggambarkan keadaan keuangan Sipatahoenan saat digulirkannya kebijakan “Fonds Sapoeloeh Reboe”. Karena itulah, ia mengatakan “hendaklah toean Ranoewisastra soeka memetjahkan doeloe itoe gerangan jang soedah kita rakamkan diatas, sebab boekan tidak boleh djadi kalau itoe toean dapat memberi djalan jang lebih sempoerna, soepaja kita poenja dagblad itoe lebih mendapatnja drukkerij dari f. 10.000 itoe”.
Di sisi lain, Tanoewiredja menyatakan sebenarnya pengelola Sipatahoenan telah lama mencita-citakan dan berupaya memiliki percetakan sendiri. Antara lain dengan jalan menerbitkan saham. Tetapi hasilnya nihil. Demikian pula upaya derma obligasi sebesar masing-masing f. 100, karena hasilnya tidak lebih dan tidak kurang dari f. 600. Ujungnya ia bertanya lagi kepada Ranoewisastra: “Apakah daja oepajanja itoe penoelis jang terhormat, kaloe keadaannja soerat kabar soedah merosot, wang abonnement tidak masoek, debetnja semingkin lama semingkin besar?”
Selanjutnya, Tanoewiredja menjelaskan lagi langkah-langkah yang telah ia uraikan dalam “Milari Tanaga” (Sipatahoenan, 13 Desember 1930). Dengan demikian, ia menyatakan “Fonds F. 10.000” tidak melulu berasal dari derma, melainkan ada yang berupa simpanan di bank. Kata Tanoewiredja, “Selainnja dari itoe wang derma, djoega toean Ranoewisastra haroes tahoe bahwa oleh kita soedah dititipkan pada bank sekian riboe, sebagai pendapatannja dari kita poenja ‘systeem tjerewet’ ialah wang achterstand dan bij vooruitbetalingen dari abonne jang soedah tidak sabar lagi inginkan kemadjoeannja Sipatahoenan itoe”.
Sedangkan hutang Sipatahoenan yang f. 2000 kepada percetakan dan toko kertas, menurut Tanoewiredja, sudah lunas dengan “Tanoesysteem”. Bahkan katanya, “Sekarang kita lihat lagi kependekan pengetahoeannja itoe penoelis jang tidak soeka melihat akan kemadjoeannja Sipatahoenan itoe, sebab beliau tidak tahoe bahwa oleh Perkoempoelan Doeit Hadiah (PDH) di Regentschap Tasikmalaja sadja, soedah bisa dikoempoelkan wang derma f. 56.000”.
Tetapi dari perjalanan panjang Sipatahoenan, kita tahu surat kabar itu baru memiliki percetakan sendiri sejak 1 Agustus 1936, saat membeli Drukkerij Pengharepan (Sipatahoenan, 1 Agustus 1936). Alhasil, maksud “Fonds Sapoeloeh Reboe” atau “Fonds F. 10.000” tidak terwujud dalam jangka waktu yang dekat, sebagaimana dibayangkan oleh A.S. Tanoewiredja dalam tulisan balasannya kepada G. Ranoewisastra.