• Budaya
  • Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras

Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras

Program pemerintah secara tidak langsung telah menyeragamkan makanan pokok. Sumber pangan lokal dilupakan, seperti beras singkong atau rasi kampung adat Cireudeu.

Upacara adat di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, Jumat (19/8/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 Mei 2023


BandungBergerak.idIndonesia ini memiliki ketergantungan yang tinggi pada beras atau nasi. Padahal negeri ini punya banyak makanan pokok selain nasi, mulai dari singkong, ubi jalar, jagung, sagu, dan lain-lain yang menjadi bagian dari kearifan lokal. Sebagai contoh, di Kota Cimahi, Jawa Barat, ada kampung adat Cireundeu yang makanan pokoknya rasi (beras singkong).

Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Hilmar Farid, Indonesia mengalami homogenisasi bahan pangan pokok yang 50 persen berpusat pada empat jenis bahan pangan padi, gandum, jagung, dan kentang.

Di sisi konsumsi, Indonesia mengalami homogenisasi selera. Selama 30 tahun terakhir, pangan yang beragam sekarang terpusat ke beras, berikutnya gandum. Ada catatan bahwa konsumsi gandum mengalahkan konsumsi beras, padahal Indonesia tidak memproduksi gandum.

“Masalah muncul ketika kita bergantung pada pangan tersebut,” ujar Hilmar, dikutip dari laman Universitas Indonesia, Jumat (12/5/2023).

Guna mengatasi masalah ketergantungan pada pangan tertentu, ia menilai perlu desentralisasi pangan berdasarkan diversifikasi pangan di Indonesia melalui penguatan pengetahuan dan kebudayaan lokal.

“Perguruan tinggi berperan sangat sentral bersama masyarakat di tingkat akar rumput untuk keperluan pangan. Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan kembali produk-produk lokal, serta kolaborasi antara produsen pangan dan ahli gastronomi untuk menghasilkan karya yang dapat diterapkan di komunitas lokal,” ujar Hilmar.

Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan persoalan impor gandum juga tidak bisa dipisahkan dari ketahanan pangan. Jika impor terus dilakukan, devisa negara akan berkurang. Padahal, Indonesia memiliki 5 juta hektar sagu yang belum dimaksimalkan, sehingga dibutuhkan perhatian khusus mengenai sumber pangan lokal.

“Stigma negatif pada pangan lokal perlu dihapuskan melalui pembentukan kampanye, revolusi meja makan, hingga revolusi pendidikan di bidang pangan. Hal ini dapat menguntungkan kedua pihak, baik konsumen maupun petani,” ujar Arif.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Semiarto Aji Purwanto melihat persoalan pangan bukan sebatas persoalan biologis, tetapi juga budaya. Kebiasaan makan, seperti konsumsi nasi ataupun roti, menunjukkan peristiwa budaya yang sangat dekat dengan keseharian.

Dalam aktivitas konsumsi, terdapat beragam pengalaman makan yang disebut sebagai khasanah rasa. Singkatnya, khasanah rasa menjadi kekayaan rasa yang diekspresikan secara berbeda di berbagai daerah.

“Kebijakan homogenitas pangan di masa lalu mengakibatkan makanan pokok masyarakat Indonesia terpusat pada beras. Khasanah rasa pun terkikis. Oleh karena itu, anak muda saat ini perlu ikut bertanggung jawab dengan mengubah kembali kebiasaan dan pola makan, sehingga khasanah rasa dapat muncul kembali di masyarakat,” kata Aji.

Rasi dari Cireundeu

Salah satu masyarakat adat yang setia dengan sumber pangan lokal adalah kampung adat Ciceundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat. Mereka sudah terbiasa mengkonsumsi beras singkong (rasi) yang terbuat dari singkong atau ketela pohon. Jenis makanan pokok kampung adat Cireundeu berbeda dengan warga Jabar umumnya yang memakan beras atau nasi.

Debi Heristian, Penyuluh Budaya Kemendikbud Rayon Pontianak, Kalbar dan peneliti di The Pontianak Post Institute of Pro Otonomi (PPIP), menuturkan secara administratif Kampung Cireundeu termasuk dalam Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Pada akhir November 2013, Debi melakukan penelitian di kampung Cireundeu yang saat itu dihuni oleh kurang lebih 50 kepala keluarga (KK) atau 300 jiwa. Kampung ini terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Karena terletak di lembah dan diapit oleh pegunungan inilah sehingga menjadikan Kampung Cireundeu benar-benar bernuansa perdesaan, terlihat sangat asri dan adem.

“Di samping suasana yang asri, salah satu yang membuat kampung Cireudeu sangat berbeda adalah diversifikasi makanan pokok masyarakatnya dari beras ke singkong yang telah berlangsung sejak tahun 1918 dan ditetapkan secara komunal adat pada tahun 1924,” tulis Debi, dikutip dari laman Kemendikbud.

Peralihan beras ke rasi di kampung Cireundeu dilatarbelakangi oleh masa paceklik dan kekeringan yang pernah melanda pada tahun 1918. Pada masa itu, warga Kampung Cireundeu hanya bisa menanam singkong dan sangat kesulitan untuk menanam padi.

Karena Singkong merupakan sumber karbohidrat (makanan pokok) yang dianggap paling mudah untuk diperoleh, sesepuh adat mereka pada waktu itu kemudian menganjurkan masyarakat Cireundeu untuk beralih dari makan nasi ke makan singkong. Bahkan, makan nasi juga dijadikan semacam pantangan batin (tak tertulis) dan beras dianggap akan menjadi salah satu sumber musibah.

Meskipun demikian, masyarakat adat Kampung Cireundeu juga menghargai padi/beras dengan memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi). Hal itu dilakukan dengan menggantungkan ikatan padi beserta tangkainnya di ruang depan rumah mereka.

Debi juga menuturkan perbincangannya dengan Abah Emen Suryana selaku sesepuh adat dan Kang Yana selaku tokoh pemuda. Abah Emen Suryana sendiri adalah sesepuh adat yang telah berusia lebih dari 70 tahun. Meskipun telah berusia cukup senja, secara fisik dan gaya bicara, ia masih terlihat cukup prima.

Sejak kecil, Abah Emen Suryana mengaku tidak pernah merasakan makan nasi atau makanan yang berbahan beras lainnya. Tidak hanya Abah Emen Suryana dan Kang Yana, sebagian besar orang di sana juga mengakui hal yang sama.

Salah satu pertanyaan yang diajukan Debi kepada Abah Emen Suryana dan Kang Yana mengenai, seandainya mereka keluar dari Kampung Cireundeu dalam rangka memenuhi undangan atau hal lain yang menuntut mereka harus makan sementara makanan pokok yang ada hanya nasi, bagaimana mereka menyiasatinya?

Kang Yana yang telah sering bepergian ke beberapa wilayah di Indonesia menjawab secara filosofis dalam bahasa Sunda: “Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat” (tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal bisa makan, tidak makan asal kuat)”.

Baca Juga: Proses Penyerapan Kata Ngabuburit ke dalam Bahasa Indonesia
Percaya dari Rakensu: Tawaran Mengejar Impian
Seni Rupa Tiga Dimensi untuk Menyuarakan Peduli Lingkungan

Menurut Debi, warga kampung adat Cireundeu berprinsip bahwa kenyang tidak harus makan nasi. Seandainya tidak ada singkong (yang merupakan makanan pokok mereka) dalam suatu acara makan di luar Kampung Cireundeu, mereka cukup hanya makan sayur dan lauk pauk yang ada. Di samping itu, sebelum makan di suatu acara di luar kampung, mereka juga biasanya bertanya apakah ada makanan yang berbahan dari beras, jika ada mereka tidak akan mengkonsumsinya.

“Di tengah kondisi sulit seperti sekarang, mungkin tidak ada salahnya kita juga mau belajar dari kearifan lokal Kampung Cireundeu. Bahwa selama ini kita beranggapan penyebab kenyang itu hanya nasi, barangkali pikiran kita perlu ditata lagi. Banyak sumber karbohidrat lain di sekitar kita yang bisa menjadi sumber karbohidrat dan dijadikan sebagai pengganti nasi. Sekali lagi, kenyang karena nasi itu hanya pikiran,” tulis Debi.

Di samping itu, Debi mencatat, “ramalan” sesepuh kampung adat Cireundeu terdahulu bahwa beras akan menjadi salah satu sumber musibah mungkin ada benarnya. Betapa tidak, lihat kondisi bangsa sekarang, beras sepertinya merupakan salah satu faktor penyebab kerugian negara.

“Kita memiliki lahan pertanian yang cukup luas, tetapi beras tetap saja mengimpor dari Thailand atau Vietnam,” lanjut Debi.

Hal lain yang perlu ditinjau ulang adalah, barangkali pemerintah kita dahulu kurang arif dengan menggaung-gaungkan program swasembada beras, sementara tidak semua lahan di tanah air ini merupakan lahan yang bagus untuk menanam padi. Hal lainnya adalah, di tengah carut-marut dan galaunya kebanyakan masyarakat tanah air dengan turun naiknya harga beras, masyarakat kampung adat Cireundeu akan tetap tenang-tenang saja, karena toh mereka tidak makan nasi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//