• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mencetak Karakter Anak Bangsa Melalui Literasi

MAHASISWA BERSUARA: Mencetak Karakter Anak Bangsa Melalui Literasi

Dari laporan UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang mempunyai minat membaca.

Sabarnuddin

Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP)

Anak-anak SD membaca buku di mobil keliling Ayo Membaca Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung, 4 desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Juli 2023


BandungBergerak.idDimensi yang menentukan kemajuan suatu bangsa ialah literasinya. Dengan literasi yang baik maka akan tertanam dan terbentuk pola pikir, kemandirian, serta kebijaksaan emosional yang baik pula. Hal ini bisa diperhatikan dari kebanyakan negara maju saat ini yang terus menggalakkan pentingnya literasi untuk anak serta dampaknya untuk masa depan.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program For International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisazation For economic Co-operation and Development (OEDC)pada 2019, literasi Indonesia menempati urutan ke-62 dari 72 negara di dunia. Dan laporan dari UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen yang berarti dari 1.000 orang hanya ada 1 orang yang mempunyai minat membaca.

Hal ini harus menjadi kekhawatiran bersama baik para tokoh masyarakat, guru, dan para pemangku kebijakan di negeri ini. Bagaimana tidak? Kekayaan alam Indonesia sangat melimpah baik di darat, laut, maupun udara. Sumber daya alam ini cukup untuk menghidupi 273,52 juta jiwa rakyat Indonesia, negera dengan jumlah pertumbuhan 1,07 persen per tahun.

Dengan kekayaan yang melimpah itu seharusnya Indonesia mampu menjalani kehidupan bernegara dengan damai dan sejahtera tanpa harus mengalami kesulitan dalam ekonomi. Namun faktanya, oleh sebab tidak mampu mengelola kekayaan alam dengan baik, negeri ini kesulitan mengalokasikan setiap anggaran untuk belanja dan kebutuhan rakyat.

Secara teoritis, akan dengan mudah memberdayakan semua insan yang memiliki kehebatan dalam bidang yang dibutuhkan negara saat ini. Namun realitasnya, pendapatan para ahli yang bekerja di dalam negeri tidak sebanding dengan bila mereka bekerja di luar negeri atau swasta. Bukan perkara mudah untuk memperbaiki tatanan instansi yang saat ini sedang berjalan. Namun tidak ada kata terlambat untuk membenahi semua hal yang dirasa perlu untuk di restrukturisasi demi kemaslahatan bersama dan efisiensi pekerjaan.

Berpijak dari data yang dirilis oleh PISA di atas, maka bisa ditarik gambaran untuk proyeksi mendatang bagaimana menghadirkan minat baca anak-anak Indonesia melalui beragam hal demi kemajuan bangsa yang memiliki kekayaan alam melimpah ini. Saat ini terjadi miskonsepsi terkait dengan kebijakan pemerintah di beberapa daerah, yakni salah satunya tidak memperhatikan nasib perpustakaan dan sumber bahan bacaan untuk anak di daerah. Hal ini menjadi catatan penting bagi pemangku kebijakan dan para tokoh masyarakat yang memiliki tanggung jawab moral menjaga keberlangsungan kehidupan anak bangsa di masa yang akan datang.

Evaluasi Kebijakan Daerah

Melalui observasi di lapangan, ternyata ada banyak daerah yang tidak menghadirkan ruang dan tempat sebagai arena anak-anak bermain serta mendapatkan bahan bacaan. Kementerian terkait yakni Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Riset dan Teknologi harus lebih memprioritaskan anggaran untuk pembangunan dan pemgembangan perpustaakan daerah. Penelitian dan bahan bacaan yang mudah di akses baik secara daring (offline) maupun luring (online) akan memudahkan anak-anak menemukan minat bacaannya yang sesuai. Ekseskusi terhadap embel-embel giatkan literasi Indonesia tidak berbanding lurus dengan keadaan di daerah. Pasalnya masih banyak daerah yang kesulitan mendapatkan buku-buku dan bahan bacaan yang dibutuhkan masyarakat.

Bukan perkara mudah untuk menghadirkan minat baca di kalangan masyarakat awam, terutama para generasi penerus bangsa yang memiliki andil besar dalam mengisi wajah Indonesia di masa yang akan datang. Namun hal semacam ini akan dengan mudah diatasi bila dikeluarkan kebijakan mengenai pengembangan dan keberlanjutan literasi di daerah. Berdasarkan laporan dari Deputi bidang Pengembangan Sumber Daya Pepustakaan, Perpustakaan RI (Perpusnas) Dedi Kurniadi (25/5/2022), menegaskan jumlah koleksi di perpustakaan daerah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia rasionya 1:90. Artinya 1 buku ditunggu oleh 90 orang, dan menurut standar UNESCO 1 orang itu menunggu 3 buku. Hal ini sangat memprihatinkan dunia literasi Indonesia yang tidak terperhatikan dengan baik.

Sosialisasi Orang Tua

Kehadiran sang anak dalam rumah tangga akan semakin menambah keharmonisan dalam mejalani kehidupan suami istri. Namun, akan menjadi problem bila sejak dini anak tidak diajarkan nilai-nilai yang luhur dalam berinteraksi dengan orang lain terutama dengan teman-teman sebayanya. Ada banyak sekali dampak yang diterima oleh sang anak yang tidak mendapatkan pengajaran yang baik perihal berperilaku yang sopan dan menghargai orang lain. Salah satu cara mendidik sejak dini ialah menampilkan hal-hal yang baik di hadapannya, baik secara visual, audio, maupun audio-visual. Gerakan literasi Indonesia bila tidak didukung oleh orang tua yang melek dengan problematika saat ini akan justru memperunyam masalah.

Sebagai gambaran, dengan memberikan perhatian yang serius pada sang anak yang memilki bakat yang unik baik di bidang olahraga, seni, teknologi, budaya, agama, politik, dan lain-lain, Maka lambat laun dia akan memahami arah tujuan hidupnya. Dan dengan memahami tujuan yang jelas dari hidupnya, akan menambah aset negara berupa tenaga ahli dalam satu bidang untuk mengelola kekayaan alam Indonesia.

Semua berawal dari unit terkecil dari peradaban manusia yakni keluarga. Pokok dari semua problematika yang terjadi juga berawal dari keluarga. Bila banyak terjadi kekacauan dalam keluarga maka akan banyak problem yang harus diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu perlu ada penyegaran dan pendampingan dalam unit terkecil masyarakat di negeri ini untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas generasi emas. Sebaliknya bila yang terjadi justru penyampaian yang salah dalam keluarga dan saling menyalahkan dalam internal masyarakat, maka akan menimbulkan efek baru; anak-anak akan semakin merajalela berbuat sesuka hati karena mereka kurang diperhatikan oleh kedua orang tua dan masyarakatnya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Perjanjian Perkawinan, Pentingkah?
MAHASISWA BERSUARA: Pemerintah Gagal Mengelola Sampah Kota Bandung?
MAHASISWA BERSUARA: Legalisasi Aborsi Bukan Solusi

Kondusivitas di Sekolah

Semua hal yang terjadi di sekolah sudah barang tentu menjadi tanggung jawab para guru dan kepala sekolah. Termasuk mengatasi rendahnya literasi di kalangan anak-anak bisa digenjot melalui sekolah-sekolah. Sebagai patokan sederhana dengan menerapkan satu anak satu buku per  bulan. Maka dalam satu tahun akan ada 12 buku yang dibaca oleh sang anak. Bila dalam satu sekolah ada 400 murid, maka akan ada 400 buku yang dibaca oleh murid. Ini baru perkiraan satu bulan satu buku, mustahil rasanya satu bulan hanya satu buku, terlebih lagi anak-anak zaman sekarang sudah lancar membaca dan sangat lihai dalam memperhatikan bahan bacaan.

Bila satu anak bisa menuntaskan satu, dua, atau bahkan tiga buku, maka akan terlihat dalam beberapa tahun yang akan datang, akan bermunculan anak-anak yang cerdas dan berprestasi yang akan membanggakan serta memberikan efek positif bagi orang tua, sekolah, dan masyarakatnya. Bila semua pihak bekerja sama memberikan semua kekuatannya untuk membentuk karakter anak bangsa yang sesungguhnya, maka akan terlihat sempurna peradaban yang penuh dengan teknologi canggih, ilmu pengetahuan meningkat, serta kekuatan bangsa yang terstruktur berkat kehebatan menebarkan pesona literasi pada generasi muda.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//