• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #27: Sanah Belanda, Sinih Bumiputra

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #27: Sanah Belanda, Sinih Bumiputra

Kata Sanah dan Sinih lebih menunjuk kepada orang Belanda (Eropa dan imperlialisme barat) dan bumiputra. Untuk memupuk nasionalisme.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Rakyat kecil bangsa bumiputra disebut takut kepada Belanda, sekaligus dituntut menyembah seperti halnya kepada priyayi Sunda atau Jawa. (Sumber: Sipatahoenan, 13 Maret 1929)

6 Juli 2023


BandungBergerak.idPada edisi-edisi 1920-an hingga akhir 1930-an, saya mendapati banyaknya pengunaan kata “SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #25: Dua Edisi yang Disita PolisiSanah” dan “Sinih”, sebagai pelafalan untuk kata sana dan sini, dalam Sipatahoenan. Kedua kata tersebut umumnya digunakan berkait dengan kata-kata sebelumnya, seperti “Kaom Sanah”, “Kaom Sinih”, “Kaoem Sanah”, “Kaoem Sinih”, “Bangsa Sanah”, “Bangsa Sinih”, “Pihak Sanah”, “Pihak Sinih”, “Soerat kabar sanah”, “Soerat kabar sinih”, “Pers Sanah”, dan “Pers Sinih”.

Bila dilihat konteks penggunaannya, sebagai kata ganti penunjuk tempat yang jauh dan dekat juga kerap digunakan sebagai kata ganti diri, “Sanah” dan “Sinih” menandakan perbedaan yang mencolok. Kata “Sanah” umumnya digunakan untuk merujuk kepada Belanda atau hal-hal yang berkaitan dengan Eropa, kolonialisme, dan imperialisme, sementara kata “Sinih” kebanyakan digunakan untuk menunjukkan bumiputra, Indonesia, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan bumiputra.

Mari kita telusuri bukti-buktinya. Dari tulisan “Awas!” (Sipatahoenan, 26 Juli 1927), penulis mengingatkan kepada bumiputra, terutama Sunda, agar waspada terhadap suara dan kerja-kerja PRB atau PEB di Volksraad (dewan rakyat). Sebab katanya, “Oepama bitjara goena sanah, moal salah deui lain batoer oerang eta kaom atawa partij anoe kitoe teh” (Bila membicara keuntungan pihak sana, tak salah lagi sebab mereka bukan kawan atau partai bangsa kita).

Dari tulisan “Kapangkatan djeung Agama” (Sipatahoenan, 21 Agustus 1928), penulisnya menulis begini: “Hal kahawekan, lain kaom sanah bae, kaom sinih oge samiwonten, memang jaktos, sipat djelema masih keneh djelema biasa, kahawekan moal leungit. Tapi heug bandingkeun hawek oerang djeung itoe. Tapi hal ieu mah bijzaak” (Mengenai kerakusan, bukan dominasi kaum sana saja, demikian pula kaum sini, memang begitu sifat orang biasa, sehingga kerakusan takkan pernah musnah. Tapi coba saja bandingkan kerakusan kita dengan mereka. Meskipun hal ini per kasus). 

Kata “Sanah” dalam tulisan tersebut diawali dengan pembicaraan tentang orang Belanda dan bangsa bumiputra yang masuk agama Kristen dan menganggap dirinya sebagai bangsa Belanda, sehingga melupakan kebangsaannya (“Ari eta mah sok aja [doeka loba henteuna] bangsa oerang noe asoep karesten, toeloej nganggap dirina djadi Walanda ... kawasna djoerg MS oge moal bisa nampik; komo noe tjara andjeunna, tetep dina kabangsaanana, tangtos bisa nangarakeun”). 

Dalam laporan rapat perkumpulan politik di Bandung pada 30 Desember 1928 yang diselenggarakan PNI Cabang Bandung, dengan maksud mengadakan peringatan terhadap jasa-jasa dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan penjelasan pembuangannya, kata “Sanah” juga muncul lagi (“30 December: Dintenan djrg. Dr. Tjipto diiangkeun ka poelo Benda”, Sipatahoenan, 9 Januari 1929).

Kata “Sanah” muncul dalam paragraf ini: “Bangsa oerang noe dibaroeang teu kenging kaloear ti Indonesia, eta oge pantes, margi di nagara deungeun mah tangtos atoeranana benten sareng di oerang, sanaos di tanah djadjahan oge, soemawonten di Eropa mah tanah anoe merdika, tangtoe pisan anoe dibaroeang teh ana maroelih deui ka tanah oerang njarandak oleh-oleh, anoe tjek kaoem sanah ‘orang sinih tarada boleh taoe” (Bangsa kita yang dibuang tidak boleh keluar dari Indonesia, itu pun pantas, sebab di negara lain tentu saja memiliki aturan yang berbeda dari tempat kita, meskipun sama di tanah jajahan, apalagi di Eropa yang merupakan tanah merdeka, tentu saja yang dibuang akan membawa oleh-oleh kala mereka pulang. Oleh-oleh yang kata kaum sana, orang sini tidak boleh tahu).

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #24: M. A. Salmun, Kontributor Paling Produktif
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #25: Pengadilan Pemimpin PNI dan Sebutan Si Etjes
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #25: Dua Edisi yang Disita Polisi

Bangsa yang Ditundukkan

Kantja Haen menulis artikel berjudul “Paingan” dalam edisi 13 Maret 1929, yang mengontraskan bangsa Haen (kependekan dari Marhaen, yang berarti rakyat kecil) dengan Belanda. Katanya kaum marhaen bukan saja takut kepada Belanda tetapi juga menghormatinya layaknya kepada priyayi Sunda dan Jawa, karena mereka tidak tahu etikanya (“Geus poegoeh bangsa Haen koe Walanda teh sieun sarta dina ngahormatna disaroeakeun djeung ka menak Soenda atawa Djawa, lantaran aja pangarahan, tapi koe bawaning henteu njahoeun tata Walanda bae, sabab teu diadjar tea”).

Orang-orang Belanda yang ingin dihormat-hormat itu terutama kalangan pamongpraja, pendidikan, dan perkebunan (“Walanda-Walanda anoe hajang dihormat-horma koe tatakrama oerang meh di sagala golongan, babakoena di BB, Onderwijs djeung Onderneming”). Salah satu sebabnya, konon, karena salah bumiputra sendiri, seakan mengajari Belanda demikian, dan memang karena tuntutan bagi bangsa yang ditundukkan (“Tah matjem kieu teh seueur, da diwarah koe bangsa oerang, abong djadi pataloekan”).

Oleh karena itu, Kantja Haen menulis, “Geura mangga maranahan koe noe maraos, di mana bangsa oerang rek dianggap koe kaom sanah, lamoen loba keneh boedjoerlikkers mah” (Coba saja pikirkan oleh para pembaca, di mana bangsa kita akan dianggap oleh kaum sana, apabila masih banyak yang menjadi penjilat pantat).

Sementara Joesoeph S melalui artikelnya “Kasehatan” (Sipatahoenan, 26 Oktober 1929) menuntut perbaikan kesehatan bagi bangsa Haen atau rakyat kecil yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang sangat jauh dari kota. Padahal di kota-kota, seperti Bandung, banyak fasilitas kesehatan, sehingga muncul kata-kata “Eta teh pangdiajakeun, ora lian, ngan pikeun ngadjaga kasehatanana inwoners, boh bangsa sanah boh sinih” (Fasilitas tersebut diadakan tiada lain untuk menjaga kesehatan penduduknya, baik bangsa sana maupun sini).

Samja memperjelas yang disebut “Sanah” itu memang Belanda (“Keras Contra Keras”, dalam Sipatahoenan, 30 Juni 1930). Katanya, “Bedja noe kieu teh koe sabeulah sanah, ditjap jen djrg. A. Salim hidji djalma ‘anti-Blanda’” (Kabar seperti demikian oleh pihak sebelah sana, digunakan untuk mencap bahwa Tuan A. Salim adalah orang yang anti-Belanda). Selain itu, seorang saksi dalam pengadilan Sukarno cs tahun 1930, ada yang bilang bahwa “Anoe dimaksoed ‘orang sanah’ di dinja, nja eta imperialisme” (yang dimaksud orang sana di situ, adalah imperialisme) (Sipatahoenan, 1 November 1930).

Untuk kontras antara pers bumiputra dengan pers Belanda juga digunakan istilah “Sanah” dan “Sinih”, seperti yang nampak dari kalimat-kalimat, “Soerat kabar sanah di oerang koe ajana pamaksoedan pamarentah rek ngabelenggoe pers, miloe riboet, reang hajang oelah toeloes, tapi lamoen dipikir-pikir kalawan oerang inget kana bedana itoe djeung oerang, sigana teh ngan tamba henteu miloe recok bae, boeboehan katalian koe ketjap journalistiek lantaran kadjeun teuing kabeungkeut koe ketjap pers, ari hidji atoeran noe matak njeri mah tjan karoehan malah beunang ditangtoekeun moal saroea karasa njerina koe sanah djeung sinih. Djadi sagala roepa ririba neumbleuh di oerang-oerang keneh bae” (“Nasib Pers di Indonesia”, 27 Juli 1931).

Artinya, dengan adanya maksud pemerintah hendak membelenggu pers, surat kabar sana yang ada di kita banyak yang turut ribut, inginnya tidak jadi dilaksanakan, tapi bila dipikir-pikir dengan mengingat adanya perbedaan itu dengan kita, agaknya mereka hanya turut ribut belaka, karena tersangkut dengan kata jurnalistik, sebab meskipun terikat dengan kata pers, bila ada aturan yang akan menyebabkan rasa sakit belum tentu, bahkan bisa disebutkan, takkan sama terasa nyerinya oleh sana dan sini. Alhasil, segala kendala masih menimpa kita.

Satu contoh lagi, kata “Sanah” dan “Sinih” ada dalam laporan pembahasan Ir. Rooseno saat Algemeene Beschouwingen Bahroeteng 1939 di Staadsgemeenteraad Bandoeng atau dewan kota Bandung (“Noe dipedar koe Ir. Rooseno”, Sipatahoenan, 19 Januari 1939). Dalam laporan itu antara lain ditulis, “Pangeledan saroepa kitoe teh bakal bisa dipake ngarioetkeun djoerang antara sinih djeung sanah, antara noe ngadjadjah djeung noe didjadjah, antara blank djeung bruin, noe hartina penting keur paham doenja anoe ngoedag kana kasantosaan batin djelema” (Akomodasi seperti itu akan bisa dipakai untuk memperkecil jurang antara sini dan sana, antara yang menjajah dan terjajah, antara kosong dan cokelat, yang artina penting untuk memahami dunia yang hendak mengejar kesentausaan batin manusia).

Dari uraian di atas, menurut saya, kata “Sanah” dan “Sinih” lebih menunjuk kepada kata ganti untuk orang Belanda (Eropa dan imperlialisme barat) dan bangsa bumiputra, ketimbang sebagai kata penunjuk tempat. Kedua kata tersebut sengaja dibuat kontras oleh redaksi dan kontributor Sipatahoenan demi terbentuk sekaligus terpupuknya rasa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia di antara orang-orang Sunda yang menjadi pelanggan atau pembaca surat kabar tersebut. Dengan demikian, secara langsung atau tidak, penggunaan kata “Sanah” dan “Sinih” dalam Sipatahoenan menunjukkan ideologi yang dikedepankan oleh Paguyuban Pasundan, sebagai penerbit koran tersebut, yaitu nasionalisme Indonesia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//