BRT Bandung Raya Kurang Menyentuh Rute-rute Baru
Koridor BRT Bandung Raya lebih banyak memodifikasi rute yang ada. Bus Raya Terpadu ini juga harus terintegrasi dengan transportasi lainnya, jangan jalan sendiri.
Penulis Awla Rajul7 Juli 2023
BandungBergerak.id - Bus Raya Terpadu (Bus Rapid Transit (BRT)) Bandung Raya akan mulai dibangun 2024 mendatang. Kabar ini sudah lama ditunggu-tunggu warga pengguna transportasi publik. Meski demikian, megraproyek hasil kerja sama Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, dan Kementerian Perhubungan yang didanai Bank Dunia ini tidak banyak menawarkan rute baru.
Dari 20 jalur BRT Bandung Raya yang direncanakan, sebagian menggunakan jalur-jalur transportasi umum yang sudah ada baik modifikasi dari baik jalur bus maupun jalur angkot. Sementara beberapa kawasan di Bandung Raya yang dinilai blankspot karena tidak terjangkau angkutan umum, masih tetap blankspot.
Di sisi lain, pembangunan BRT Bandung Raya harus terintegrasi dengan moda transportasi publik yang sudah ada. Tanpa integrasi ini BRT Bandung Raya menjadi kurang efektif melayani angkutan publik.
Kepala Bidang Perkeretaapian dan Pengembangan Transportasi Dinas Perhubungan Jawa Barat, Dhani Gumelar menjelaskan, program BRT Bandung Raya akan menghubungkan lima daerah, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang.
BRT Bandung Raya rencananya akan melayani 20 koridor dengan jumlah armada lebih kurang 450 bus. Dari sebanyak 450 bus, sebanyak 40 persennya wajib menggunakan bus listrik sesuai dengan ketentuan Bank Dunia.
Sebanyak 20 jalur BRT Bandung Raya terdiri dari Kebon Kalapa Cibiru (PP), Kebon Kalapa Ledeng (PP), Leuwipanjang Dago (PP), Leuwipanjang Dago (via Dipatiukur) (PP), Elang Riau (PP).
Jalur lainnya adalah Padjajaran Antapani (PP), Cibaduyut Alun-alun (PP), Stasiun Padalarang Alun-alun (PP), Stasiun Cimahi Cicaheum (PP), Ledeng Terminal Antapani (PP), LeuwipanjangTegalluar (PP), Stasiun Hall Tegalluar (PP), Leuwipanjang Soreang (PP), Leuwipanjang Jatinangor (PP), Baleendah Leuwipanjang (PP), BEC Baleendah (PP), Sarijadi Antapani (PP), Lembang Ledeng (Ext) (PP), KBP Stasiun Padalarang (PP), dan Baleendah Banjaran (Ext) (PP).
BRT Bandung Raya ditargetkan beroperasi pada tahun 2026 atau 2027 mendatang. Dhani mengklaim BRT Bandung Raya akan terintegrasi dengan moda transportasi lain yang sudah berjalan. Salah satu titik integrasi ini berada di Cimahi, Stasiun Padalarang, dan Stasiun KCJB Tegalluar. Estimasi penumpang yang bisa ditampung BRT Bandung Raya dalam sehari sebanyak 238.277 orang.
“Karena memerlukan infrastruktur khusus, jadi proses pembangunannya memang cukup lama. Kurang lebih tiga tahun. Tahun depan (2024) kita akan mulai menyiapkan infrstrukturnya seperti jalur khusus, selter, dan sarana pendukung lainnya,” ungkap Dhani, dikutip dari siaran pers, Jumat (7/7/2023).
Mengenai anggaran pembangunan BRT Bandung Raya, ia mengatakan sumber dana berasal dari Bank Dunia melalui pemerintah pusat. Namun ke depan ada skema besaran pembiayaan yang harus dikeluarkan APBD Kota Bandung. Menurutnya, perkiraan Public Service Obligation (PSO) Kota Bandung tahun 2025 nanti sebesar Rp64,1 miliar. Tahun 2026 sebesar Rp122,4 miliar. Lalu tahun 2027 sebesar Rp151,7 miliar.
Co-Founder TransportforBandung (TFB) Muhammad Zulyadri menilai, dari dari 20 jalur yang direncanakan hanya beberapa saja rute yang tergolong baru, misalnya Tegalluar – Leuwipanjang, Tegalluar – St. Hall. Sebagian besar adalah modifikasi rute transportasi publik yang sudah ada.
“Itu teh kalau diliat sebagian jalurnya dari koridor bis yang udah ada, sebagian dari koridor bis yang udah ada dan dimodifikasi, sebagian juga dari rute angkot yang udah ada, ada juga rute angkota yang udah ada dimodifikasi,” ungkap pegiat komunitas transportasi publik ini, melalui sambungan telepon, Kamis (6/7/2023).
Menurutnya, beberapa jalur yang benar-benar baru merupakan langkah bagus untuk memperluas cakupan layanan transportasi umum di Bandung Raya. Namun, ia juga menemukan masih ada jalur-jalur yang selama ini kurang tersentuh transportasi publik, bahkan ada yang tergolong blankspot. Salah satu blankspot berada di Jalan Sukarno Hatta dari Leuwipanjang ke Elang dan kawasan Arcamanik.
“Nah ternyata pengembangan ini juga masih ada blank spot-nya. Itu kan kawasan padat, pergerakan juga tinggi. Jadi ini BRT pakai rute existing iya, rute existing dimodifikasi iya, menambah rute iya, tapi belum sempurnalah penambahannya. Ternyata masih ada juga blankspot-nya,” lanjut Zulyadri.
Zulyadri mengaku komunitasnya memang tidak bisa mendorong langsung soal rute BRT ini. Namun pihaknya terbuka untuk berkolaborasi jika diminta masukan soal penambahan rute BRT.
Ia menyarankan, sebaiknya BRT didorong pada jalur-jalur blankspot. Meski tidak ada koridor khusus, minimal jalur blankspot ini dilalui oleh satu atau dua koridor BRT.
Potensi Gesekan dengan Angkot
Zulyadri juga mengingatkan tentang potensi gesekan BRT dengan moda transportasi yang dikelola swasta, yaitu angkutan kota (Angkot). Hal ini berkaca pada saat pemberlakuan Trans Metro Pasundan yang mengalami gesekan dengan angkot.
Untuk program BRT ini, Zulyadri menyarankan agar angkot dijadikan pengumpan bus (feeder). Maka komunikasi dan koordinasi antara pemerintah dan pihak pengelola angkot harus dimulai.
“Mengingat ini kan di Bandung Raya, jadi bukan cuma Kota Bandung, masing-masing Pemda harusnya sudah berkoordinasi supaya nanti ketika sudah berjalan, sistem angkotnya atau sistem feedernya udah siap. Karena kalau dari sekarang gak diapa-apain bakal ada penolakan,” ungkapnya, seraya menambahkan program BRT Bandung Raya sekaligus bisa menjadi momen pembenahan dan pengembangan angkot.
Baca Juga: Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik
Masyarakat Mau Beralih dari Kendaraan Pribadi, Transportasi Publiknya Belum Memadai
Ratapan Pengguna Roda Empat
Jangan Jalan Sendiri-sendiri
Pakar Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono menegaskan, program BRT Bandung Raya haruslah terintegrasi dengan moda transportasi umum yang sudah ada sekaligus memperluas cakupan layanannya.
“Pertanyaannya sekarang adalah apakah semua akan terintegrasi? Kalau terintegrasi bagus. Jadi harapannya itu, semua layanan angkutan umum itu, apa pun yang mendanai, siapa pun yang menjalani itu terintegrasi dan yang kedua memperluas cakupan layanan,” terang Sony, saat dihubungi BandungBergerak.id melalui sambungan telepon.
Sony mengungkapkan hal itu bukan tanpa alasan. Di Bandung Raya sudah ada Trans Metro Pasundan, program dari Kemenhub dengan skema buy the service yang dilaksanakan oleh Dishub Provinsi Jabar. Di Kota Bandung juga ada Trans Metro Bandung (TMB), DAMRI, serta Angkot yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan koperasi-koperasi.
Selama ini semua transportasi umum tersebut berjalan sendiri-sendiri. Makanya menurut Sony, integrasi sangat penting bagi seluruh transportasi umum. Selanjutnya, transportasi publik ini harus memperluas cakupan layanan dengan membuka koridor di wilayah-wilayah baru yang kebutuhan transportasi umumnya tinggi.
Sony menyebutkan, saat program TMB diluncurkan, koridor yang ditawarkan mengambil rute-rute yang sudah ada, misal rute yang dilayani oleh DAMRI. Demikian pula saat peluncuran program TMP. Memang ada rute-rute baru yang mencapai Kota Baru Parahyangan, Gading Tutuka, maupun Mall BEC. Namun, secara umum untuk jalur di Kota Bandung masih menggunakan koridor lama.
“Ada sedikit terobosan, rute-rute baru, tetapi tidak signifikan. Akibatnya apa? di Bandung raya masih banyak kawasan yang tidak terlayani angkutan umum,” tegas Sony.
Sony melanjutkan, upaya melakukan integrasi seluruh transportasi umum di Bandung Raya tinggal menyisakan keseriusan dari pemerintah. Beberapa moda transportasi umum yang dikelola pihak provinsi, kabupaten/kota, maupun koperasi harus saling berdiskusi untuk mewujudkannya.
Sony juga menyebutkan perlunya kepemimpinan (leading sector) yang fokus mengawal integrasi ini. Hal ini bisa dilakukan oleh Dishub Provinsi Jawa Barat atau sekalian dilakukan oleh Badan Koordinasi Cekungan Bandung.
Selain itu, Sony menilai jalur angkot di Kota Bandung harus diatur ulang dijadikan pengumpan untuk bus. Setiap kabupaten/kota mempunyai rencana masing-masing juga yang menghambat upaya integrasi transportasi umum di Bandung Raya. Misalnya rencana Kabupaten Bandung yang mau mengatur ulang dari sekitar 30 rute diubah menjadi enam atau tujuh rute.
“Itu konsep yang bagus, tapi begitu saya liat rencana enam atau tujuh itu gak ada hubungannya dengan integrasi yang teman bus. Artinya apa, kota-kota di Cekungan Bandung itu punya planning sendiri-sendiri. Nah ini yang harus dipertemukan,” ungkap Sony.
Sony menekankan pentingnya integrasi transportasi umum di Bandung Raya harus digodok bersama-sama, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota, pengusaha-pengusaha transportasi, hingga koperasi-koperasi. Sebab, persoalan kemacetan di Kota Bandung tidak lepas disebabkan dari daerah-daerah di sekitarnya, makanya cara berpikir untuk menyelesaikannya dengan integrasi.
Selain itu, Sony menyebutkan, karena pelaksanaan pembangunan yang akan dimulai tahun depan, penting bagi masyarakat untuk mengawal prosesnya. Rencana pembuatan jalur khusus, penempatan halte, dipastikan sesuai dan menunjang jalannya integrasi. Pemerintah juga perlu memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai integrasi transportasi umum yang sedang dibangun.
Masyarakat di Bandung Raya relatif berbeda dibadingkan masyarakat di Jabodetabek yang sudah terbiasa dengan integrasi angkutan umum. Mengenai sosialisasi ini, pemerintah bisa juga meminta bantuan kepada komunitas di Bandung.
“Yang penting juga jangan kita melakukan edukasi ke masyarakat tapi pemerintahnya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang kita edukasikan. Kan jadinya gak nyambung juga,” tutup Sony.