• Nusantara
  • Jawa Barat Mendulang Investasi Asing, Untung atau Buntung?

Jawa Barat Mendulang Investasi Asing, Untung atau Buntung?

Ridwan Kamil mengumumkan telah menjalin kesepatakan investasi dengan industri mobil listrik Wuling di Jabar. Investasi modal asing memiliki dampak negatif.

Tol Cisumdawu seksi 4-6 dibuka secara fungsional selama mudik lebaran. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 Agustus 2023


BandungBergerak.idProvinsi Jawa Barat (Jabar) gencar mendulang investor asing untuk menanamkan modal usaha mereka. Kabar terbaru, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengumumkan telah menjalin kesepatakan investasi sebesar dua triliun rupiah untuk pengembangan industri mobil listrik Wuling di Jabar.

Kabar tersebut tentu positif karena lapangan kerja di Jabar kemungkinan besar akan bertambah luas. Namun di samping itu, suatu investasi asing ada syarat atau motif yang terkadang merugikan daerah yang menjadi tempat penanaman modal. Setiap investor pasti ingin meraih keuntungan dari investasi yang dilakukannya.

Tahun ini, Pemda Provinsi Jawa Barat mendapatkan target realisasi investasi, baik dari Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanam Modal Asing (PMA) sebesar 188,01 triliun rupiah. Salah satu tantangan Pemprov Jabar untuk menyambut modal luar negeri itu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Jabar yang andal.

Ridwan Kamil mengklaim Pemda Provinsi Jabar konsisten memperkuat SDM. Ia mengaku telah menyiapkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang adaptif sesuai kebutuhan industri. "Kurikulum SMK kita sudah tematik, ada SMK Shopee, SMK Samsung, SMK Microsoft dan lainnya," tutur Ridwan Kamil, dalam siaran pers yang dikutip Selasa (1/8/2023).

Menurutnya, SDM Jabar yang kompetitif ini menjadi salah satu alasan investor asing maupun dalam negeri untuk menanamkan modalnya di Jabar. Sementara alasan lainnya yaitu lengkapnya infrastruktur dan kemudahan perizinan.

Dampak Modal Asing

Harapan negara-negara berkembang seperti Indonesia atas peranan modal asing yang masuk ke negaranya adalah sebagai sumber dana eksternal sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Begitu juga hipotesis untuk di Jawa Barat.

Akan tetapi hipotesis tersebut sangat bertolak belakang dengan dampak negatif masuknya modal asing. Didit Purnomo dalam jurnal ilmiah “Dampak Aliran Modal Asing bagi Negara-negara Berkembang” membeberkan dampak negatif modal asing bagi Indonesia dalam kurun 1973-1990. Didit mencatat dampak negatif masuknya modal asing sebesar 10 kali lipat.

Penulis dari Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta ini membedah beberapa contoh alokasi bantuan asing (khususnya arus bantuan publik (official development assistance, ODA) bagi sejumlah negara di Asia. Secara geografis regional, kawasan Asia Selatan yang dihuni hampir 50 persen penduduk termiskin di dunia, hanya menerima ODA sebesar 5 dolar AS per kapita dibanding kawasan Timur Tengah yang pendapatan per kapitanya tiga kali lipat, justru menerima ODA hingga 11 kali lebih besar, yakni sekitar 55 dolar AS per kapita.

Untuk kasus di Indonesia, lanjut Didit, perkembangan jumlah investasi yang semakin membesar berimplikasi terhadap jumlah pembayarannya. Jumlah pembayaran bunga utang yang dibayarkan per tahun mendekati jumlah pembayaran cicilan pokok utang.

“Sehingga "rontoklah" istilah "utang adalah bantuan yang berdimensi kemanusiaan". Beban yang demikian berat itu justru merapuhkan sistem fiskal dan perekonomian,” tulis Didit Purnomo, diakses Selasa (1/8/2023).

Sebagai gambaran, Didit merilis data pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah dan BUMN antara 1980-1999. Pada 1980, jumlah cicilan yang harus dibayar sebesar 939 dolar AS dengan bunga 823 dolar AS. Pada 1999 jumlah cicilan pokok 4.486 dolar AS dengan cicilan 3.630 dolar AS.

Dengan demikian, tulis Didit, dampak bantuan luar negeri tidak sepenuhnya positif, dalam arti 'membawa kesuksesan' bagi negara penerima bantuan telah banyak diteliti oleh berbagai pihak. Hasil riset memberikan hipotesis pengaruh yang merusak bagi perekonomuian negara pengutang.

Sejumlah analis juga sudah lama melontarkan kritik terhadap bantuan luar negeri. Mereka, sambung Didit, mengatakan bahwa hampir semua penyediaan bantuan tersebut didasarkan atas motif dan kepentingan negara-negara donor, bukan didasarkan atas kepentingan dan aspirasi negara-negara penerima bantuan.

Baca Juga: PKL, Stigma, dan Ruang Kota
Pedagang Membawa Kasus Swastanisasi Pasar Banjaran ke Gedung Sate dan DPRD Jabar
Selamatkan Pedagang Pasar Baru Bandung!

Kendaraan Kolonial

Salah satu investor yang kini gencar menanamkan modalnya adalah perusahaan multinasional (multinational corporations (MNC)). Perusahaan-perusahaan raksasa ini gigih mencari kesempatan-kesempatan ekonomi di setiap penjuru dunia. Mereka sering kali mendominasi berbagai komoditi dagang di negara-negara berkembang.

“Bahkan muncul anggapan MNC sebagai kendaraan kolonial negara maju, di samping menyebabkan kerusakan sosial dan lingkungan,” papar Didit.

Lebih jauh, Didit mencontohkan bahwa kekuatan ekonomi para MNC berpengaruh pada keputusan politis, misalnya menyuap pejabat atau aparat korup untuk kepentingan mereka. Kasus di Chili pada 1970-an membuktikan hal tersebut. Saat itu perusahaan multinasional dari AS turut mendukung kekuatan militer Jenderal Pinochet untuk mengkudeta Presiden Salvador Allende yang hendak membawa Chili ke arah sosialisme.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//