• Nusantara
  • Selain Warga Air Bangis, Jurnalis dan Advokat Publik juga Mengalami Kekerasan oleh Kepolisian

Selain Warga Air Bangis, Jurnalis dan Advokat Publik juga Mengalami Kekerasan oleh Kepolisian

Warga Air Bangis bermaksud memperjuangkan tanah yang menjadi hak mereka melalui aksi damai. Upaya warga disambut represi oleh aparat kepolisian.

Kekerasan terhadap jurnalis yang menghambat kebebasan pers cenderung meningkat setiap tahunnya. Aliansi Jurnalis Independen sebagai salah satu organisasi jurnalis yang aktif menyuarakan kebebasan pers. (Foto Ilustrasi: AJI, diakses Selasa, 9 Agustus 2022)*

Penulis Iman Herdiana7 Agustus 2023


BandungBergerak.idKekerasan dan intimidasi (represi) dari aparat kepolisian menodai aksi unjuk rasa damai yang dilakukan warga Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Tak hanya warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya, sejumlah jurnalis dan advikat publik turut mendapat represi ini. 

Represi aparat kepolisian terhadap aksi warga Air Bangis ini tampak dari sejumlah unggahan video di media sosial yang berlangsung mulai Sabtu (5/8/2023), ketika warga sedang di dalam Masjid Raya Padang. Video ini beredar luas, antara lain dapat disaksikan di akun Instagram @yayasanlbhindonesia.

Berdasarkan siaran pers Forum Advokat untuk Perlindungan Profesi, aksi unjuk rasa masyarakat Air Bangis berlangsung sejak 31 Juli 2023. Aksi ini dilatarbelakangi upaya warga memperjuangkan hak tanahnya yang terancam tergerus pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) kawasan industri dengan investasi sebesar 150 triliun rupiah yang dibangun oleh Pabrik oleh PT Abaco Pasific. Warga jauh-jauh datang ke pusat pemerintahan provinsi bermaksud menyampaikan aspirasi mereka melalui audiensi dengan Gubernur Sumatera Barat agar PSN dipikirkan kembali.

Satu pekan telah berlangsung aksi damai masyarakat Air Bangis yang didampinggi oleh pengacara publik dari Yayasan LBH Indonesia kantor LBH Padang, organisasi kemasyarakatan (CSO), dan mahasiwa berlangsung. Akan tetapi, pada Sabtu siang (5/8/2023), masyarakat dipaksa pulang, dan 7 orang advokat, mahasiswa, dan tokoh masyarakat dibawa ke Mapolda Sumbar.

Bahkan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat mencatat ada 17 orang yang ditahan oleh kepolisian, terdiri dari tokoh masyarakat, advokat/pendamping masyarakat, dan wartawan.

Warga dipaksa pulang di saat tujuan utama mereka untuk beraudiensi dengan Gubernur Sumatera Barat belum terwujud.

Juru bicara Forum Advokat untuk Perlindungan Profesi Alvon Kurnia Palma mengatakan penangkapan 7 orang Advokat LBH Padang oleh aparat Polda Sumatera Barat belum jelas statusnya. Hal ini bertentangan dengan nilai dan prinsip peradilan pidana terpadu (criminal justice system) yang harus menjelaskan kepada “terperiksa” status pemeriksaan dan proses hukum yang dihadapinya.

Menurutnya, penangkapan tersebut melanggar dan tidak menghormati profesi hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Point 16 dan 17 Basic Principles on the Role of Lawyers.

Tak hanya itu, sejumlah jurnalis peliput aksi masyarakat Air Bangis di Masjid Raya Sumbar juga mendapatkan kekerasan, intimidasi, dan penghalangan oleh personel kepolisian. Dalam pernyataan sikap AJI Padang, PFI Padang, dan IJTI Sumbar disebutkan, represi terhadap jurnalis terjadi ketika proses pemulangan masyarakat Air Bangis yang bertahan di lokasi, setelah menggelar demonstrasi sejak 31 Juli hingga 4 Agustus 2023 di Kantor Gubernur Sumatera Barat.

Dari data yang didapatkan AJI Padang, sedikitnya 4 orang jurnalis yang menjadi korban. Seorang jurnalis Tribunnews, dipiting oleh polisi berpakaian bebas saat sedang merekam kondisi sambil live streaming untuk medianya. Ia sebelumnya juga dilarang mengambil gambar dan ponselnya juga berupaya direnggut.

Jurnalis Tribunnews tersebut menjelaskan, sekitar jam 15.30 WIB, ia sedang melakukan siaran langsung di Facebook Tribunpadang.com dan merekam situasi pemulangan warga Jorong Pigogah Pati Bubur di pelataran Masjid Raya Sumbar.

Mulanya kegiatan siaran langsung berjalan lancar. Setelah dua menit merekam kondisi warga, ia mengarahkan kamera ke arah aparat polisi yang sedang menarik-narik seorang perempuan.

“Saya mengikuti kerumunan itu hingga jarak lebih kurang tiga meter. Namun tiba-tiba saat saya merekam, tiba-tiba datang beberapa orang berpakaian preman dan menarik saya. Handphone saya sempat diambil paksa. Lalu aparat tersebut menanyakan apa tujuan saya dan saya menjelaskan kalau saya sedang liputan,” katanya.

Ia baru dilepaskan setelah dua orang jurnalis rekannya, jurnalis Tempo dan Ketua AJI Padang Aidil Ichlas, menyampaikan protes kepada para polisi, karena rekan mereka diamankan. Namun saat upaya itu, petugas juga mengangkat kerah baju jurnalis Tempo dan melontarkan ancaman. Aidil Ichlas juga mendapatkan ancaman dari petugas yang sama.

Beberapa menit kemudian, sejumlah perwira dari Polresta Padang menengahi dan meminta maaf kepada para jurnalis atas peristiwa tersebut.

Perilaku intimidasi juga dialami oleh jurnalis Padang TV. Saat itu, ia sedang mengambil gambar penangkapan salah satu pendamping dari LBH Padang. Tiba-tiba ada salah satu anggota kepolisian menghalangi kameranya untuk merekam.

“Sudah-sudah jangan direkam lagi,” kata salah seorang polisi kepada jurnalis Padang TV. Mendapatkan perlakuan tersebut, jurnalis Padang TV tetap melanjutkan.

Selain itu, seorang jurnalis perempuan dari Classy FM juga mengalami kekerasan dalam kerusuhan itu. Ia saat itu baru selesai salat dan mendengar kericuhan di lantai I Masjid Raya Sumbar.

“Saya sedang merekam, tiba-tiba didatangi dua orang dan bertanya tentang tanda pengenal saya,” kata jurnalis perempuan tersebut.

“Saya sudah menerangkan kalau wartawan, tetapi mereka tetap menarik saya dan mengangkat kedua kaki saya. Saya hendak dibawa ke mobil,” tambahnya. 

Atas peristiwa itu AJI Padang, PFI Padang dan IJTI Sumbar berpandangan, tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar kebebasan pers. Padahal, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers telah tegas mengatur tentang kerja-kerja jurnalistik.

Selain itu, tindakan intimidasi tersebut juga telah melanggar Pasal 18 Ayat 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00”. 

AJI Padang, PFI Padang, dan IJTI Sumbar menyatakan sikap sebagai berikut: 

  1. Mengecam tindakan intimidasi dan kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap jurnalis yang sedang bertugas di Masjid Raya Sumbar.
  2. Mendesak Kapolda Sumbar meminta maaf atas peristiwa intimidasi dan kekerasan yang dialami oleh sejumlah jurnalis di Masjid Raya Sumbar.
  3. Meminta Kapolda Sumbar untuk memproses anggotanya yang melakukan intimidasi dan kekerasan kepada jurnalis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Meminta Kapolda Sumbar memastikan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani aksi, tetap mengedepankan profesionalisme, persuasif dan menghormati kebebasan pers.
  5. Mengapresiasi tindakan sejumlah perwira polisi dari Polresta Padang yang mencegah berlanjutnya kekerasan kepada tiga jurnalis dan langsung meminta maaf pada kesempatan itu.
  6. Mengimbau jurnalis untuk tetap mematuhi kode etik jurnalistik. 

Baca Juga: AJI Bandung Mengecam Kekerasan terhadap Jurnalis di Kabupaten Sukabumi
Ini Kesaksian Mahasiswa Korban Kekerasan pada Demo Menolak KUHP di Bandung
Indeks Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian dalam Sorotan

Gubernur Sumbar Gagal Menjalin Komunikasi dengan Rakyatnya

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat Yefri Heriani mengatakan, selaku pengawas pelayanan publik, pihaknya menyayangkan sikap Gubernur Sumbar Mahyeldi yang terlihat enggan menemui rakyat sendiri yang datang jauh-jauh dari Air Bangis guna menyampaikan aspirasi.

“Seharusnya, sebagai pelayan masyarakat, dengan pengamanan yang memadai, Gubernur menemui masyarakatnya itu,” kata Yefri Heriani.

Terlepas apakah Gubernur akan mengabulkan aspirasi masyarakat, Yefri melanjutkan, namun sebagai kepala daerah sudah seharusnya memperlihatkan sikap yang bijak dengan melayani dan menemui langsung masyarakatnya itu.

Ia menyebutkan, Mahyeldi hanya tampak sekali secara tak terduga datang ke Masjid Raya Sumbar untuk salat subuh. Saat itu, Yefri menilai Mahyeldi justru memperlihat sikap yang terkesan emosional ketika ditemui masyarakat sekeluar dari masjid. 

“Sikap semacam ini kami duga telah memancing masyarakat yang membuat mereka terus bertahan. Karena secara langsung, tak dapat bertemu dengan Gubernur. Gubernur justru terlihat tak membesarkan hati rakyat dengan membujuknya untuk pulang ke Air Bangis,” papar Yefri. 

Yefri menyebut Gubernur Sumbar gagal berkomunikasi dengan masyarakatnya, membuat masyakarat justru dipulangkan secara paksa. “Sayang sekali, upaya ini dicederai dengan tangisan masyarakat, dan ditahannya 17 orang masyarakat,” ungkap Yefri. 

Ombudsman RI juga mempertanyakan penangkapan itu karena yang ditangkap adalah wartawan yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan meliput peristiwa. Demikian dengan juga advokat dan pendamping masyarakat yang sejatinya sedang mengerjakan tugasnya sebagai pengacara dan aktivis sipil. 

Apalagi, aparat juga menangkap tokoh masyarakat yang tidak sedang demostarsi melainkan sedang beristirahat di masjid. “Ombudsman meminta Kapolda memeriksa kembali perilaku dan prosedur aparatnya itu,” kata Yefri. 

Ia mengingatkan hangan sampai cara-cara polisi justru menyimpang dari tugas tugas mulianya; menegakkan hukum secara adil, melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. 

Sementara itu Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Adel Wahidi menambahkan, pemerintah seharusnya lebih pandai dan cekatan dalam menangani masalah ini.

“Ada nada-nada rasis juga dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin masalah ini, jadi masalah konflik horizontal. Pemerintah, bersama aparat harus memberikan jaminan rasa aman untuk mereka tetap bisa berdiam, mendapat akses/layanan ekonomi, pendidikan dan sosial di Air Bangis,” papar Adel Wahidi.

Ombudsman juga meminta Gubernur untuk memeriksa kembali klaim tanah yang akan dijadikan lokasi PSN telah clean dan clear, seperti yang disebut Gubernur dalam surat pengusulan PSN ke Kemenko Maritim dan Investasi. 

Selanjutnya, Ombudsman Sumbar akan melakukan inisiatif investigasi guna memeriksa dan berbagai dugaan maladministrasi dan proses pengusulan PSN di Air Bangis. Investigasi akan dilakukan juga terkait penangan demo di kantor Gubernur dan pemulangan paksa masyarakat, serta penangkapan advokat, wartawan, dan tokoh masyarakat.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//