• Cerita
  • Mengenang si Pelantun Revolusi di Awiligar

Mengenang si Pelantun Revolusi di Awiligar

Mukti Mukti menyisipkan syair-syair progresif melalui musik balada yang terkadang senyap. Syair Menitip Mati mengajak anak muda melakukan revolusi.

Konser Musik Cinta untuk Mukti-Mukti di Layaran Plateau’s Eco Art, Jalan Mars Dirgahayu, Awiligar, Bandung, Selasa (15/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)

Penulis Daffa Primadya Maheswara18 Agustus 2023


BandungBergerak.idDi bawah rimbun pepohonan di Awiligar, panggung sederhana didirikan. Lukisan Mukti Mukti yang memakai peci dan syair lagu dibingkai menjadi latar. Sejumlah lagu-lagu balada disajikan oleh para musikus Bandung untuk mengenang kepergian si pelantun revolusi. 

“Dan kematian yang indah itu adalah milik kita sebagai air yang mengalir lagi. Atas polusi udara yang mematikan. Atas sunyi hutan sunyiku yang hilang. Atas tanah yang tak tergarap lagi. Atas perbudakan dan pembodohan manusia yang tak malu-malu lagi.” 

Demikian syair lagu karya Mukti-Mukti yang menghisasi latar panggung “Konser Musik Cinta untuk Mukti-Mukti” di Layaran Plaeau’s Eco Art, Jalan Mars Dirgahayu, Awiligar, Bandung, Selasa (15/8/2023). 

“Maka katakanlah satu hal pada orang-orang dengan penuh cinta dan darah yang tercurah di setiap perjamuan: Revolusi.” 

Syair tersebut ditulis musikus balada pemilik nama asli Hidayat Mukti bin Kayat Suseta pada 1987, ketika negeri ini masih dalam kekuasaan rezim otoriter Orde Baru. Ajakan melakukan revolusi pada masa Suharto berkuasa adalah bunuh diri. Tetapi itulah Mukti Mukti yang kritis sejak muda, saat ia masih duduk di bangku kuliahnya di Unpad.   

Syair “Menitip Mati” menjadi lagu lain Mukti Mukti yang ngehits di kalangan pemuda pergerakan pada masanya. “Menitip Mati” juga mengajak revolusi.   

“Memahami mata yang kau pejamkan / Adalah pulau yang jauh / Di ufuk timur, matahari / Kita yang masih bertani / Berdiri menatap matahari / Menitip mati, melumat sepi / Esok pagi revolusi,” demikian syair lengkap “Menitip Mati”. 

Rezim Suharto sudah lama tumbang, reformasi bahkan mungkin sudah dilupakan. Tapi mengapa syair-syair Mukti-Mukti masih saja relevan sampai sekarang? Walaupun dengan nada balada, diiringi petikan gitar akustik yang kadang syahdu atau senyap. 

Ya, Mukti Mukti adalah musikus senyap. Isma Swastiningrum, jurnalis dan peneliti independen, dalam esainya di menyebut Mukti Mukti sebagai “musikus idealis dari awal karier sampai meninggalnya, tak teracuni dan masuk angin oleh rantai industri dan komersialisme”. 

Mukti Mukti meninggal Senin, 15 Agustus 2022 di Rumah Sakit Borromeus Kota Bandung, tepat setahun lalu. Pria kelahiran Bandung 15 Oktober 1968 ini dijemput kematian pada usia 53 tahun. 

Isma Swastiningrum menulis, sebagai musikus yang dikenal publik berada dalam aliran musik balada, balada Mukti disebut sebagai balada progresif. 

Isma menjelaskan, balada merupakan musik yang syairnya menceritakan tentang jalanan, atau musik ballad. Musik ini berkembang di Inggris dari abad pertengahan hingga abad 19 ke seluruh Eropa dan dunia. Ciri-ciri dari musik balada memiliki tempo yang lambat, sedang, serta bervariasi sesuai dengan kebutuhan lirik. “Musik balada biasanya berisi kritik, sindiran, dan kehidupan,” tulis Isma, dikutip dari media seni dan budaya serunai.co, Jumat (18/8/2023). 

Indonesia memiliki banyak musisi balada. Dan yang paling ngetop barangkali Iwan Fals, Ebiet G. Ade, dan Sawung Jabo (Sirkus Barock). Ada juga musikus ngtop lainnya yang lebih memilih jalan sunyi, sebut saja Franky Sahilatua, Leo Kristi, dan Ully Sigar Rusady. 

Mukti Mukti ada di peta musik jalan sunyi tersebut. Ia telah setahun pergi. Lagu-lagu progresif sekaligus lirihnya masih dikumandangkan sampai sekarang, termasuk dalam konser di Awiligar itu. 

Konser di Awiligar berlangsung dalam nuansa alam yang masih kuat, di sebuah kafe yang tenang dengan rumah bernuasa vintage. Pohon-pohon hijau memanjakan mata. 

Pengunjung, beberapa di antaranya rekan Mukti Mukti di masa kuliah, hanyut dalam irama balada ditemani kopi. Kidung, tuan rumah penyelenggara konser dari Nusalayaran, sesekali mengingatkan penonton agar menimkati kudapan tradisional. 

"Itu ada bajigur, bandrek dan makanan khas lainnya. Silakan dimakan gratis dari kami," kata Kidung. 

Di kalangan anak-anak muda yang menghadiri konser tribute ini, Mukti Mukti biasa dipanggil ayah. Sejumlah musikus lokal hadir mempersembahkan lagu bagi ayah. Mereka, Dimas Wijaksana, Imam Kelana, Jalu Kencana, Ruang Kidung, Musisi Sendiri, Alamsyah Nurhesha, Yoga Thufail, Uke Fox, Abah Donny, Mick Hillary, Beaden, Dian Amalia, Kipeng, Nendi Akbar, Pelipurlara, Satwa Liar, Saija, Setio, dan Komunitas Fragment. 

Kidung menjelaskan, ia terdorong melaksanakan tribute musik ini untuk mengenang satu tahun Mukti Mukti. Butuh satu bulan untuk mempersiapkan konser ini. Mukti Mukti dipandang sebagai sosok ayah yang mengajarkan pergerakan dengan cara-cara bijaksana. 

Baca Juga: Dari Parit Milisi Jerman ke Dago Elos
Eva Eryani Tegar Mendapat Surat Peringatan dari Satpol PP Bandung
Mahasiswa Unpad Menciptakan Detektor E. coli, Bakteri yang Mencemari Sungai Cikapundung

Konser Musik Cinta untuk Mukti-Mukti di Layaran Plateau’s Eco Art, Jalan Mars Dirgahayu, Awiligar, Bandung, Selasa (15/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)
Konser Musik Cinta untuk Mukti-Mukti di Layaran Plateau’s Eco Art, Jalan Mars Dirgahayu, Awiligar, Bandung, Selasa (15/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)

Konser Amal  

Aktivitas Nusalayaran tidak lepas dari dukungan Mukti Mukti. Nusalayaran merupakan sekelompok anak-anak muda pecinta alam yang dibentuk 15 September 2016. 

Suatu hari, ruang Nusalayaran terbelit persoalan biaya. Mukti Mukti kemudian mengagas konser selama sepekan penuh untuk melakukan penggalangan dana.

"Saat itu pak Mukti ngasih album yang tidak pernah ia jual. 100 keping dengan harga 1 keping nya 100 ribu (rupiah). Dan semua keuntungannya untuk bayar rumah kontrakan Nusalayaran," tutur Kidung.

Peran tulus Mukti Mukti itu membuat Nusalayaran memiliki ikatan yang kuat secara emosional dengan sang muskius. Karena hal tersebut juga mendorong Nusalayaran menggelar konser tribute Mukti Mukti.

Terlebih menurut Kidung ada yang terputus dari gerakan tahun era sebelum reformasi ke pascareformasi. Karya-karya Mukti Mukti diyakini bisa menjalin benang yang putus tersebut.

"Anak anak pergerakan sekarang kebanyakan gak kenal dengan karya-karya pak Mukti. Apalagi karyanya ga ada di platform digital. Nah, bagaimana caranya karya dengan subtansi bagus dikenal anak anak muda," tegas Kidung.

Ia yakin tribute Mukti Mukti ini menjadi langkah bagus untuk mengenalkan sosok aktivisme sang seniman. Di saat yang sama, masih banyak anak muda yang merawat idealismenya.

Salah satu pepatah Mukti Mukti yang paling berkesan bagi Kidung terkait demonstrasi. Mukti Mukti mengatakan, sebelum demo, sebaiknya aktivis makan dulu.

“Karena kalau belum makan nanti pas kamu menyuarakan suaramu malah diem saat dikasih makan pemerintah," ucap Mukti Mukti kepada Kidung.

Nusalayaran sendiri memiliki kritik pada anak-anak muda sekarang khususnya bagi mereka yang gemar naik gunung. Hobi naik gunung mereka bisa menimbulkan kerusakan alam jika tidak dalam bingkai pemahaman lingkungan.

Terbentuknya Nusalayaran pun terkait dengan upaya penyadaran lingkungan, selain sebagai komunitas yang menjadi rumah bersama bagi pecinta alam. Bahwa manusia harus sadar kawasan. 

"Nusalayaran bagi saya adalah sebuah rumah di mana kawan-kawan yang berkarya, pergerakan tentang lingkungan bisa pulang ke sini. Di mana di dalam aksinya kami butuh jeda, butuh istirahat, juga butuh pulang, bersenang senang," lanjut kang Kidung. 

Tidak Menonjolkan Diri

Mukti Mukti merupakan musikus yang tidak mau menonjolkan diri. Selama bersetia dengan gitar dan liriknya, Mukti Mukti bergerak di bawah tanah, tidak di permukaan.

Menurut Kalis yang dekat dengan Mukti Mukti di akhir-akhir hayatnya, Mukti Mukti adalah aktivis sekaligus seniman. Ia dekat dengan rakyat kecil, dengan petani dan pekerja. 

"Pak Mukti dikenal bukan hanya sekedar musisi, ia dikenal diranah sosial, budaya dan politik," tegas Kalis. 

Hal itu terlihat dalam syair-syair lagu yang diciptakan Mukti Mukti. Banyak syair yang mengulas kehidupan petani, nelayan, tanah, rakyat kecil, dan kehidupan sosial lainnya.

Meski demikian, Kalis teringat Mukti Mukti selalu berpesan bahwa pergerakan mesti dilandasi dengan humanisme yang bijaksana tanpa kekerasan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//