Wacana Pengolahan Sampah RDF di Desa-desa sebagai Solusi Semu Berbahaya
Pemprov Jabar mewacanakan pengadaan mesin-mesin RDF sebagai solusi penanganan sampah plastik. Produksi sampah menjadi RDF dinentang aktivis lingkungan.
Penulis Iman Herdiana30 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Isu persampahan dan polusi terus bergulir. Bermula dari pekatnya polusi udara di Jakarta, kemudian kebakaran sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti yang menyebabkan darurat sampah di Bandung Raya, hingga berbagai upaya mencari solusi penanganan sampah yang terus menggunung. Di antara solusi yang ditawarkan pemerintah daerah, sayangnya terdapat solusi semu yang memiliki risiko berbahaya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, misalnya, gencar mensosialisasikan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) berbasis teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). RDF merupakan arang atau pelet terbuat dari sampah plastik. RDF inilah yang dikritik para aktivis lingkungan karena akan menambah sumber polusi baru. Diketahui, RDF digunakan dengan cara dibakar. Hasil pembakaran ini disinyalir akan mengeluarkan polusi udara.
Penggunaan teknologi RDF kemudian muncul saat Gubernur Pemprov Jabar Ridwan Kamil bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan meninjau TPST Oxbow Mekar Rahayu di Kabupaten Bandung, Selasa (29/8/2023). TPST Oxbow diklaim mengelola sampah secara ramah lingkungan dan mampu mengolah sampah hingga 1 juta ton.
Dikutip dalam siaran pers Pemprov Jabar, di sela-sela tinjauan ke TPST Oxbow, Ridwan Kamil mengusulkan kepada Luhut Binsar Pandjaitan untuk membuat mesin teknologi di setiap desa/kelurahan yang ada di Jabar.
"Mesin (RDF) tadi (yang diusulkan) oleh Pak Gubernur Ridwan Kamil kita mau coba per desa dan kelurahan satu, dan seterusnya," kata Luhut.
Disebutkan pula bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Pemda Provinsi Jabar, Pemda Kabupaten Bandung dan stakeholders lainnya berkomitmen membuat RDF di beberapa titik agar penanganan sampah bisa dikurangi.
"Sekarang setiap langkah kita lakukan untuk mengurangi sampah, tadi dengan Pak Gubernur (Ridwan Kamil) Bupati Dadang di sini mereka membuat RDF, itu kelihatannya berhasil," tutur Luhut.
Luhut juga menyinggung polusi udara yang dihadapi Jakarta. Menurutnya, polusi udara sudah menjadi permasalahan nasional tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Bandung.
"Kami bersepakat bahwa masalah polusi udara ini sudah menjadi masalah nasional dan ternyata di sini (Bandung) juga cukup parah, walau tidak separah Jakarta," pungkasnya.
Baca Juga: Data Volume Sampah Plastik Harian di Kota Bandung
Inovasi Anak Muda Indonesia Terkait Sampah Plastik
Pemkot Bandung Gunakan Teknologi RDF untuk Mengolah Sampah, Ditentang Pegiat Lingkungan
Penanganan Sampah dari Hulu
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) termasuk yang getol mengkritik pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah. Undang-Undang 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan dua substansi pengelolaan sampah, yaitu pengurangan dari sumber (pendekatan hulu) dan penanganan sampah (pendekatan hilir).
“Sayangnya, paradigma pengelolaan sampah dari peraturan hingga kebijakan masih berfokus pada penanganan di hilir seperti proyek PLTSa, pemanfaatan sampah menjadi BBM, RDF (Refused Derived Fuel) dan lainnya. Sementara pendekatan pengelolaan sampah dari hulu untuk mengurangi sampah terutama plastik melalui peraturan pelarangan plastik sekali pakai, pemberian disinsentif kepada produsen (ritel, manufaktur, jasa makanan minuman) hingga pengurangan produksi plastik di industri petrokimia masih sangat tidak maksimal,” ungkap Pengkampanye Urban Berkeadilan Walhi Abdul Ghofar, dikutip dari siaran pers.
Walhi menyatakan, kebijakan pengurangan sampah dari hulu atau sumber dapat mengurangi timbulan sampah baik di datar maupun laut. Pengurangan sampah, terutama plastik sekali pakai melalui peraturan kepala daerah (perkada) yang saat ini telah diterapkan di 73 daerah (provinsi, kabupaten dan kotamadya) perlu didorong agar semakin banyak diadopsi. Sementara pelarangan atau pembatasan yang sudah berjalan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi.
Yobel Novian Putra, Climate and Clean Energy Campaign Officer, GAIA Asia-Pacific, dalam diskusi memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023 yang digelar Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyatakan, masalah terbesar dari krisis sampah ada di hulu sistem ekonomi, di mana material diambil dengan begitu cepat secara masif dan destruktif.
“Namun, sampah sendiri juga memberikan dampak negatif di seluruh tahap ekonomi baik di tengah maupun di hilir. Ketika sampah dibakar di bagian hilir, baik di insinerator sampah, di industri semen, maupun di PLTU batu bara emisi yang dilepaskan lebih besar dari emisi dari PLTU batu bara,” jelas Yobel Novian, dikutip dari laman AZWI.
Hal itu, lanjut Yobel, sangat mengecewakan karena narasi “Zero Waste, Zero Emission” pemerintah Indonesia sesungguhnya sangat didominasi solusi-solusi palsu tersebut yang sangat mahal, polutif, dan diregulasi secara lemah. Kebijakan ini jelas sangat mengancam implementasi solusi zero waste atau nol sampah, terutama dari sisi komitmen pembiayaan, transisi yang berkeadilan, dan penanganan krisis iklim.
Didorongnya solusi semu seperti teknologi termal, di antaranya termasuk RDF atau bahan bakar berbasis limbah (BBL), dan insinerator sebagai arah kebijakan pemerintah untuk penanganan sampah kota meningkatkan ancaman pencemaran lingkungan dan kesehatan manusia. Sebab, racun dalam plastik muncul sejak tahap produksi, konsumsi, hingga akhir masa pakai.
Namun Yobel memaparkan, solusi palsu seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), bahkan co-firing RDF, secara sistematis tersebar dalam berbagai dokumen kebijakan dan perencanaan pemerintah, seperti Peraturan Presiden dan Proyek Strategis Nasional. Bahkan, dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDCs), teknologi termal dimasukan sebagai solusi mitigasi perubahan iklim.
Pelarangan Plastik
“Plastik dibuat menggunakan berbagai kimia aditif yang sebagian besar bersifat karsinogenik. Sejak tahap produksi hingga akhir masa pakai, racun kimia bahan pembantu ini berpindah ke tubuh pengguna dan dilepas ke lingkungan. Sekali terlepas ke lingkungan dan masuk ke tubuh kita, racun-racun ini sulit untuk ‘ditangkap’ dan dimusnahkan, menjadi lebih kompleks karena menjadi campuran yang toksik,” kata Yuyun Ismawati, pendiri dan Senior Advisor Nexus3 Foundation.
Yuyun mengatakan, untuk menerapkan pendekatan produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, kimia-kimia aditif beracun ini harus dilarang, diganti dengan yang lebih aman. Terlebih lagi, pengurangan produksi bahan baku plastik harus dilakukan secara bertahap agar volume sampah plastik dan lepasan racun kimia aditif plastik dapat dihentikan.
Menurut Yuyun, penanganan sampah secara teknologi termal tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas penanganan dan daur ulang limbah karena dapat terpapar kimia beracun, seperti dioksin furan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi, gangguan hormon, dan kanker.