• Nusantara
  • Jangan Menutupi Proses Revisi UU ITE!

Jangan Menutupi Proses Revisi UU ITE!

Ketertutupan revisi UU ITE juga melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang telah disepakati dalam pembukaan UUD 1945.

Muhammad Asrul, jurnalis yang dijerat UU ITE karena memberitakan kasus korupsi. (Sumber: SAFEnet)

Penulis Awla Rajul22 Juli 2023


BandungBergerak.idDPR RI dan pemerintah tengah melakukan pembahasan tahap II terkait revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun pembahasan ini dilakukan secara tertutup dan tidak dapat diakses oleh publik. YLBHI bersama 18 kantor LBH se-Indonesia mengecam langkah tertutup Komisi I DPR RI dan Kemenkominfo dalam proses revisi UU ITE ini serta mendesak agar memberikan akses informasi kepada masyarakat.

YLBHI dan 18 LBH menyatakan, proses revisi UU ITE seharusnya dilakukan secara terbuka dengan memberikan informasi yang mudah diakses dan membuka kesempatan kepada masyarakat secara luas untuk berpartisipasi. Masyarakat memiliki hak dalam penyusunan undang-undang sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi (right to be informed), hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained), serta hak untuk menyampaikan komplain (right to be complained) dalam penyusunan Undang-Undang,” demikian dikutip dari siaran pers YLBHI dan 18 Kantor LBH YLBHI, Rabu (12/7/2023).

Ketertutupan revisi UU ITE juga melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang telah disepakati dalam Pembukaan 1945 sebagai antitesis dari “Daulat Raja/Daulat Tuan”. Prinsip ini perlu diaplikasikan untuk membuka partisipasi warga seluas-luasnya tidak hanya dalam menentukan dan memutuskan siapa yang akan menjalankan melalui pemilu.

Prinsip tersebut juga menentukan dan melaksanakan isi keberlakuan kontrak sosial serta peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam menjalankan pemerintahan, termasuk dalam revisi UU ITE. Revisi undang-undang yang kerap mengkriminalisasi warga ini merupakan agenda yang mendesak agar pasal-pasal karet yang biasanya menjerat dan memberangus hak berpendapat dihapus atau direvisi.

“Sudah semestinya masyarakat dapat mengawal dan memastikan bahwa agenda revisi UU ITE sesuai dengan tujuannya untuk memastikan keadilan, khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga,” lanjut YLBHI.

YLBHI mencatat pasal-pasal karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Beberapa di antaranya adalah Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat 1 dan 2, dan Pasal 45 soal pemidanaan. 

Selain itu, sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 LBH Kantor telah menangani 199 kasus yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Kebebasan Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat. Dari kasus-kasus itu, YLBHI menilai bahwa UU ITE sering kali jadi dasar pelaporan untuk membungkam suara kritis warga negara.

Maka dari itu, YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menunda Pengesahan Revisi kedua UU ITE. DPR dan Presiden harus memberikan akses informasi revisi UU ITE secara mudah dan terbuka serta membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna.

YLBHI juga mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk memastikan revisi UU ITE dibahas secara demokratis dan mengatur ketentuan yang sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan konstitusi. Pemerintah dan DPR juga harus mencabut pasal-pasal karet yang mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.

Kasus Kriminalisasi dengan UU ITE

Amnesty Internasional Indonesia mencatat, sepanjang 2019-2022 telah terjadi 316 kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE dengan korban sebanyak 332 orang. Di tahun 2019 terdapat 108 korban, 2020 sebanyak 123 korban, 2021 sebanyak 88 korban, dan tahun 2022 13 korban. Data yang dihimpun ini diambil pada rentang Januari 2019 hingga Mei 2022.

Berdasarkan profesi korban kriminalisasi, masyarakat umum merupakan korban yang paling banyak. Profesi lainnya yang juga menjadi korban adalah tokoh publik, tokoh agama, akademisi, jurnalis, aktivis, dan PNS atau pegawai pemerintahan.

Terduga pelaku mengkriminalisasi dengan UU ITE menggunakan Pasal 27 (1), Pasal 27 (3) dan Pasal 28 (2). Adapun yang menjadi terduga pelaku paling banyak setiap tahunnya didominasi oleh kepolisian.

Misalnya, dari 116 terduga pelaku pada tahun 2019, 71 terduga pelaku di antaranya berasal dari kepolisian. Pada tahun 2020 dari 121 terduga pelaku, 73 di antaranya adalah kepolisian. Tahun 2021 ada 89 terduga pelaku, kepolisian berjumlah 55 dan tahun 2022 dari 13 terduga pelaku lima berasal dari kepolisian.

Selain kepolisian, yang menjadi terduga pelaku dalam kriminalisasi menggunakan UU ITE beragam, di antaranya adalah aparatur negara atau kerabatnya, kepala daerah atau calon kepala daerah, pelaku bisnis atau dari korporasi, tokoh keagamaan dan organisasi masyarakat, politisi, anggota parpol atau simpatisan politik, TNI, maupun masyarakat.

Dalam riset Amnesty Internasional yang berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” itu disimpulkan bahwa pihak yang berwenang semakin menindas, merepresi, dan menekan aksi-aksi protes secara damai di seluruh Indonesia. Alih-alih melindungi, pihak berwenang justru menjadikan pembela HAM, aktivis, jurnalis, akademisi dan ruang kebebasan sipil sebagai sasaran.

Amnesty Internasional menilai terjadi penurunan kualitas HAM di Indonesia, beberapa sebabnya karena peraturan hukum, yaitu UU ITE dan KUHP. Dari dua aturan hukum ini, khususnya Pasal 310 yang mengatur pidana pencemaran nama baik dan Pasal 106 dan 110 yang mengatur hukuman pidana terhadap tindakan yang mengancam keamanan negara.

“Produk-produk hukum tersebut meningkatkan kekhawatiran atas kemunculan kembali tatanan politik yang melanggengkan kekuasaan dengan menyalahgunakan aturan hukum sebagaimana rezim Orde Baru dahulu,” demikian dikutip dari riset Amnesty Internasional. 

Baca Juga: UU ITE Menyuburkan Labeling dan Penuhnya Penjara
Draft Revisi UU ITE Memiliki Banyak Kelemahan
Koalisi Mahasiswa Desak Jokowi Beri Amnesti untuk Dosen Unsyiah Korban UU ITE

Koalisi Serius Revisi UU ITE

Revisi kedua UU ITE saat ini berada di tangan Panitia Kerja (Panja) Komisi 1 DPR RI bersama pemerintah. Namun, Koalisi Serius Revisi UU ITE yang terdiri atas 28  organisasi masyarakat sipil menilai, pembahasan tersebut dilakukan secara tergesa-gesa, tidak serius menjawab permasalahan (termasuk ancaman kriminalisasi/pembungkaman kebebasan berekspresi), tertutup dan minim partisipasi publik.

Berdasarkan catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) hingga 7 Juli 2023 yang dihimpun dari pemberitaan media dan risalah rapat,  setidaknya Panja Komisi 1 telah menggelar 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE.  Dari jumlah tersebut ternyata hanya 5 rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR. Itu pun hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan.

Selain itu, Komisi 1 hanya menggelar dua kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan masyarakat sipil. RDPU tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut, sejauh mana masukan masyarakat sipil diakomodasi dalam revisi kedua UU ITE.

“Tertutupnya pembahasan revisi kedua UU ITE menyalahi prinsip negara demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi bermakna bagi publik, sebuah prinsip dimana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukkannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain (right to be heard, right to informed, right to be considered, right to be explained, right to be complained),” demikian pernyataan Koalisi.

Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM);

Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI),  Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet),  YLBHI, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//