Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Meningkat, termasuk di Kota dan Kabupaten Bandung
Anak-anak terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Tingginya jumlah pekerja anak dikhawatirkan menciptakan lingkaran kemiskinan.
Penulis Iman Herdiana6 September 2023
BandungBergerak.id - Jumlah pekerja anak di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Prediksi serupa juga berlaku di Kota Bandung. Masalah ekonomi menjadi faktor utama yang mendorong anak-anak terpaksa bekerja menjadi tulang punggung keluarga.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Nunung Nurwati mengatakan, keberadaan pekerja anak akan menimbulkan masalah luas dan kompleks. Membiarkan anak menjadi pekerja akan membentuk SDM berkualitas rendah hingga lingkaran kemiskinan.
“Bagi anak itu sudah jelas akan mengganggu tumbuh kembang dan kehilangan hak-haknya dan mereka akan menjadi SDM yang kualitasnya rendah,” kata Nunung Nurwati, dalam diskusi daring Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) “Pekerja Anak: Pengingkaran Terhadap Hak Anak”, dikutip Rabu (6/9/2023).
Nunung memaparkan, agenda global Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan penghapusan pekerja anak pada tahun 2025. Namun target ini di Indonesia menghadapi realitas yang serius, yaitu masih banyaknya jumlah pekerja anak.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan jumlah pekerja anak cenderung naik setiap tahunnya. Tahun 2019 jumlah pekerja anak sebanyak 940 ribu jiwa. Namun pada 2020 penduduk usia anak (10-17 tahun) yang menjadi pekerja sebanyak 1,17 juta jiwa.
“Dari 2019 ke 2020 penambahan pekerja anak 320.000 (persentase meningkat dari 2,37 persen menjadi 3,25 persen pada 2020). Artinya pertambahan ini cukup signifikan sekali apakah kita akan mencapai tujuan SGDs bahwa kita harus clear pekerja anak. Tapi lihat angka ini saya agak cemas harus bagaimana,” ungkap Nunung.
Nunung juga memaparkan pekerja anak-anak telah kehilangan haknya, yaitu bermain dan sekolah. Data tersebut dibagi dua kelompok, yakni anak-anak yang belum pernah menyenyam pendidikan yang bisa ditafsirkan buta huruf, dan anak-anak yang tidak melanjutkan kembali sekolah atau putus sekolah.
Dari segi wilayah, anak-anak yang menjadi pekerja kebanyakan berasal di perdesaan daripada perkotaan. Hal ini mengindikasikan kemiskinan telah melanda perdesaan sehinggga anak-anak di sana terjun ke dunia kerja. Sementara sektor-sektor pekerjaan yang menyerap pekerja anak umumnya sektor informal dan jasa.
“Banyak yang terserap sebagai kuli di pasar, pengasuh, bersih-bersih di toko,” katanya.
Tingginya jumlah pekerja anak berdampak pada terciptanya SDM dengan kualitas rendah yang berpengaruh pada persaingan global. Namun penyelesaian masalah pekerja anak memerlukan multipendekatan.
“Tidak hanya pendekatan ekonomi saja atau legal formal saja, misalnya dengan peraturan, dengan kebijakan, atau dengan program-program pemberdayaan saja itu menurut saya tidak akan menyelesaikan akar masalahnya,” ujar Nunung.
Baca Juga: Lapak Cikapundung, dari Enny Arrow hingga Buku-buku Pergerakan
Ancaman Berlapis Krisis Sampah Bandung bagi Perempuan
Selamat Datang September Hitam, dari Agustus yang Melawan
Potret Pekerja Anak Kota dan Kabupaten Bandung
Fenomena pekerja anak terjadi di kota dan desa, tak terkecuali di kota besar seperti Bandung. Farhan Zakariyya (2013) dalam karya ilmiah berjudul “Learned Helplessness Pada Pekerja Anak: Studi kasus pada Dua Pekerja Anak di Kota Bandung” memotret jejak-jejak pekerja anak di Kota Bandung sudah berlangsung lama.
“Berdasarkan data Yayasan bahtera, LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak, pada 2004 jumlah pekerja anak berjumlah 25 ribu orang atau sekitar 2,7 persen dari 900 ribu anak-anak di Kota Bandung,” tulis Farhan Zakariyya.
Meski data tersebut tahun 2004, diperkirakan pekerja di Kota Bandung masih tetap ada dan tidak menutup kemungkinan jumlahnya meningkat mengingat angka pekerja anak secara nasional juga meningkat.
Farhan mencatat, sektor-sektor pekerjaan yang menerima pekerja anak umumnya bidang marginal serta tidak memerlukan keterampilan khusus seperti menjadi buruh serabutan, asisten rumah tangga, pedagang kaki lima, kuli angkut, dan bahkan prostitusi. “Namun hampir semua pekerja anak bermotif ekonomi,” katanya.
Jumlah pekerja anak di Kabupaten Bandung lebih tinggi lagi. Pada 2019, Kabupaten Bandung menempati urutan pertama sebagai daerah di Indonesia dengan jumlah pekerja anak tertinggi (berdasarkan lembaga riset Lokadata.id, diakses dari laman Banjarnegarakab.go.id.
Jumlah pekerja anak Kabupaten Bandung mencapai 23 ribu anak, diikuti Kabupaten Humbang Hasundutan (17 ribu anak), Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Bone masing-masing 14 dan 12 ribu pekerja anak.
“Selain tingkat kemiskinan, tingginya pekerja anak di Bumi Parahyangan (Kabupaten bandung, Jawa Barat) ini juga disebabkan oleh angka putus sekolah, dan tingkat fertilitas total. Sebuah studi S1 dari Universitas Airlangga (2018) menyebutkan, banyaknya keluarga miskin dan angka kelahiran yang tinggi di Jawa Barat cenderung sulit diatasi,” demikian menurut Lokadata.id.