• Liputan Khusus
  • Ancaman Berlapis Krisis Sampah Bandung bagi Perempuan

Ancaman Berlapis Krisis Sampah Bandung bagi Perempuan

Tata kelola sampah yang buruk di Bandung membuat perempuan ada di posisi terancam. Dari bau tak sedap, asap kebakaran, hingga sumber penyakit reproduksi.

Warga Desa Sarimukti membawa galon air bersih melewati jalan desa yang diselimuti kabut asap kebakaran TPA Sarimukti, Kamis (24/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau6 September 2023


BandungBergerak.id - Dari halaman rumah Hani Suprihatini (23 tahun), aroma tak sedap menusuk hidung. Sumbernya, tumpukan sampah yang sudah berbelatung. Sementara di samping rumah, dua anak perempuan Hani sedang asyik bermain, tampak tak menghiraukan bau menyengat itu.

Meski sedang mengandung delapan bulan, Hani tetap sibuk membantu sang suami memasukkan sampah yang telah dipilah ke dalam karung. Semua dilakukan secara cekatan dengan tangan kosong. Dengan wajah tak bermasker.

Rumah kontrakan Hani terletak tepat di dalam area Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Gedebage, Kota Bandung. Dia mengaku sudah terbiasa dengan bau tumpukan sampah. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kesehatan kandungannya.

Nggak ada (kekhawatiran), udah terbiasa,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id, Senin, 21 Agustus 2023 pagi.

Terakhir kali Hani memeriksakan kandungannya dua bulan lalu. Bukan ke puskesmas terdekat, ia lebih memilih berkunjung ke bidan di daerah Arcamanik, yang berjarak sekitar lima kilometer dari rumah kontrakannya. Dia merasa lebih nyaman karena sejak anak pertama telah memeriksakan kandungannya ke bidan tersebut.

Dengan hasil penjualan sampah yang terus menurun, Hani mengaku memiliki kekhawatiran tentang biaya persalinan yang tak sampai dua bulan lagi. Bersama sang suami, dia masih berusaha untuk terus mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari sampah, yang juga dipakai untuk menutupi biaya dapur.

“Jual sampah susah, dan murah harganya. Turun terus harga sampahnya,” tuturnya. “Sekarang nabung aja.”

Hani tumbuh dan hidup bersama keluarga besarnya di TPS Gedebage. Anak ketiga dari lima bersaudara ini tinggal bersama orang tua dan seluruh saudaranya di rumah kontrakan yang sama. Mereka semua menggantungkan hidup dari hasil penjualan sampah.

Hani menikah saat berusia 18 tahun. Kini anak pertamanya sudah berusia lima tahun, dan anak keduanya berusia tiga tahun.

Mengganggu Siklus Haid

Di sebuah warung tepat di depan TPS Antapani di Jalan Indramayu, Kecamatan Antapani, Kota Bandung, Ipah (65 tahun) sibuk menggoreng bala-bala. Dapur warung itu hanya disekat oleh papan tripleks. Bergeser sedikit saja, bau sampah menusuk indra penciuman.

Warung Ipah memiliki panjang satu meter dan lebar setengah meter. Di sana, dia menujual gorengan, berbagai camilan, dan rokok. Bersama sang suami, Ipah juga tinggal di warung tersebut. Pelanggan utamanya adalah pekerja TPS dan para tetangga.

Pada tahun 1985, tak lama setelah menikah, Ipah meninggalkan Majalengka untuk merantau ke Bandung bersama sang suami. Mereka berjualan di beberapa lokasi, termasuk Lembang, sebelum akhirnya mendapat tempat berjualan di lokasinya saat ini seizin pihak Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan sebagai pemilik lahan. Ipah membayarkan 25 ribu rupiah per bulan sebagai uang kebersihan serta 2 ribu rupiah per hari sebagai uang karcis.

Puluhan tahun hidup bersanding sampah, meski merasa sudah terbiasa dengan aromanya, Ipah mengaku kerap mengalami jarang haid. Dia juga harus menunggu lama untuk bisa memiliki anak pertamanya. Jarak keduanya sembilan tahun.  

“Kalau dulu sebelum punya anak, mens langka, jarang. Tiga bulan lama nggak haid,” ujarnya. “Mulai jarang haid setelah nikah dan kerja di sini.”

Ipah memulai rutinitas kesehariannya sejak pukul satu dini hari. Dia pergi Pasar Cicadas untuk membeli berbagai bahan makanan yang akan dijual di warungnya. Pukul tiga pagi, Ipah sudah kembali ke warung dan segera membukanya untuk para pelanggan.

Warga kompleks City Garden Residance, Bandung, menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Cicabe, Selasa, 22 Agustus 2023. (Foto: Dokumentasi Warga)
Warga kompleks City Garden Residance, Bandung, menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Cicabe, Selasa, 22 Agustus 2023. (Foto: Dokumentasi Warga)

Dari Bau 24 Jam hingga Ancaman Mikroplastik

Di permukiman padat penduduk di kawasan utara Kota Bandung, Silvi (32 tahun), bukan nama sebenarnya, bergabung bersama puluhan ibu-ibu kompleks City Garden Residen, Kelurahan Jatihandap, menggelar aksi di bekas lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cicabe sejak Selasa, 22 Agustus 2023. Mereka menolak rencana Pemerintah Kota Bandung menjadikan bekas TPA tersebut sebagai Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST).

Silvi dan perempuan lainnya sangat khawatir dengan dampak buruk sampah bagi kehidupan mereka. Jarak TPST Cicabe itu hanya 120 meter dari perumahan. Ditambah lagi, letak kompleks perumahan mereka di dataran rendah, sementara lahan TPST di atas perbukitan.

Silvi masih ingat betul apa yang terjadi ketika pada Mei 2023 lalu bekas lahan TPA Cicabe dijadikan tempat pembungan sampah darurat selama dua pekan. Pemkot Bandung mengambil keputusan ini setelah TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat mandek beroperasi dan sampah menumpuk selama berhari-hari di sudut-sudut jalan di Kota Bandung.

Sebagai ibu rumah tangga, Silvi tak bisa bekerja mengurus rumah dengan napas lega. Bau menyengat asam sampah memenuhi seluruh ruangan. Masker yang dia kenakan tidak banyak membantu. Pekerjaan rumahnya terganggu. Cucian yang telah dijemur berbau tak sedap. Bau sampah terus melekat.

Truk-truk bermuatan sampah menyesaki jalanan sempit di kawasan Jatihandap. Air lindi berceceran, menimbulkan bau tak sedap. Sementara itu, lalat hijau bertebaran, memunculkan pemandangan kotor dan jorok di perumahan.

“Karena saya di rumah, jadinya bau itu 24 jam itu nggak ilang sama sekali,” kata Silvi, ditemui Rabu, 23 Agustus 2023.

Muncul juga kekhawatiran tentang limbah sampah akan masuk ke dalam tanah dan mencemari air yang digunakan warga untuk kegiatan sehari-hari mereka. Banyak keluarga di permukiman sekitar TPST Cicabe yang menggunakan air tanah langsung karena tak terjangkau layanan air bersih PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

Ditambah lagi, muncul juga ketakutan tentang bahaya mikroplastik yang sewaktu-waktu bisa mencemari air. Karena air dikonsumsi setiap hari, ia mengancam juga kondisi reproduksi perempuan.

“Kalau kayak gitu berarti nanti ada pengaruh juga kalau seandainya kehamilan ada janin,” ucap Silvi.

Menurut warga sekitar, wacana pengoperasian TPST Cicabe bergulir tanpa sosialisasi dan persetujuan mereka. Padahal mereka memiliki hak untuk menolak pembangunan demi lingkungan dan udara yang sehat, terutama untuk perempuan dan anak-anak.

Mendorong Pemerintah, Mengedukasi Warga

Sampah masih menjadi salah satu permasalahan yang paling dikeluhkan warga Kota Bandung. Saat ini berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, volume sampah yang dihasilkan ibu kota Provinsi Jawa Barat ini mencapai 1.500-1.600 ton per hari, dengan lebih dari 50 persen di antaranya adalah sampah rumah tangga. Dari total volume sampah tersebut, sekitar 1.200-1,300 ton di antaranya dibuang ke TPA Sarimukti, sementara sekitar 200 ton lainnya diklaim telah berhasil diolah oleh masyarakat, baik lewat program Kawasan Bebas Sampah (KBS), bank sampah, maupun kerja pemulung.

Krisis sampah di Bandung terus berulang. Terkini, status darurat sampah ditetapkan setelah TPA Sarimukti terbakar pada Sabtu, 19 Agustus 2023 lalu. Api berkobar selama belasan hari, berimbas pada polusi udara yang mencekik napas masyarakat sekitar. Per Kamis 31 Agustus 2023 lalu, beberapa titik api masih menyala.

Imbasnya, pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti yang beroperasi di lahan seluas 43,6 hektare, dihentikan. Warga dilarang membuang sampah ke TPS. Di beberapa bidang jalan dan trotoar, ditemukan tumpukan-tumpukan sampah.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Meiki W. Paendong berpendapat, menimbang komposisi mayoritas adalah sampah organik, pemerintah seharusnya memprioritaskan pengelolaan ramah lingkungan lewat proses pemilahan sejak dari sumbernya. Kuncinya ada pada edukasi warga dan ketegasan aturan.   

“Sampah organik dapat diolah menjadi kompos atau bisa dikerjasamakan dengan pegiat magot. Sampah organik akan tertangani. Sementara (yang) anorganik masih dapat dipilah dan didaur ulang. Sisanya tinggal residunya yang bisa dicarikan solusi lain,” ucapnya.

Ketua Yayasan Salam Institute Dwi Retnastuti mengungkapkan keprihatinan atas darurat sampah yang terus berulang di Bandung. Ini bukan lagi darurat, tapi sudah menjadi bencana. Salah satu pangkal masalah, menurutnya, adalah buruknya manajemen pengelolaan TPA. Dan dalam kondisi seperti ini, perempuan menjadi yang paling terdampak.

Dijelaskan Rena, demikian Dwi Retnastuti akrab disapa, perempuan masih menjadi aktor utama pengeloaan sampah domestik. Krisis yang terus berulang membuat mereka menjadi kelompok paling rentan yang harus memikul beban berlipat. Memikirkan tak hanya keselamatan diri, tapi juga keselamatan anak-anak. “Bebannya berlipat-lipat,” katanya.

Rena berharap, program pemilahan sampah bisa menjangkau seluruh Rukun Warga (RW) di Bandung. Yayasan Salam Institute sendiri, yang dia dirikan empat tahun lalu, bergerak dalam edukasi pengolahan sampah. Salah satunya lewat kerja pendampingan ke masyarakat. Mulai dari arisan ibu-ibu PKK, kelompok pengajian, hingga para pengepul sampah.

Menurut Rena, kerja pendampingan ini mendiskusikan juga dampak permasalahan sampah terhadap alat reproduksi perempuan. Yang disasar adalah perempuan-perempuan yang bekerja di tempat pengolahan sampah dan para pekerja yang mengelola bank sampah. Mereka yang bekerja di TPS-TPS memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan pada alat reproduksi.

“Itu sampai kami lakukan edukasi bagaimana pada saat mereka melakukan pemilahan sampahnya itu, posisi duduknya harus seperti apa,” tuturnya.

Dampak kebakaran TPA Sarimukti, TPS tutup di Kelurahan Merdeka, Bandung, Rabu (27/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dampak kebakaran TPA Sarimukti, TPS tutup di Kelurahan Merdeka, Bandung, Rabu (27/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Ancaman

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) Yudi Hidayat mengungkapkan, belum banyak riset di Indonesia yang secara khusus mengkaji bahaya limbah sampah terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Namun bukan berarti ancaman ini bisa disepelekan oleh masyarakat dan pemerintah selaku pengambil kebijakan.  

Dijelaskan Yudi, polusi udara yang diakibatkan oleh sampah membuat para perempuan yang tinggal di lingkungan sekitar rentan terhadap berbagai penyakit. Sumber air yang tercemar oleh limbah juga berdampak buruk pada infeksi saluran reproduksi bagian bawah perempuan. Ujung rahim yang tersumbat akibat infeksi menyebabkan terjadinya vertilitas atau kemandulan.

“Kalau seorang ibu daya tahan tubuhnya rendah, infeksi ringan saja bisa menjadi berat,” tutur Yudi yang menjabat juga Ketua Perkumpulan Ahli Kandungan Indonesia.

Sampah juga dapat menyebabkan kanker pada saluran reproduksi. Dalam kasus ekstrem, sampah yang dibakar akan menimbulkan reaksi kimiawi yang memicu karsinogen sebagai penyebab kanker. Banyak kasus kanker serviks, menurut Yudi, ditemukan pada perempuan yang tinggal dan atau bekerja di kawasan-kawasan dengan mutu kebersihan rendah. Selain itu, sampah diketahui berpotensi juga menjadi sumber infeksi yang menyebabkan sumbatan-sumbatan pada saluran reproduksi.

Yudi mencontohkan bagaimana rentannya seorang perempuan hamil yang harus hidup dan tetap melakoni aktivitas hariannya di lingkungan dengan tumpukan sampah. Udara yang dihirup akan masuk ke bayinya. Apa yang dimakan oleh sang ibu, termasuk yang tidak higienis dan tercemar, akan masuk juga. Pertumbuhan bayi bakal terhambat.

“Hati-hati nih!” katanya. “Banyak zat karsinogen tadi kalau dihirup oleh seorang ibu yang sedang hamil nanti bayinya bisa catat kan?”

Perempuan yang hidup di lingkungan sampah rentan mengalami ketidaknyamanan atau bahkan kekhawatiran dan ketakutan. Ketakutan dari otak inilah yang dapat mempengaruhi ovarium indung telur untuk memproduksi hormon estrogen dan progesteron sehingga menyebabkan gangguan haid.

Malangnya, beragam ancaman dari bahaya sampah ini tidak banyak diketahui oleh para perempuan yang harus hidup di sekitar tumpukan sampah, TPS, atau bahkan TPA. Termasuk para perempuan hamil. Karena tidak tahu, mereka merasa baik-baik saja.

“Jadi mereka merasa nyaman dalam artian karena ketidaktahuan,” ungkapnya.

Diakui Yudi, dampak buruk sampah terhadap kesehatan reproduksi perempuan belum menjadi perhatian khusus, baik oleh pemerintah maupun para akademisi. Komunikasi di antara para pemangku kepentingan juga masih jauh dari efektif. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup memadai tentang dampak buruk sampah.

“Nah sekarang (pertanyaannya), pemerintah daerah termasuk Kota Bandung di dalam konteks pengelolaan sampah apakah sudah memperhatikan bagaimana dampak buruknya terhadap kesehatan reproduksi?” kata Yudi. “Saya yakin belum ke arah sana.”

Baca Juga: Polusi Kabut Asap dari Kebakaran Sampah TPA Sarimukti Menyerang Kampung dan Sekolah
Data 15 Permasalahan Utama di Kota Bandung 2019, Kemacetan dan Sampah Jadi Yang Paling Berat

Tidak Terakomodasi

Ketua Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Dudy Prayudi menyebut pihaknya tidak hanya memikirkan dampak masalah sampah terhadap perempuan. Tidak ada pengistimewaan. Semua kelompok masyarakat, dia klaim, ikut dipikirkan.

“Kalau secara khusus (dampak sampah ke perempuan), ya nggak lah. Kan kalau namanya sampah kan kalau tidak terkelola kan bisa menjadi sumber masalah lah. Tidak hanya buat perempuan, mungkin buat laki-laki juga, buat anak-anak juga, buat lansia, dan seluruh lapisan masyarakat. Begitu saya pikir,” ucapnya.  

Dudi mengakui, belum ada upaya edukasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk perempuan dalam pengolahan sampah agar terhindar dari dampak buruk. Menurutnya, jika sampah bisa diselesaikan sesegera mungkin, dampak buruk akan bisa dihindarkan. Lewat pemilahan, sampah organik dijadikan komposter, sementara sampah anorganiknya disertorkan ke bank sampah. Tersisa residu yang lalu dikirimkan ke TPS.

Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya pengolahan sampah yang dilakukan pemerintah masih jauh dari optimal. Darurat sampah terus berulang. Ancaman terhadap kesehatan reproduksi perempuan, terutama mereka yang tinggal dan beraktivitas di sekitar lokasi pengolahan sampah, semakin nyata. Dan itu terjadi tanpa ada kebijakan khusus dari pemerintah bagi kelompok-kelompok rentan.

“Kembali lagi, sebetulnya kalau misalnya dari sumbernya sudah dipilah, ini justru akan bisa menyelamatkan semuanya, gitu lah,” tuturnya.

Ketua Yayasan Salam Institute Dwi Retnastuti menyebut peraturan daerah (Perda) tentang pengolahan sampah masih bersifat sangat umum. Akibatnya, kebutuhan-kebutuhan perempuan dan perlindungannya sebagai kelompok rentan belum terakomodasi.

“Kalau perlu, ada Perda khusus tentang pengolahan sampah dan (dampaknya bagi) perempuan karena ini penting banget juga,” ujarnya.

 

*Reportase ini merupakan bagian dari fellowship bersama Konde.co yang didukung Earth Journalism Network (EJN)

 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//