• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Doa Tragedi Kanjuruhan di Cikapayang, Kekerasan dan Gas Air Mata Berulang

BANDUNG HARI INI: Doa Tragedi Kanjuruhan di Cikapayang, Kekerasan dan Gas Air Mata Berulang

Warga Bandung berbondong-bondong mendoakan korban Tragedi Kanjuruhan di Taman Cikapayang. Kekerasan dan gas air mata bukan solusi pengendalian masyarakat sipil.

Ratusan warga Bandung mengikuti aksi lilin di Taman Cikapayang, Minggu (02/10/2022). Tragedi di Stadion Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa meninggalkan sejarah buruk tidak hanya bagi Indonesia, tapi sepak bola dunia. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana2 Oktober 2023


BandungBergerak.idTanggal 2 Oktober setahun lalu, Taman Cikapayang, Bandung, menjadi saksi bisu atas aksi solidaritas warga Bandung untuk korban tragedi Kanjuruhan. Aksi damai ini dilakukan malam hari, diwarnai dengan renungan, menyalakan lilin, dan pemanjatan doa terkait peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.

Ada ratusan warga Bandung dari kalangan pecinta sepak bola maupun masyarakat umum yang memenuhi taman di perempatan Dago itu. Mereka berduka atas peristiwa mengerikan yang menelan ratusan korban jiwa: laki-laki, perempuan, anak-anak mulai dari siswa SMP, SMA, dan lain-lain.

“Mereka semua itu berkeluarga, ada anak yang kehilangan ibu, ada ibu yang kehilangan anak, ada ibu yang kehilangan suaminya, ada anak yang kehilangan bapaknya,” ucap Rima yang sempat terdiam menahan rasa sedihnya ketika menyampaikan orasi, sebagaimana dikutip dari reportase BandungBergerak.id, setahun lalu.

Tragedi Kanjuruhan sekaligus sebagai peringatan keras terhadap aparat keamanan dalam mengawal massa di dalam maupun di luar stadion sepak bola. Penggunaan kekuatan berlebihan termasuk pemakaian gas air mata telah terbukti menimbulkan petaka.

Amnesty International Indonesia mencatat, pada tanggal 1 Oktober 2022 sedikitnya 135 orang tewas, 96 orang luka berat, dan 484 orang luka sedang atau ringan setelah tembakan gas air mata aparat keamanan menyusul berakhirnya laga Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Amnesty International Indonesia menegaskan, mestinya aparat keamanan segera mengevaluasi penggunaan kekuatan berlebihan, utamanya penggunaan gas air mata dalam melaksanakan tugasnya.

Namun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan penggunaan kekuatan berlebihan masih tetap dijalankan aparat, terutama ketika menghadapi protes warga.  

“Tidak ada perubahan berarti sejak tragedi mengerikan itu,” kata Usman Hamid, diktip dari keterangan resmi di laman Amnesty International Indonesia, Senin, 2 Oktober 2023.

“Tidak ada proses pembelajaran. Aparat keamanan masih represif ketika menghadapi warga yang protes, warga yang keberatan dengan kebijakan negara, atau warga yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa,“ lanjutnya.

Menurut Usman, bagi aparat gas air mata seakan menjadi jawaban utama aparat untuk menghadapi warga, kapan pun dan di mana pun. Proses hukum yang telah berlangsung terhadap peristiwa semacam ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen negara dalam menegakkan keadilan.

Keadilan bagi Korban Belum Terjawab

Dua minggu menjelang peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan, stadion yang terletak di Kabupaten Malang ini mulai dibongkar untuk diganti yang baru. Padahal belum semua pelaku terungkap.

Dalam catatan Amnesty International Indonesia, lima dari enam tersangka sudah diproses secara hukum dan divonis di pengadilan. Satu orang tersangka, yaitu mantan Direktur PT. Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita dilepaskan dari tahanan dengan alasan berkas penyidikan dinyatakan masih harus dilengkapi oleh kepolisian dan masa penahanannya telah habis.

Dua orang dari kepolisian yang sempat divonis bebas di Pengadilan Negeri Surabaya akhirnya dihukum penjara oleh Mahkamah Agung yang menganulir vonis bebas tersebut. Mereka adalah mantan Kasat Samapta Polres Malang Bambang Sidik Achmadi, yang dihukum penjara dua tahun dan eks Kabag Ops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto, yang dihukum penjara dua tahun dan enam bulan.

MA juga memperberat hukuman ketua panitia pelaksana (Panpel) pertandingan Arema FC Vs Persebaya, Abdul Haris, dari semula 1,5 tahun menjadi 2 tahun penjara di tingkat kasasi terkait kasus tragedi Kanjuruhan.

Sementara mantan Security Officer Arema FC Suko Sutrisno divonis satu tahun penjara, dan eks Danki Brimob Polda Jatim Hasdarmawan dinyatakan bersalah dan divonis penjara selama 1 tahun 6 bulan.

“Proses hukum terkait dengan aparat keamanan yang menembakkan gas air mata masih belum menyentuh para pemimpin mereka di tataran komando. Ini adalah hal yang tidak dapat diterima, dan keluarga korban yang meninggal maupun korban yang luka-luka berhak mendapatkan keadilan dan akuntabilitas yang layak,” kata Usman.

Di Pengadilan Militer pada 7 Februari, seorang anggota TNI Serda Tofan Baihaqi Widodo dijatuhi hukuman empat bulan penjara karena melakukan penganiayaan saat tragedi Kanjuruhan.

“Namun semua proses hukum yang dilakukan itu belum cukup. Tidak ada tanggung jawab hukum yang benar-benar ditimpakan kepada para pemimpin di tataran komando atas tindakan aparat keamanan yang bertanggung jawab atas penggunaan gas air mata yang berlebihan dan tragis ini. Keadilan bagi para korban harus menjadi prioritas utama, dan tidak dapat diterima jika para pelaku hanya dilindungi oleh sistem yang ada,” papar Usman Hamid.

Gas Air Mata masih Ditembakkan

Lebih disayangkan lagi, Amnesty International Indonesia mencatat sejak Tragedi Kanjuruhan, kasus penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian kepada masyarakat sipil masih terus terjadi, seperti yang terjadi di Dago Elos, Bandung, dan Pulau Rempang Galang beberapa waktu lalu.

Tragedi Kanjuruhan adalah contoh tragis yang menunjukkan bahaya penembakan gas air mata dalam menangani kerumunan sehingga dapat mengakibatkan cedera serius atau kematian bagi warga sipil. Apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan setahun yang lalu menunjukkan pendekatan aparat keamanan yang cenderung menggunakan gas air mata sebagai solusi utama dalam mengendalikan situasi.

“Ketika penembakan gas air mata terjadi berulang kali, seperti dalam kasus di Bandung (Dago Elos) 14 Agustus lalu dan Pulau Rempang Galang 7 September silam, ini menciptakan kekhawatiran bahwa aparat keamanan tidak belajar dari pengalaman Tragedi Kanjuruhan dan masih cenderung mengandalkan taktik yang sama tanpa mempertimbangkan risiko kesehatan dan keselamatan warga sipil,” kata Usman Hamid.

Menurutnya, kritik terhadap penggunaan gas air mata bukanlah upaya untuk menghambat aparat keamanan dalam menjalankan tugas mereka untuk menjaga ketertiban. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk memastikan bahwa penggunaan kekuatan dan taktik oleh aparat keamanan harus selalu berada dalam kerangka hukum dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.

“Kritik ini juga mendorong negara untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan perubahan yang dibutuhkan untuk melindungi masyarakat sipil dari penggunaan kekuatan yang berlebihan dan berpotensi berbahaya,” papar Usman.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Peringatan September Hitam
Bandung Hari Ini: Pidato Tengah Malam Ruslan Abdulgani di Konferensi Wartawan Asia Afrika
BANDUNG HARI INI: Babakan Siliwangi, Ancala Kota yang Nyaris Digusur

Pendekatan Persuasif harus Dikedepankan

Hempri Suyatna, pengamat pembangunan sosial dan kesejahteraan dari UGM menyatakan suporter sepak bola memiliki karakteristik tersendiri yang unik dan fanatik. Mereka rela mengeluarkan waktu, uang dan tenaga untuk mendukung tim kebanggaan mereka. Bahkan tidak jarang dari mereka harus menjual barang yang dimiliki agar dapat menonton tim kesayangannya berlaga.

Menurut Hempri mampu memahami karakteristik yang dimiliki para suporter sepak bola sebagai hal yang seharusnya menjadi bahan untuk pola-pola pengasuhan, penanganan atau pengamanan suporter. Oleh karena itu, pendekatan persuasif sudah semestinya harus diutamakan. 

“Kasus di Kanjuruhan menunjukkan justru pendekatan represif yang dikedepankan. Penggunaan pentungan, penggunaan gas air mata yang sudah jelas dilarang FIFA ternyata justru masih digunakan,” terang Hempri Suyatna, dikutip dari laman Fisipol UGM

FIFA sebagai induk sepak bola dunia melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Berdasarkan pedoman ‘FIFA Stadium Safety and Security Regulation’ Pasal 19 poin B disebutkan, tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa.

Menurut Hempri, kasus di Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga bagaimana dimensi sosial suporter seharusnya menjadi pertimbangan di dalam melakukan pola penanganan suporter. Panitia pelaksana dan PSSI sudah saatnya tidak hanya sekedar mengejar keuntungan komersial dengan melupakan aspek-aspek sosial. 

Pemahaman terkait karakteristik, kultur, dan sejarah historis antarsuporter juga seharusnya bisa menjadi acuan di dalam melakukan pengamanan. Bagaimanapun pola detail pengamanan antarklub akan berbeda. 

“Perbaikan fasilitas infrastruktur pendukung. Bagaimana membangun stadion ramah anak, stadion ramah perempuan, stadion ramah lansia dan sebagainya. Hal-hal semacam itu perlu dilakukan dan harus dikedepankan,” paparnya.

*Artikel ini berdasarkan data reportase Virliya Putricantika, simak tulisan-tulisan lain tentang Bandung Hari Ini di BandungBergerak.id

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//