• Berita
  • Membaca Sejarah Partai Nahdlatul Ulama sampai Keluar dari Gelanggang Politik Praktis

Membaca Sejarah Partai Nahdlatul Ulama sampai Keluar dari Gelanggang Politik Praktis

Partai Nahdlatul Ulama memilih berkoalisi dengan Sukarno, kembali ke khittah di masa Orde Baru sekaligus menjadi oposisi bagi Suharto.

Alat peraga kampanye pada Pemilu 1955. (Foto: kab-supiori.kpu.go.id)

Penulis Iman Herdiana29 Oktober 2023


BandungBergera.idHajatan demokrasi lima tahunan tidak lama lagi digelar. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah mengerucut pada tiga kubu: Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud MD, dan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Mereka diusung oleh partai-partai politik yang satu sama lain juga bersaing memperebutkan suara dalam Pemilu 2024, karena pemilu ini digelar secara serentak dengan pemilihan legislatif.

Partai-partai politik yang menjadi kontestan pemilu kali ini memiliki corak ideologi yang beragam, mulai dari nasionalis, agamis, atau perpaduan keduanya.

Corak partai-partai politik tersebut mengingatkan pada sejarah pemilu di Indonesia yang kurang lebih sama. Bedanya, dulu secara umum kekuatan politik di Indonesia terdiri dari tiga arus utama, yakni nasionalis, Islam, dan komunis. Yang terakhir ini absen sejak peristiwa 65.

Khusus politik Islam, Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu organisasi yang memiliki peranan kuat dalam sejarah pemilu di Indonesia. Menjelang Pilpres 2024 ini, tentunya suara kaum Nahdliyin (sebutan untuk massa NU) bakal menjadi rebutan para kandidat Pilpres 2024.

Terlebih di antara ketiga pasangan kontestan Pilpres 2024 tampak ada calon-calon yang memiliki latar belakang NU, atau setidaknya akan mengklaim diri NU, atau setidaknya lagi akan mengklaim dekat dengan warga Nahdliyin.

Memotret peran NU khususnya dalam politik praktis kita bisa melihat peran mereka pada pemilu pertama di Indonesia yang diselenggarakan tahun 1955. Bahkan di masa lalu, NU berdiri sebagai partai politik.

Ahmad Rofik, dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto memaparkan, keterlibatan NU dalam politik praktis dimulai sejak bergabung dalam Masyumi, satu-satunya wadah politik umat Islam pada era 1940-an.

Baca Juga: Geliat Pilpres di SMA-SMA, Partisipasi Orang Muda tidak Boleh Berakhir Usai Pemungutan Suara
Perebutan Pengaruh Partai Politik Berhaluan Agama dan Nasionalis di Jawa Barat Menjelang Pemilu 2024
Partai-partai Baru Berhaluan Kanan Berebut Calon Pemilih di Bandung Raya

Di tubuh Masyumi, NU terlibat konflik dengan kelompok Islam modernis. Dalam literatur masa itu, NU disebut mewakili kelompok Islam tradisionalis.

Ahmad menyebut konflik NU saat aktif di Masyumi berkaitan dengan perebutan jabatan Menteri Agama dengan kelompok Islam modernis. Ulama-ulama NU juga merasa dipinggirkan selama aktif di Masyumi. Kekecewaan ini memicu NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952.

“Sejak saat itu NU berdiri sebagai partai politik. Pada pemilu pertama 1955, NU tampil sebagai kekuatan politik utama selain PNI, Masyumi, dan PKI,” tulis Ahmad Rofik, dalam jurnal ilmiah berjudul “DINAMIKA PERILAKU PEMILIH NU; Pasang Surut Suara NU Pada Pemilu Paska Orde Baru”, diakses Sabtu, 28 Oktober 2023.

Gerakan politik NU melahirkan gebrakan pada peta politik Pemilu 1955. Secara nasional NU meraih suara terbanyak ketiga, yakni 6.955.141 suara atau 18,41 persen. Ia hanya terpaut sekitar 3 persen dengan Masyumi di urutan kedua nasional (7.903.886 atau 20,92 persen).

Partai peraih suara terbanyak pada pemilu 1955 adalah Partai Nasional Indonesia (PNI)  dengan 8.434.653 suara. Adapun Partai Komunis Indonesia (PKI) meraih 6.179.914 suara.

Di sini, NU memilih berkoalisi dengan Sukarno (PNI) yang berseteru dengan Masyumi dan PSI. Perseteruan ini berakhir dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI atas tuduhan subversif.

“Sehingga praktis panggung politik nasional tinggal dikuasai PNI, NU dan PKI,” tulis Ahmad Rofik.

Berbeda dengan di zaman Sukarno yang menjadi koalisi, pada masa Orde Baru berkuasa NU memilih menjadi oposisi. Banyaknya campur tangan kekuasaan Suharto pada partai politik membuat NU harus kembali ke khittah 1926, yaitu keluar dari politik formal yang dikuasai Orde Baru.

Nahdatul Ulama didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926. Pada awal pembentukannya, NU adalah organisasi sosial keagamaan. Jadi kembali ke khittah 1926 berarti kembali menjadi organisasi sosial keagamaan, bukan partai politik.

Namun dengan posisi ini, “NU tampil sebagai kekuatan politik penyeimbang kekuasaan otoriter Suharto,” tulis Ahmad Rofik.

Baca Juga: Geliat Pilpres di SMA-SMA, Partisipasi Orang Muda tidak Boleh Berakhir Usai Pemungutan Suara
Perebutan Pengaruh Partai Politik Berhaluan Agama dan Nasionalis di Jawa Barat Menjelang Pemilu 2024
Partai-partai Baru Berhaluan Kanan Berebut Calon Pemilih di Bandung Raya

Pamor Partai Nahdlatul Ulama di Jawa Barat

Bagaimana suara partai NU di Jawa Barat? Fauzan Ali Rasyid dalam buku “Pasang Surut Partai-partai Islam di Jawa Barat pada Pemilu 1955-2004” (Sentra Publikasi Indonesia, Bandung, 2020) memaparkan, peraih suara terbanyak pada Pemilu 1955 di Jawa Barat adalah Masyumi yang berhasil mengumpulkan 26,5 persen, disusul oleh PNI (22,1 persen), serta PSII dan Perti (masing-masing 5,7 persen).

Sebagai partai baru yang keluar dari Masyumi pada 1952, NU meraih suara lumayan banyak yaitu 9,7 persen, beda tipis dengan suara PKI (10,9 persen).

Pada Pemilu 1971, Fauzan mencatat, terjadi perbedaan mencolok dibandingkan Pemilu 1955. Pemilu 1971 merupakan Pemilu pertama era Orde Baru. Jumlah partai peserta pemilu hanya 10 partai tanpa diikuti oleh Masyumi, PSI, dan PKI. Masyumi dan PSI dibubarkan oleh Presiden Sukarno karena banyak anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan daerah (PRRI, PERMESTA), sedangkan PKI dibubarkan oleh Suharto.

Hasil Pemilu 1971 secara umum dimenangkan Golkar, kekuatan baru yang menjadi mesin politik Suharto. Di Jawa Barat, Golkar mampu mengumpulkan 7.625. 797 (76,12 persen). 

Partai NU berhasil meraih 1.310.679 (13,08 persen), Parmusi (399.730/3,99 persen), PSII (304.989/3,04 persen) dan PNI (172.551/1,72 persen), sedangkan 5 partai lainnya, yaitu Perti, Perkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI jika digabungkan hanya meraih 2,05 persen. 

“Dalam Pemilu 1971, di samping tampilnya Golkar sebagai kekuatan baru, NU-pun berhasil memperbaiki 91 pamornya baik di antara sesama partai Islam maupun dalam perolehan suara secara keseluruhan. Di antara partai-partai Islam, NU berhasil menempati posisi teratas sedangkan dalam perolehan suara secara keseluruhan NU menduduki peringkat kedua setelah Golkar. Di samping itu, persentase perolehan suara NU juga meningkat jauh lebih besar dibandingkan Pemilu tahun 1955,” catat Fauzan.

Pada Pemilu 1977, partai NU menhilang dari peredaran. Fauzan mencatat, Pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga partai politik yang terdiri dari Golkar-nya Orde Baru dan dua partai politik hasil fusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 

Fusi tersebut sebagai berikut: a) Partai-partai Islam (NU, PSII, Perti dan Permusi) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP); b) Partai-partai PNI, IPKI, Murba, Perkindo, dan Partai Katholik menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI); c) Golongan Karya.

* Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau tulisan-tulisan menarik tentang politik dan Pemilu 2024

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//