• Liputan Khusus
  • JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #7: Yang Bertahan di Trotoar Jalan Dewi Sartika

JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #7: Yang Bertahan di Trotoar Jalan Dewi Sartika

Perdagangan buku di pinggir Jalan Dewi Sartika, Bandung mengalami pasang surut. Mereka yang bertahan yakin bisnis buku akan tetap hidup karena ada penggeraknya.

Pedagang buku di Jalan Dewi Sartika, Bandung, Kamis, 7 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah15 Januari 2024


BandungBergerak.id - Ratusan buku diamparkan di trotoar, ditutupi oleh plastik dan dibungkus oleh kardus. Di bawahnya, digelar spanduk atau semacamnya sebagai alas. Di Jalan Dewi Sartika, Bandung, para pedagang buku menunggu pelanggan dengan sabar. Bagi orang yang tepat, barang jualan mereka adalah harta karun.

Lapak buku Jalan Dewi Sartika sudah ada sejak tahun 1980-an. Ketika internet datang dan jual-beli daring (online) kian populer, beberapa pedagang buku memilih bermigrasi dengan mencoba peruntungan di jagat maya. Jumlah pedagang yang bertahan di pinggir jalan bisa dihitung jari. Sebagian mengampar di trotoar, yang lain di ruko-ruko kecil.

“Pertama kali ke Dewi Sartika itu kelas empat SD. Sewaktu bapak saya membereskan kuliahnya, (saya) sering diajak keliling Bandung. Toko buku seperti Dewi Sartika menjadi salah satu tempat tujuan,” tutur Fikri A. Gholasama, akrab disapa Uwa dan Ceng Mao, penulis dan editor buku, kepada BandungBergerak.id, Sabtu, 13 Januari 2024.

Ketika sang ayah sibuk memilih-milih buku, Fikri memiliki ketertarikan tersendiri. “Saya merengek ke bapak pengin dibelikan komik,” katanya.

Komik pertama yang dimiliki Fikri di antaranya adalah kisah Sinbad dan Aladin dari Cerita Seribu Semalam terbitan Mizan. Ia lalu meminta juga dibelikan komik Ninku, Kapten Tsubasa, dan Samurai X (Rurouni Kenshin) karena sudah menonton filmnya. Sayangnya, komik dan beberapa majalah yang dibeli sewaktu kecil itu hilang akibat banjir.

Bangkarakna dukateuing kamana kiwari téh. Babakuna mah basa lembur kuring sering kabanjiran kénéh. Tos tara kapuluk ari nu karieu téh lapur kabanjiran,” ucapnya.

Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) di sebuah pesantren di Soreang, Fikri melanjutkan kebiasaan beli buku di Jalan Dewi Sartika. Ia bahkan mengajak sobat-sobatnya untuk turut serta dengan menaiki angkot (angkutan kota). Dari Cibegol, mereka naik angkot jurusan Soreang-Cililin, lalu jalan kaki sedikit agar bisa naik bus ke terminal Leuwi Panjang.

Di Jalan Dewi Sartika, Fikri mengincar komik. Biasanya ia akan membawa pulang 3-5 judul komik bekas. Ketika itu ia juga sudah memulai kebiasaan membeli majalah Animoster, Xy Kids, dan Bobo. Begitu senang dengan musik, ia mencari majalah Hai. Uang jajan buku dikumpulkan dari bekal di masa pesantren.

“Alasan ke orang tua beli buku atau kitab ke toko Kitab Dahlan atau Al-Falah, padahal mah ke Dewi Sartika dan Gramedia yang ada di King,” kata Fikri.

Minat terhadap kajian bahasa Sunda pun sudah tumbuh di masa belia, ungkap penulis dan editor Penerbit Pustaka Jaya dan mengelola bulletin Sirung. “Pertama kali tertarik ke kajian Sunda baru weh beli Majalah Mangle, Sunda, Midang, Iber, dan buku Sunda lainnya.”

Pelesiran ke lapak buku Jalan Dewi Sartika terus dilakukan oleh Fikri sampai ia berkuliah. Ketika sekarang sudah semakin sibuk dengan pekerjaan, ia semakin banyak mengandalkan layanan jual-beli daring (online). Termasuk ke para penjual buku di Dewi Sartika.

Wawan (39 tahun) pedagang buku di Jalan Dewi Sartika, Bandung, Kamis, 7 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Wawan (39 tahun) pedagang buku di Jalan Dewi Sartika, Bandung, Kamis, 7 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Mereka yang Bertahan di Pinggir Jalan

Teknologi tak bisa diadang, pandemi Covid-19 datang menerjang. Kedua fenomena tersebut menjadi penyebab beberapa pedagang di Jalan Dewi Sartika gulung tikar. 

Wawan (39 tahun), salah seorang pedagang buku di Jalan Dewi Sartika yang sampai saat ini masih bertahan. Ia datang dari Garut untuk mengadu peruntungan ke Bandung dengan cara berjualan buku.

Di masa jaya, Wawan bisa menjual 50-100 buku, apalagi di musim tahun ajaran baru dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sekarang, masa jaya itu seperti tak mau kembali.

“Paling satu dua orang masih sering juga jajan ke sini, “ tutur Wawan, saat ditemui Kamis, 7 Desember 2023 lalu.

Sekarang segala macam informasi, tips dan trik hingga ilmu pengetahuan bisa mudah didapatkan “lewat genggaman” tangan. Orang cukup menulis di layar pintar jika ingin mendapatkan informasi, tidak harus melalui buku. Di saat yang sama, minat membaca buku semakin berkurang.

“Kalah dengan Androind sekarang,” ucap Wawan.

Dulu, di samping kiri dan kanan lapak Wawan di Jalan Dewi Sartika penuh dengan para pedagang buku. Sekarang tinggal Wawan seorang diri yang masih berjualan di trotoar emper toko pakaian.

Rekan Wawa nada yang gulung tikar, ada yang memilih berjualan online, ada pula yang beralih profesi. Wawan sendiri memilih bertahan karena yakin manusia sudah memiliki rezeki masing-masing. Masih ada rezeki di balik jualan buku.

“Kalau ada rezeki pasti ada rezeki. Kalau berganti ke profesi ke lain terkendala modal, kalau berganti ke profesi yang juga tidak menentu,” jelas Wawan yang awal ikut berjualan buku dengan kakaknya.

Meski buku yang dijual Wawan rata-rata buku bekas, tetapi bukan berarti tidak berkualitas. Bedanya, harga buku-buku bekas di sini relatif miring.

“70-80 persen mah lumayan. Harga murah kalau buku-buku bekas,” kata Wawan.

Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #4: Lapak Cikapundung, dari Enny Arrow hingga Buku-buku Pergerakan
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #5: Perpustakaan Batu Api, Warung Pengetahuan Legendaris di Jatinangor
JEJAK LITERASI DI BANDUNG #6 : Toko Buku Kebul Mughni, Penulis yang Menyamar Menjadi Tukang Buku

Dian (38 tahun) berpose di depan kios buku di Jalan Dewi Sartika, Kamis, 7 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Dian (38 tahun) berpose di depan kios buku di Jalan Dewi Sartika, Kamis, 7 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Takkan Mati

Sama dengan Wawan, pedagang buku lainnya, Dian (38 tahun), memilih tetap menjual buku-buku bekas yang original daripada buku murah bajakan. Pria asal Ciamis ini merasa berat hati kalau sampai harus menjual buku-buku bajakan.

Awalnya Dian menjual buku-buku koleksi pribadinya. Waktu itu ia masih ikut berjualan dengan sang paman. Buku-buku didapatkan dari belanja di toko buku Gunung Agung yang sayangnya kini sudah tutup.

Dia mengaku ada motif lain mengapa ia berjualan buku selain motif ekonomi. Ia merasa suka dan jatuh cinta pada jualan buku. Makanya, ia yakin bisnis buku akan tetap bertahan. “Buku-buku itu gak akan komplit, pasti terus ada, dan terus ada,” katanya.

Dian tak setuju dengan pelabelan buku bagus dan jelek. Buku-buku terkait dengan selera. Buku yang membahas topik tertentu belum tentu disukasi oleh orang yang menggemari buku dengan topik lain.

“Mungkin bukan yang disukai atau sedang tekuni, jadi saya kurang setuju dengan buku itu. Makanya di lapak mah ada weh buku-buku teh walaupun gak komplit,” kata Dian.

Bak mengikuti istilah ngindung ka waktu mibapa ka zaman, Dian tak mau tinggal diam dengan menekuni usaha-usaha konvesional. Selain membuka lapak luring di Jalan Dewi Sartika, ia juga aktif berjualan online di marketplace dan media sosial.

Pembeli yang datang secara luring dan daring menurutnya cukup seimbang. Namun ia akan lebih aprestiatif pada pembeli yang datang langsung ke lapaknya di Jalan Dewi Sartika. Dian memegang prinsip cukup unik bagi pelanggan yang datang langsung ke lapaknya.

“Saya pasang harga 50 rebu (rupiah), tapi dia membutuh dan bawa uang 10 rebu (rupiah). Saya kasih karena dia benar membutuhkan untuk dibaca dan dipelajari. Jadi itu filosofisnya,” jelas Dian.

Dian telah mengalami asam garam bisnis buku. Sepanjang pengalaman, sejumlah penulis kondang pernah mendatangi lapaknya, mulai dari sastrawan Remy Syaldo hingga Rio Purbaya. Dari berjualan buku pula Dian bisa menyekolahkan dan membeli rumah sendiri di daerah Bandung selatan.

Dian berkhidmat bahwa perbukuan tidak mati, akan terus hidup dan selalu ada penggeraknya. “Peminat baca buku itu tetap ada,” ucap Dian.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Jejak-jejak Literasi di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//