• Cerita
  • Pengaruh Kelahiran Budi Utomo terhadap Pergerakan di Bandung

Pengaruh Kelahiran Budi Utomo terhadap Pergerakan di Bandung

Budi Utomo berdiri 20 Mei 1908, organisasi modern pertama di Hindia Belanda yang didirikan bumiputra. Memicu lahirnya Paguyuban Pasundan dan pergerakan lainnya.

Foto dengan Judul Para Pendiri Boedi Oetomo. Para pelajar Stovia, antara lain R. Soetomo, M. Goenawan, Moh. Saleh, M. Goembrek, dan R. Angka. (Sumber: Perpustakaan Nasional RI)

Penulis Iman Herdiana20 Mei 2024


BandungBergerak.idHarkat dan martabat bumiputra akan terangkat dengan pendidikan. Maka berangkatlah Wahidin Soediro Husodo untuk mempropagandakan pentingnya dana belajar bagi keberlangsungan kaum bumiputra. Ia keliling Jawa sejak tahun 1906-1907. Setelah tahun 1907, ide-ide Wahidin mendapat sambutan antusias dari para siswa sekolah dasar dokter Jawa STOVIA [School Tot Opleiding Van Indlanche Artsen] di Jakarta. Gagasan Wahidin mewujud dalam bentuk organisasi Budi Utomo.

“Nama tersebut merupakan usulan dari seorang siswa STOVIA yang bernama M. Soeradji, yang kemudian disepakati sebagai nama organisasi yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Adapun nama tersebut mengandung arti suatu pekerjaan yang mulia,” demikian dikutip dari buku "Budi Utomo: Sejarah dan Kongres Pertama di Yogyakarta 1908", Sebuah Kajian Koleksi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta (2004).

Buku yang disusun tim penyusun Budiharja, V. Agus Sulistya, Muri Kurniawati, Haris Budiharto, Amin Sukrilah menyebut Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda (Indonesia).

Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna dalam Buku Ajar Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo 1908 Hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945) menjelaskan, Wahidin Soediro Husodo (1857-1917) adalah lulusan STOVIA. Usahanya selama berkeliling Jawa untuk berkampanye meningkatkan martabat rakyat melalui pendidikan ternyata tidak begitu berhasil karena menemukan berbagai hambatan.

Di antara siswa-siswa STOVIA yang ia temui terdapat pemuda Soetomo. Gagasan Wahidin tentang nasib rakyat mengugah Soetomo untuk mendiskusikan hal ini dengan teman-temanya, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah Budi Utomo dengan Soetomo sebagai ketua. Budi Utomo selanjutnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

“Organisasai yang bertujuan memajukan Hindia Belanda ini terbuka bagi siapa saja, penduduk Jawa, Madura dan akhirnya meluas untuk seluruh penduduk Hindia, tanpa membedakan keturunan, agama, maupun jenis kelamin,” terang Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna, dalam buku yang diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (2008).

Pada Juli 1908, Budi Utomo telah memilki 650 anggota yang tersebar di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Surabaya dan Probolinggo. Mereka yang bukan mahasiswa (priyayi) juga menggabungkan diri ke Budi Utomo. Bahasa yang dipergunakan secara resmi dalam organisasi adalah bahasa Melayu.

“Orang-orang Sunda pun ikut dalam organisasi ini. Akan tetapi, lama-kelamaan peranan mahasiswa mulai tersingkirkan oleh kaum priyayi yang semakin menguasai organisasi. Sementara itu, rasa keunggulan budaya Jawa sering muncul ke permukaan sehingga dalam Budi Utomo cabang Bandung, organisasi terbagai dua menjadi bagian Jawa dan bagian Sunda. Setelah Budi Utomo, bermunculan organisasi lainnya,” tulis Ayi Budi Santosa dan Encep Supriatna.

Pada bulan September 1908 orang-orang Ambon mendirikan asosiasi yang disebut Ambonsch Studiefonds. Selajutnya pada tahun 1911 Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam. Organisasi yang kemudian menjadi Sarekat Islam ini berkembang pesat. Kemudahan persyaratan menjadi anggota dan orientasi organisasi yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil menarik minat banyak orang. Jumlah anggotanya SI di berbagai kota besar di Jawa meningkat secara mencolok. Pada tahun 1916, jumlah anggota SI mencapai 800.000 orang dan tahun 1919 melonjak mencapai dua juta orang.

Kekecewaan terahadap para priyayi yang mendominasi Budi Utomo mendorong elite-elite Sunda mendirikan organisasi sendiri, yaitu Paguyuban Pasundan pada 20 Juli 1913. Penulis sejarah M.Ryzki Wiryawan menuturkan, seperti halnya Budi Utomo, organisasi Paguyuban Pasundan lahir dalam lingkungan pribumi elite yang bersekolah di STOVIA.

Pengagas pendirian Paguyuban Pasundan sendiri adalah DR. Raden H. Djoendjoenan beserta beberapa murid STOVIA asal Sunda lainnya, yang kerap mengadakan pertemuan-pertemuan di antara waktu senggang pelajaran.

“Pada awalnya ide pembentukan organisasi ini muncul dilandasi oleh kekecewaan akibat kurangnya perhatian Budi Utomo terhadap kepentingan orang Sunda. Dalam pertemuan itu sempat dikemukakan siapa yang nantinya akan mengepalai organisasi ini, ada yang menyebut R. Iskandar Brata, sebagian mendukung D.K. Ardiwinata Ardiwinata, dan lainnya mengajukan R. Emoeng Poerawinata,” terang M.Ryzki Wiryawan, dikutip dari laman Komunitas Aleut!

Situasi Hindia Belanda dan Global

Budiharja dkk mencatat, abad ke-20 merupakan abad nasionalisme, artinya pada abad ini banyak negara-negara di dunia disibukkan dengan usaha-usaha mencari jati dirinya, kesadaran berbangsa mulai timbul. Sebelum munculnya kesadaran itu, Budiharja dkk mencatat beberapa latar belakang penting yang mempengaruhi situasi Hindia Belanda.

Runtuhnya VOC pada tanggal 31 Desember 1799 menyebabkan semua kegiatannya terutama perdagangan ditarik oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak saat itu kegiatan ditekankan pada eksploitasi ekonomi dan penetrasi politik. Langkah Belanda kemudian mengobarkan Perang Diponegoro (Perang Jawa) 1825-1830 yang menghancurkan.

Setelah rontok karena Perang Jawa, tahun 1830 pemerintah Belanda mencoba politik Tanam Paksa [Cultur Stelsel]. Cara ini banyak mendapatkan untung tanpa harus mengeluarkan modal yang besar. Belanda yang tidak mempunyai kemampuan yang besar dalam bidang industri berusaha memanfaatkan daerah jajahan untuk dieksploitasi. Pemerintah Belanda mengusahakan berbagai jenis perkebunan yang hasilnya laku di Eropa.

Di belahan dunia lain, pada Februari 1848, revolusi meletus di Perancis. Peristiwa mempengaruhi Eropa khususnya Belanda. Kemenangan partai liberal menyebabkan ide-ide liberalisme semakin mencuat. Limberalisme amat menentang campur tangan pemerintah dalam bidang ekonomi termasuk terhadap Cultur Stelsel.

Di samping golongan liberal, golongan lain yang menentang keras adanya Cultur Stelsel adalah holongan humanis, di antaranya Baron van Hoevel yang membela rakyat pribumi dengan pidatopidatonya di depan DPR Nederland. Serta E. Douwes Dekker yang menulis suatu karangan yang berjudul Max Havelaar atau “Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda”.

“Berkat perjuangan kaum liberal dan kaum humanis Belanda ini, maka sedikit demi sedikit praktek Cultur Stelsel dihilangkan, dan tahun 1870 sistem Cultur Stelsel ini sudah tidak berlaku,” tulis Budiharja dkk.

Meski demikian, kesejahteraan rakyat terjajah masih sangat jauh dari standar yang diharapkan. Pemerintah Belanda terus menuai kritik, di antaranya dari tokoh Belanda C. Th. Van Deventer yang menulis Een Eereschuld [Debt of Honour atau Sutau Utang Budi]. Kritik ini sempat dimuat dalam majalan De Gids yang terbit pada tahun 1899.

Van Deventer menyatakan, bangsa Belanda telah berhutang budi pada bangsa Indonesia yang telah bersedia menopang kegoncangan ekonomi yang ditimbulkan akibat Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia. Sudah sewajarnya apabila hasil yang telah dicapai oleh kerja keras rakyat Indonesia tidak dibawa seluruhnya ke negeri Belanda, namun ada sebagian yang dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Van De Venter mengusulkan agar kebaikan hati rakyat Indonesia dibalas dengan peningkatan kesejahteraan melalui triasnya yang terkenal yaitu “Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi”.

Menaggapi hal tersebut pemerintah Belanda mengemukaan gagasan pembaharuan yang tertuang dalam pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul Etghische Richting [Haluan Etika] atau Nieuw Keurs [Haluan Baru] yang disampaikan pada tahun 1901. Pidato tersebut pada prinsipnya akan lebih mengembangakan kesejahteraan rakyat pribumi.

“Selintas, memang politik tersebut akan sangat menguntungkan pihak pribumi, namun pelaksanaannya sangat berat sebelah,” ungkap Budiharja dkk.

Di bidang pendidikan, lanjut Budiharja dkk,pengajaran yang dialaksanakan hanyalah pengajaran tingkat rendah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan. Irigasi hanya dibangun di daerah-daerah di mana ada perkebunan yang mempunyai hak utama penggunaanya oleh pemerintah Belanda. Dan emigrasi berupa transmigrasi ke luar Jawa, khususnya ke Sumatra, dimaksudkan untuk mempermudah pengusaha-pengusaha di luar Jawa memperoleh tenaga kerja.

Politik etis menyebabkan munculnya golongan elite baru di Hindia Belanda. Mereka sadar bahwa rakyat bumiputra selalu dibeda-bedakan dalam masyarakat kolonial. Dari golongan ini pulalah mucul pembaharuan yang dalam prakteknya diwujudkan dalam bentuk organisasi pergerakan modern. Di masa inilah Wahidin berkeliling pulau Jawa dan kemudian bertemu dengan para siswa STOVIA.

Di masa itu, gaya pendidikan barat bagi bumiputra (anak-anak bangsawan) belum ada, pendidikan formal baru ada sampai tahun 1852. Pendidikan di kalangan keluarga bupati mengggantungkan diri kepada guru-guru pembimbing pribadi mereka yang kadang-kadang adalah orang sosialis Belanda yang dibuang dari negara mereka. Masih sedidkit sekali bupati yang menyewa guru Belanda (pendidikan Barat).

Sekolah untuk anak-anak pembesar pribumi benar-benar berdiri pada tahun 1870-an, setelah dicanangkan sejak 1845 oleh Menteri Jajahan J.C. Baud. Pembangunan infrastruktur pendidikan diprioritaskan untuk pendidikan guru bumiputra (kweekschool) dan sekolah dokter jawa untuk mencipta mantri cacar yang didirikan di Weltevrenden (Gambir, Jakarta Pusat) yang nantinya sangat penting bagi gerakan Budi Utomo.

Hoofdenscholen sekolah untuk anak laki-laki pembesar pribumi dan penduduk pribumi terpandang lainnya akhirnya dibuka tahun 1878 yang sesudah percobaan di Tondano Sulawesi Utara, ditambah tiga lagi masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo.

Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo dalam Bingkai Organisasi dan Sastra
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (29): Kongres Pasundan di Bandung
Menjelang 100 Tahun RSHS, Menengok Lagi Dokter-dokter Aktivis Pergerakan Nasional

Kongres Budi Utimo di Bandung

Kelahiran Budi Utomo tidak terlepas dari dukungan kota-kota lain di luar Batavia (Jakarta). Soetomo, aktivis STOVIA yang turut mendirikan Budi Utomo, dengan beberapa orang temannya mencari dukungan melalui media surat yang dikirim antara lain ke Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Magelang.

Pada Rabu tanggal 20 Mei 1908, kurang lebih pukul 9 pagi, Soetomo dan kawan-kawannya antara lain M. Soeradji, M. Muhammad Saleh, M. Soewarno, M. Goenawan, Soewarno, R.M. Goembrek, R. Angka, dan M. Soelaiman, berkumpul dalam ruang kuliah anatomi. Setelah segala sesuatunya dianggap telah masak maka mereka sepakat mimilih Budi Utomo menjadi nama perkumpulan.

Tepuk tangan bergemuruh menandai kelahiran organisasi tersebut. Hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak hanya para siswa di sekolah tersebut, malainkan juga siswa-siswa dari Sekolah Pertanian dan Kehewanan di Bogor, Sekolah Pamong Praja Pribumi di Magelang dan Probolinggo, Siswa-siswa Sekolah Menengah Petang di Surabaya, dan sekoah-sekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo.

Siapa yang hadir dalam rapat pembentukan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908? Meraka adalah siswa-siswa yang berusia antara 19 – 22 tahun dan berasal dari tujuh sekolah menengah di Jawa antara lain: Cultuurschool (Bogor), OSVIA (Magelang, Probolinggo), Normaalschool (Yogyakarta, Bandung, Probolinggo), dan HBS (Surabaya).

Gerakan para pelajar STOVIA ini cepat segera tersebar ke seluruh Jawa. Adapun susunan kepengurusan adalah sebagai berikut: Ketua R. Soetomo, Wakil Ketua M. Soelaiman, Sekretaris I Soewarno, Sekretaris II M. Goenawan, Bendahara R. Angka Komisaris, M. Soewarno, M. Muhammad Saleh, M. Soeradji, M. Goembrek.

“Sungguh luar biasa, bahwa Budi Utomo yang lahir karena bertemunya gagasan Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang dipadukan mempunyai pandangan ke depan yang begitu luas. Bahkan studie fonds yang menjadi tujuan 34 pokok Dr. Wahidin Sudirohusodo, dalam Budi Utomo hanya menjadi salah satu bagian saja. Budi Utomo didirikan atas dasar kebudayaan yang luas,” papar ungkap Budiharja dkk.

Langkah pertama yang dilaksanakan setelah organisasi Budi Utomo berhasil didirikan antara lain mengadakan hubungan dengan pelajar-pelajar di kota-kota lain seperti di Sekolah Pertanian Bogor, Kweekshool Bandung, Kweekschool Yogyakarta, OSVIA (Opleiding Shool voo Inlandsche Ambtenaren) Magelang, sehingga cabang-cangan Budi Utomo segera berdiri di kota-kota tersebut.

Dalam kongresnya yang dilaksanakan di Bandung tangal 5 dan 6 Agustus 1915, Budi Utomo mempersoalkan masalah milisi Bumiputera (Inlandsche Militie). Mengenai masalah milisi ini sebenarnya telah dibahas dalam rapat besar Budi Utomo di Semarang yang berlangsung tanggal 13 September 1914 yang membicarakan tentang perlunya diberikan kemampuan kepada rakyat dalam mempertahankan tanah air. Usul ini kemudian terkenal dengan Indee Weerbar.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan mengenai sejarah pergerakan nasional melalui tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//